Monday, 30 September 2013

AIR MATA MINORITAS DI PAKISTAN

Oleh: Sugiman

Kegagalan pemerintah yang cenderung membiarkan kasus kekerasan yang disebabkan kaum minoritas tidak hanya terjadi di negara Indonesia, tetapi juga terjadi di Pakistan. Seorang anggota parlemen daerah, Fredrich Azeem Ghauri mengatakan, bahwa jumlah umat Kristen di Pakistan hanya berkisar 1,6% atau sekitar 200.000, dan 70.000 di antaranya tinggal di Peshawar. Namun bukan minoritasnya yang jadi masalah, melainkan kasus kekerasan yang ditimpakan dan dialami oleh kaum minoritas itu sendiri.

Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Pakistan, terutama yang sering dialami dan dirasakan oleh kaum minoritas. Bahkan tidak jarang militan di Pakistan menjadikan kaum minoritas sebagai sasaran target yang empuk untuk disakiti, disiksa dan dibunuh secara kejam. Dalam beberapa tahun terakhir, termasuk memicu kekerasan sektarian antara Syiah dan Sunni, yaitu di mana militan Sunni sering melakukan serangan yang bertubi-tubi terhadap komunitas Syiah.

Akan tetapi umat Kristenlah yang paling sering dibuat menderita oleh kedua sekte tersebut. Kehidupan orang-orang Kristen yang tinggal berdampingan dengan kaum Muslim seolah tidak pernah berhenti meneteskan air mata. Suasana surga yang damai, aman, dan nyaman seolah menjauh dari kehidupan kaum minoritas di Pakistan.

Pada bulan Maret tahun 2013 lalu misalnya, kaum Muslim di Lahore yang adalah kaum minoritas di sana tidak segan-segan menindas dan membakar belasan rumah umat Kristiani yang dianggap melakukan penindasan agama. Bahkan peristiwa terburuk berlanjut melalui dua serangan bom bunuh diri yang berlangsung pada hari Minggu, 22 September 2013. Dalam dua serangan itu menewaskan manusia sebanyak 80 jiwa umat Kristiani.

Terdengar dramatis, tetapi ini adalah realita kehidupan kaum minoritas yang mengerikan, menyedihkan, memilukan, dan menekan hati nurani. Tak ada banyak hal yang dapat diperbuat oleh kaum minoritas untuk melindungi diri selain berharap, berserah dan mendekatkan diri kepada Sang pemilik kehidupan lewat doa-doa yang dipanjatkan. Betapa tidak, teriakan dan jeritan minta tolong pada kekuatan manusia hanya akan menimbulkan kekecewaan dan kepiluan yang mendalam.

Mungkin bagi sebagian orang yang mendengar kata-kata penghiburan, yang didasarkan pada keyakinan yang teguh dan harapan akan datangnya pertolongan dari Tuhan terdengar hampa dan sia-sia. Tetapi hanya orang yang berimanlah yang dapat melihatnya secara nyata bahwa Tuhan selalu memihak pada orang benar. Iman memberikan kekuatan kepada mereka yang menderita. Iman memberikan harapan kepada orang yang putus asa. Karena hanya imanlah yang membuat manusia sanggup melihat apa yang tak terlihat, menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Dalam situasi dan kondisi itulah penulis Mazmur mengatakan, “Biarlah mereka menanggung kesalahan mereka, ya Allah, biarlah mereka jatuh karena rancangannya sendiri; buanglah mereka karena banyaknya pelanggaran mereka, sebab mereka memberontak terhadap Engkau.  Tetapi semua orang yang berlindung pada-Mu akan bersukacita, mereka akan bersorak-sorai selama-lamanya, karena Engkau menaungi mereka; dan karena Engkau akan bersukaria orang-orang yang mengasihi nama-Mu. Sebab Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai” (Mazmur 5:11-13).

Dari kalimat panjang yang dituliskan pemazmur di atas kita dapat melihat dua kata kunci yang dinamis dan memiliki kekuatas secara spiritual. Pertama adalah kata “Biarlah”. Kata ini menyiratkan makna yang sangat dalam akan keyakinan si pemazmur kepada Tuhan yang diyakininya selama ini. Di stu sisi ia menjadari bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan membela dirinya dari terkaman, ancaman, tekanan dan penderitaan yang disebabkan oleh mereka yang benci kepadanya. Tetapi di sisi yang lain, ia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan, bahwa Tuhan pasti memperhitungkan keberadaannya dan Tuhan pasti menghukum orang-orang yang berlaku serong atau menyimpang dari kebenaran-Nya.

Kata yang kedua adalah “Tetapi”. Ini merupakan sebuah kata pengharapan dengan disertai keyakinan akan keberpihakan Tuhan kepada orang yang benar, yang berlindung pada-Nya. Pemazmur mengutarakan keyakinannya, bahwa Tuhan pasti mengasihi dan memberkati serta melindungi setiap orang yang menaruh harap, berlindung dan berserah penuh pada-Nya. Mungkin Tuhan terasa jauh bagi sebagian orang, pertolongan-Nya tidak mungkin dirasakan di dunia. Tetapi bagi orang beriman dan tetap percaya penuh pada-Nya akan merasakan kebaikan dan keterlibatan dalam setiap keluh kesah yang dirasakan umat-Nya.

Untuk saudara-saudaraku yang terkasih di dalam Tuhan kita Yesus, terutama yang tinggal di Pakistan sebagai kaum minoritas. Tetaplah bertahan dalam segala hal yang terjadi dalam hidup ini. Kiranya air mata sucimu yang mengalir menjadi aliran air kehidupan yang diperhitungkan Tuhan. Biarlah Tuhan yang membalaskan kepada mereka atas apa yang telah mereka perbuat. Dalam hidup ini hukum tabur tuai masih berlaku bagi-Nya, yaitu apa yang kita tabur maka itu juga yang pasti kita tuai.

Air mata kita boleh menetes, tetapi jangan hal itu dijadikan alasan untuk tidak mengasihi mereka. Karena Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus senantiasa mengasihi musuh-musuh kita. Nasihat dan ajaran ini memang kedengaran konyol dan bohoh. Karena hanya orang bodoh, tolol dan konyol yang bersedia mengasihi musuh-musuhnya. Tetapi bagi Tuhan, itulah konsekuensi yang harus diperbuat oleh mereka yang mengikut ajaran Yesus Kristus.

Secara tidak langsung ajaran atas hukum kasih dari Tuhan Yesus di atas mengimplikasikan bahwa, jika ada yang lebih baik, maka baik saja tidak cukup. Artinya, jika kita hanya mengasihi orang yang telah mengasihi kita, maka apalah keuntungannya. Karena hal demikian pun dapat dilakukan oleh mereka yang tidak mengenal Tuhan. Tetapi hanya mereka yang mengasihi Tuhan dengan sepenuh hatilah yang sanggup mengasihi musuh-musuhnya.

Karena itu, jangan sia-siakan waktu yang ada untuk tidak mengasihi mereka. Tetapi pergunakanlah waktu yang ada dengan segala sisa kehidupan kita untuk melakukan segala perbuatan baik yang berkenan bagi kemuliaan Tuhan. Karena ada waktunya di mana setiap orang akan kehilangan kesempatan atau waktnya untuk berbuat baik kepada sesamanya. Hidup ini sangat terbatas dan singkat. Kita seolah sedang menunggu giliran atau antrian yang panjang, yaitu di mana nama kita akan di panggil oleh Tuhan dan pada saat itulah hidup kita kembali kepada-Nya.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya. Terima kasih.

Wednesday, 18 September 2013

PEMIMPIN YANG MELAYANI

Oleh: Sugiman

"Pemimpin sejati melayani. Melayani orang-orang. Melayani minat terbaik mereka. Dalam memimpin, mereka tidak selalu bertindak populer, dan tidak juga selalu mengesankan. Tetapi pemimpin sejati selalu dimotivasi oleh kepedulian kasih dibandingkan hasrat kejayaan ribadi dan mereka pun bersedia membayar harganya"
-Eugene B. Habecker-

Apakah Anda seorang pemimpin yang baik? Bagaimana dengan kepemimpinan yang telah Anda lakukan selama ini? Sejauh mana sebenarnya Anda telah memahami esensi kepemimpinan yang Anda jalankan selama ini?

Betapa seringnya seorang pemimpin menganggap bahwa anak buah adalah instrumen yang harus dikendalikan secara sepihak. Sampai-sampai ia lupa untuk mengendalikan dirinya.
Memimpin yang efektif bukanlah mengenai bagaimana memerintah anak buah. Karena jika setiap orang diberikan kesempatan untuk memerintah atau diberi kekuasaan. Maka semua orang pun pasti dapat melakukannya. Tetapi tidak semua orang dapat menjadi pemimpin yang melayani.

Memimpin yang efektif adalah sebuah seni melayani. Pemimpin yang memiliki banyak pengikut adalah pemimpin yang melayani. Walaupun ia sendiri tak akan terbebas dari ancaman orang-orang yang memusuhinya, yang berusaha menyingkirkannya. Tetapi itulah membedakannya dengan pemimpin lainnya.

Yesus mengajarkan kepada para muridNya dan terlebih kepada para pengikutNya yang telah mendunia sampai dengan hari ini mengatakan, bahwa “barang siapa ingin menjadi yang terbesar, maka harus menjadi seorang pelayan sejati bagi sesamanya”. (lih. Mat.18:4-5; Mrk.9:37; Luk.9:48). Inilah konsep kepemimpinan yang melayani yang diajarkan Yesus kepada para pengikutNya.

Pendapat senada juga pernah dikemukakan oleh seorang pakar kepemimpinan, yakni John C. Maxwell. Ia mengatakan, bahwa untuk menjadi orang besar, maka kita harus bersedia dengan sepenuh hati untuk menjadi yang paling kecil dan juga menjadi seorang pelayan bagi orang lain.

Jika kita ingin menjadi seorang pemimpin yang dirasakan atau memberi dampak positif bagi banyak orang, maka belajarlah menjadi seorang pelayan sejati dan tulus. Dengan kata lain, layanilah orang lain dengan melakukan apa yang kita minta lakukan pada orang lain. Bersedia menyingsingkan lengan baju kita untuk bekerja. Otomatis Anda akan menjadi contoh bagi karyawan atau pengikut Anda.

Jika Anda seorang pemimpin yang memiliki banyak karyawan, maka dengarkan aspirasi karyawan-karyawan Anda dan berempatilah pada mereka. Empati Anda akan menimbulkan rasa hormat mereka terhadap Anda, serta memberikan pertumbuhan pada diri Anda dan pengikut Anda. Artinya, jangan pernah menutup telinga untuk mereka selama mereka menjadi karyawan kita.

Selanjutnya, jadilah mentor yang baik mereka. Menjadi mentor berarti adalah bagaimana kita mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Menjadi mentor adalah menularkan hal-hal yang baik, yang dapat mereka bawa pulang untuk keluarga dan anak-anak mereka di rumah.

Jika karyawan atau bawahan Anda melakukan kesalahan atau kekeliruan, maka fokuslah pada solusi permasalahan dan kekuatan yang kita dapatkan untuk menemukan sebuah solusi, dan bukan pada kesalahan karyawan atau bawahan kita.  Formulasikan rencana tindakan Anda untuk mengatasinya.

Seorang pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang memberi telinga terhadap aspirasi brilian banyak orang, serta bersedia mengulurkan tangan bagi mereka yang berada di bawah tekanan atau kesulitan yang disebabkan pihak lain. Jika Anda ingin menjadi pemimpin pada tingkat tertinggi, maka Anda harus dan wajib bersedia menjadi pemimpin yang melayani setiap orang dengan segala kerendahan hati. Karena itulah awal dari kepemimpinan yang melayani.

Salam, semoga bermanfaat.

Saturday, 1 June 2013

HATI YANG TERGERAK OLEH BELAS KASIHAN



Oleh: Sugiman

“Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.” (Matius 9:35)


Dari sekian banyak mata manusia yang melihat dan menyaksikan orang lain yang sedang tertimpa musibah, hanya sedikit orang saja yang hatinya tergerak oleh belas kasihan untuk memberikan pertolongan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak mengerti makna kehidupan. Dengan kata lain mereka telah kehilangnya makna kehidupan. Hal ini jugalah yang terjadi pada masa Yesus saat itu. Sebelum Yesus menyembuhkan orang yang menderita buta dan orang bisu yang kerasukan setan, kehidupan mereka dipandang seperti sampah dan tak masuk hitungan sebagai manusia.

Selain itu, mereka yang dikatakan lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala dalam teks di atas sebenarnya bukan karena mereka kelelahan dan terlantar mengikut Yesus semata. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah buruh-buruh kasar yang tidak memiliki masa depan hidup, karena upah rendah dan bahkan tidak digaji oleh majikannya. Karena itu, ketika mereka bertemu dengan Yesus, dan berharap Yesus dapat mengubah jalan hidup mereka. Hak-hak mereka yang selama ini diabaikan, nasib yang terlantar dan harapan yang hampir sirna seolah dihidupkan kembali oleh sosok Yesus yang tampil sebagai pemimpin baru yang diharapkan.

Tidak hanya itu, bahkan mereka sangat berharap supaya Yesus menjadi pemimpin tunggal atau gembala yang dapat menuntun dan membimbing mereka menuju masa depan yang lebih baik dan cerah. Perhatian, pengakuan dan belas kasihan dari pihak lain sangat mereka harapkan dan butuhkan. Karena selama ini mereka sudah jemu, lelah, letih dan lesu setelah diabaikan dan tidak diperhitungkan atau tidak diakui oleh para pemimpin politik, negara dan agama saat itu. Entah dari pihak Yahudi maupun dari pihak Romawi, dan itulah hal yang membuat hati Yesus tergerak oleh belas kasihan ketika melihat mereka semua.

Bukankah hal serupa pada masa Yesus juga telah terjadi dan sedang kita alami saat ini? Tidak sedikit dari kita yang merasa engan, malu, menganggap rendah, memandang sebelah mata mereka yang miskin secara harta benda, terlantar, melarat dan terabaikan. Betapa sering kita menutup mata terhadap penderitaan dan kesusahan yang dialami oleh orang lain. Bahkan kerap kita menutup telinga terhadap teriakan dan rintihan minta tolong mereka. Jika hal itu yang kita lakukan saat ini terhadap mereka yang menderita, maka kita adalah salah satu dari mereka yang kehilangan makna hidup ini.

Di dunia ini, ada banyak orang pandai, orang genius dan orang kaya, tetapi mereka sering tidak mengerti makna kepandaian, kegeniusan dan kekayaan yang dimiliki. Yang lebih teragis lagi adalah seringnya mereka menganggap, bahwa kalau mereka kaya, punya kedudukan atau jabatan dan ketenaran baru ia merasa hidupnya bermakna. Padahal, kata makna menyiratkan suatu makna yang sangat mendasar dan sangat dalam pada kehidupan seseorang. Hidup yang bermakna atau yang memberi makna bagi sesama untuk kemuliaan  Tuhan. Selanjutnya, hidup yang memberi makna juga berarti kita telah mengisi hidup kita dan mengisi kehidupan sesama kita melalui hal-hal penting yang telah kita lakukan dan berikan bagi mereka.
Dalam sejarah kehidupan manusia dan realita memperlihatkan, bahwa betapa seringnya kita mengalami kehilangan makna hidup ini. Mengapa demikian? Karena memang kita tidak mengerti dan memahami mengapa kita dipertemukan Tuhan untuk hidup berdampingan bersama banyak manusia lainnya di dunia ini. Mungkin banyak orang berpikir bahwa dengan harta benda dan kekayaan yang dimilikinya, mereka dapat membeli banyak hal yang menyangkut kebutuhan jasmaninya. Tetapi ingat, bahwa ada banyak hal penting juga yang tidak dapat dibeli dan dihargai dengan harta benda dan kekayaan! Kedamaian, ketentraman, kenyamanan, keamanan dan kebahagiaan adalah hal-hal yang tak dapat dibeli. Semuanya itu hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang merasa bahwa hidup ini adalah anugerah terbesar dari Tuhan yang harus dijalani dengan penuh kasih dan ucapan syukur.

Alfred Adler pernah mengatakan demikian, “Makna tidak ditentukan oleh situasi, namun kita menetapkan diri kita sendiri dengan makna yang kita berikan kepada situasi itu”. Kosong dan berisinya makna hidup kita sangat tergantung pada titik pandang seseorang atas kehidupannya. Kehilangan makna dapat terjadi bila kita cepat merasa puas dengan apa yang kita peroleh atau dapatkan untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan hidup yang penuh makna adalah di mana kita merasa puas kalau hidup kita sungguh-sungguh berguna, mengisi kebutuhan diri sendiri, orang yang ada di sekitar kita dan untuk kemuliaan Tuhan. Artinya, tiga pribadi penting itu (diri sendiri, orang lain dan Tuhan) tak dapat dipisahkan dalam hidup yang penuh makna.

Maka dari itu, milikilah kasih terhadap diri kita sendiri, terhadap sesama dan terlebih terhadap Tuhan sebagai sumber napas kehidupan setiap makhluk ciptaan-Nya. Jika kita memiliki kasih, itu berarti kita telah memberi rasa terhadap kehidupan yang hambar dan tawar itu. Karena kasih adalah suatu kualitas hidup terbaik yang telah Tuhan tanamkan di dalam hati nurani setiap orang, tanpa terkecuali. Hanya saja tidak semua dari mereka menyadarinya. Berikanlah rasa kasih itu kepada banyak orang, karena kasih adalah keabadian dan pemberian tertinggi dari Tuhan untuk manusia.

Peter Elbow mengatakan, bahwa “Makna hidup bukanlah dengan apa Anda mulai, tetapi apa yang Anda akhiri.” Kalimat tersebut menyiratkan makna, bahwa tidak selamanya kita hidup bersama-sama dengan orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekeliling kita, tetapi ada saatnya di mana setiap orang akan kehilangan kesempatan untuk memberikan kasih itu kepada mereka. Karena itu, selagi ada waktu atau kesempatan, berikanlah itu dan lakukanlah banyak hal penting untuk mereka dengan kasih yang tulus seperti Tuhan telah mengasihi kita selama hidup ini. Mari kita belajar melembutkan hati kita yang selama ini dikeraskan oleh keegoisan dan keserakahan kita. Dengan demikian hati kita benar-benar dapat digerakan oleh belas kasihan yang tulus, murni dan tanpa syarat.

DIPERSIAPKAN UNTUK MEMPERSIAPKAN



Oleh: Sugiman

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu” (Yohanes 14:12).

Kehebatan seorang pemimpin tidak terletak pada bagaimana ia dapat mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya, serta mempertahankan posisinya sebagai pemimpin tunggal selama mungkin dan sedapat mungkin. Melainkan, bagaimana ia dapat memilih, melatih, membina dan mempersiapkan generasi penerus sebaik mungkin semasa kepemimpinannya. Dengan demikian, segala yang baik dan benar itu tidak berhenti sampai pada dirinya, melainkan terus berlanjut dan berkembang seiring perubahan zaman. Itulah roda kepemimpinan yang dijalankan Yesus selama hidup-Nya di dunia bersama murid-murid-Nya pada saat itu.

Peristiwa kenaikan Yesus ke surga sebenarnya mengingatkan kita akan suatu fase yang baru, tahap yang baru dan dengan pemimpin yang baru pula, yang sudah dimulai, yang harus terus dijalankan, tidak boleh berhenti dan harus dikembangkan secara terus-menerus. Dengan kata lain, bahwa pemilihan Yesus atas murid-murid-Nya, kemudian Ia hidup bersama-sama dengan mereka, melatih, membina dan mempersiapkan mereka untuk menjadi seorang pemimpin yang handal untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan-Nya.

Jika kita perhatikan secara saksama, yaitu di mana seluruh kepemimpinan Yesus tidaklah ditandai bagaimana Ia harus mempertahankan posisi kepemimpinannya selama mungkin dan sedapat mungkin. Melainkan Ia telah mempersiapkan para murid-Nya untuk menjadi seorang pemimpin yang besar, yang handal, yang hebat, yang berhasil dan melakukan hal-hal yang lebih besar dari apa yang Yesus lakukan sebelumnya. Ini memperlihatkan kepada kita, bahwa kerinduan Yesus dalam kepemimpinan-Nya bukanlah supaya diri-Nya dapat dikenang sebagai pemimpin yang besar, yang hebat dan yang tidak ada duanya. Sebaliknya, Yesus menginginkan atau merindukan supaya para murid-Nya menjadi pemimpin yang melakukan hal-hal yang jauh lebih besar dari apa yang telah Ia lakukan bersama mereka.

Bukankah hal yang serupa juga yang telah diwariskan Yesus kepada kita sebagai umat pilihan-Nya? Yesus menginginkan kita, yang percaya kepada-Nya dan sebagai gereja-Nya supaya terus menerus berkarya, melanjutkan, mengembangkan dan mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan-Nya kepada kita. Kenaikan Yesus ke surga tidak hanya melambangkan kemenangan-Nya terhadap kuasa maut atau dosa manusia. Melainkan juga, melalui para murid-Nya, orang-orang yang telah dipilih-Nya dan telah menyaksikan hidup, pengajaran dan karya-Nya semasa di bumi adalah orang-orang yang sebenarnya telah dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus tongkat estafet dari-Nya. Dengan kata lain, para murid dipilih adalah untuk dipersiapkan menjadi pemimpin besar dalam mengerjakan visi dan misi Tuhan.

Di samping mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin besar, mereka juga harus senantiasa mempersiapkan generasi selanjutnya, yang nantinya dapat melanjutkannya kembali secara dinamis. Itulah sebabnya mereka (para murid-Nya) dipilih untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan kembali generasi-generasi selanjutnya. Seorang pemimpin boleh saja berganti dan harus diganti, tetapi pekerjaan dalam tugas menghadirkan suasana surga, yang damai, adil, sejahtera, tak ada tangis bagi kehidupan umat manusia yang tidak boleh berhenti. Melainkan harus terus dilakukan, dikerjakan dan harus terus dikembangkan sesuai dan seturut dengan kehendak-Nya.

Dalam konteks itulah Yesus mengatakan “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu”. Kata Yunani yang digunakan untuk arti “Sesungguhnya” adalah Amen yang berarti “iya, benar/ kebenaran”. Ini memperlihatkan, bahwa kata “Sesungguhnya” di atas menunjuk kepada kebenaran sejati yang ada di dalam diri Yesus. Artinya, sumber kebenaran sejati itu hanya ada pada Tuhan dan bukan pada manusia. Manusia hanya bisa hidup benar dan melakukan kebenaran jika ia benar-benar hidup percaya dan mengikut Tuhan.

Jika Tuhan adalah sumber utama dari kebenaran sejati itu, maka tak seorangpun yang berhak mengklaim bahwa hidupnya benar sementara ia tidak percaya dan mengikut Tuhan serta menerima segala konsekuensinya. Karena tak satupun kebenaran yang tanpa konsekuensi atau harga. Artinya, segala konsekuensi itulah yang dimaksudkan dengan harga yang mahal yang harus dibayar oleh seorang pengikut jalan Tuhan (kebenaran). Seharusnya dalam arti itulah kata “Amen” atau “Amin” dimaknai umat Kristen (pengikut Kristus). Maka dari itu, ketika seseorang mengatakan kata “Amen” atau “Amin” maka ia harus siap dan bersedia melakukan kebenaran atau hidup benar di hadapan Tuhan apapun konsekuensinya.

Yesus memilih kedua belas murid-Nya adalah untuk mempersiapkan mental dan membentuk karakter mereka menjadi pengikut, pewaris dan generasi penerus kepemimpinan-Nya. Bukankah kita sebagai umat Kristiani juga adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Kristus sebagaimana Ia memilih kedua belas murid-Nya. Dalam pilihan itu kita dipersiapkan untuk mengerjakan visi dan misi-Nya, dan mempersiapkan generasi penerus kita sebagai mana Kristus telah mempersiapkan kita. Dalam terang itulah kita dituntut untuk mencerminkan karakter, kepribadian dan kehidupan Kristus di dalam keseharian hidup kita.

Hidup sebagai pengikut Kristus berarti telah siap untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan. Kedua belas murid yang dipilih-Nya adalah untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan. Melalui merekalah (murid-murid-Nya) Kristus telah memilih para pengikut-Nya untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan. Bukankah hal serupa juga berlaku bagi kita sebagai umat Kristiani saat ini? Kita adalah orang-orang yang telah dipilih Kristus untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan.

Pertanyaannya adalah mempersiapkan apa? Yang jelas kita harus senantiasa mempersiapkan generasi penerus pembawa tongkat estafet yang telah diwariskan-Nya kepada para pengikut-Nya. Di dalam warisan-Nya itu tersirat makna kasih yang abadi, pengampunan, kebenaran, kedamaian, keadilan, dan nilai-nilai kerajaan surga lainnya yang tak boleh diabaikan. Mereka yang melakukan semuanya itulah yang dikatakan Yesus sebagai orang yang percaya kepada-Nya. Bahkan mereka akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari apa yang pernah dilakukan Yesus semasa Ia hidup sebagai manusia seutuhnya. Salah satu dari mereka itu adalah Anda. Anda dan saya adalah termasuk di antara sekian banyak pribadi yang dipersiapkan Kristus untuk mempersiapkan pribadi yang lainnya menjadi pelaku firman-Nya.

Friday, 17 May 2013

"MENGASIHI MUSUH DAN BERBUAT BAIK BAGINYA"



Oleh: Sugiman

Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Lukas 6:35

Jika ada yang lebih baik, maka sebenarnya baik saja tidaklah cukup. Mungkin itulah pesan yang tersirat dalam Lukas 6:27-36. Selain ciptaan Tuhan yang lain, dunia ini dihuni oleh tiga kelompok manusia, yakni: pertama, mereka yang hidup di bawah rata-rata; kedua, mereka hidup rata-rata, dan ketiga, adalah mereka yang hidup di atas rata-rata. Yang dimaksud dengan manusia yang hidup di bawah rata-rata, rata-rata dan di atas rata-rata di sini tidak berbicara soal IQ, EQ, tingkat kegeniusan, kepintaran atau pendidikan formal yang ditempuh seseorang. Melainkan soal kualitas karakter, hati nurani dan kemuliaan hidup seseorang. Sebenarnya hal itu merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada setiap orang dari sejak ia masih dalam kandungan sebagai titik awal kemanusiaannya.

Kelompok pertama adalah manusia yang dengan setia menghiasi dan mengisi hidupnya dengan sikap-sikap yang pasif. Mereka mengetahui bahwa ada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang di dalamnya kemuliaan Tuhan terpancar. Namun, mereka lebih memilih diam, atau pasif dan selalu menunda untuk melakukan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu. Mereka kerap menyaksikan atau melihat secara langsung akan kehadiran nilai-nilai kebaikan dan kebenaran hadir di dalam dunia ini, hanya saja tidak ada respons dari tiap-tiap mereka.

Kelompok manusia yang kedua adalah mereka yang melakukan berdasarkan apa yang sesuai dengan harapan dan kepentingan pribadi mereka. Mereka hanya akan berbuat baik dan melakukan kebenaran jika orang lain sanggup  memberikan keuntungan yang lebih besar dari apa yang mereka telah lakukan. Jika tidak, maka mereka akan memilih diam dan membiarkan semuanya berjalan secara alami. Sifat alami yang dimaksud di sini adalah lebih menyangkut kepada keuntungan pribadi. Maksudnya adalah mereka hanya akan memberikan pertolongan jika yang ditolong memenuhi kapasitas atau kriteria untuk melakukan hal lebih dari yang mereka perbuat. Misalnya, mengharapkan imbalan saat memberikan pertolongan, atau memberi supaya juga diberi secara lebih.

Kelompok manusia yang ketiga adalah mereka yang selalu setia melakukan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam sepanjang hidupnya berdasarkan kasih karunia yang telah Tuhan titipkan ke dalam hidup mereka. Mereka melihat bahwa melakukan semuanya itu adalah sebagai ekspresi dan bukti imannya kepada Tuhan. Hidup di dalam dunia ini hanya akan berlangsung sesaat, sementara dan sekali saja. Semuanya itu adalah kesempatan untuk berkarya, melakukan apa yang pantas dan dapat dilakukan olehnya. Karena jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu ini akan berlalu secara sia-sia, dan ia tidak akan pernah kembali saat semuanya telah berlalu. Inilah konsep yang mereka tanamkan dalam hidup mereka. Mereka memahami bahwa hidup ini tidaklah lebih dari anugerah-Nya semata. Tetapi serentak dengan itu, mereka merasakan bahwa anugerah itu bisa hilang dan pergi saat ia diabaikan atau diterlantarkan. Itulah sebabnya mereka sadar bahwa jika ada yang lebih baik, maka baik saja tidaklah cukup. Atau, jika ada musuh, maka mengasihi orang yang telah mengasihi kita saja tidaklah cukup.

Oleh sebab itu, dalam teks Lukas 6:27-36 Yesus menegaskan bahwa setiap orang yang ingin mengikut dan percaya kepada-Nya harus menjadi manusia yang hidup di atas rata-rata. Karena jika hidup kita sama dengan kelompok manusia yang pertama dan kedua seperti yang disebutkan di atas, maka sebenarnya hidup kita tidak akan pernah terasa bagi atau memberi rasa apapun kepada dunia ini. Artinya, kehidupan orang yang demikian tidak akan bisa mempengaruhi dunia. Bahkan mereka akan diabaikan oleh dunia karena tidak ada sesuatu yang istimewa di dalam diri mereka. Dengan kata lain, jika ada yang luar biasa, maka hidup yang biasa saja sebenarnya tidaklah cukup. Jika ada yang lebih baik, maka baik saja pun tidak cukup.

Menjadi manusia yang hidup di atas rata-rata berarti menjadi manusia yang sanggup menerapkan hukum kasih yang melampaui batas. Bahkan orang-orang yang sebenarnya tidak pantas untuk dikasihi pun mereka kasihi. Salah satunya adalah mengasihi musuh. Secara manusia, jika diakui secara jujur, maka orang yang memusuhi dan menjadi musuh kita adalah sebenarnya orang-orang yang tidak pantas untuk dikasihi dan mendapat belas kasihan dari siapapun. Tetapi Yesus justru mengajarkan dan melakukan hal yang sangat bertolak belakang dari pemahaman kita sebagai manusia. Dikatakan, Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat kepada orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi mereka yang membenci kamu” (Luk. 6:27-28).

Dari kalimat Yesus di atas kita melihat ada empat kata kerja aktif bentuk imperatif/perintah yang digunakan, yaitu: (1). “agapate = kasihilah”, (2). “poieite = lakukanlah/ berbuatlah”, (3). “eulogeite = LAI menterjemahkan mintalah berkat. Lebih tepatnya kata eulogeite seharusnya diterjemahkan berkatilah”, dan (4). “proseukheste = berdoalah”. Keempat kata kerja aktif bentuk imperatif di atas memperlihatkan secara tegas kepada kita, bahwa kasih yang sesungguhnya bukanlah soal kata atau berapa banyak kata kasih yang kita uangkapkan, melainkan soal berapa banyak perbuatan kasih yang nyata itu kita lakukan untuk orang-orang yang memusuhi kita.

Di sisi yang lain, keempat kata kerja aktif bentuk imperatif di atas memperlihatkan bahwa setiap orang pasti memiliki musuh. Maksud frasa “memiliki musuh” di sini adalah bukan karena ia memusuhi, melainkan karena ia dimusuhi. Karena itulah Yesus menegaskan, meskipun orang lain memusuhi dan membenci kita, tetapi kita harus tetap mengasihi mereka, melakukan banyak hal penting yang mendatangkan kebaikan bagi mereka, dan memberkati mereka lewat doa-doa yang kita panjatkan kepada Tuhan.

Itulah sebabnya perintah kasih pada ayat 27-28 diulang kembali pada ayatnya yang ke-35 dengan makna yang lebih tegas dan mendasar, yakni: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Lukas 6:35). Satu hal yang penting untuk kita ingat, bahwa kebaikan Tuhan tidak terbatas pada orang-orang yang berbuat baik saja, tetapi juga kepada mereka tidak tahu berterima kasih dan jahat.

Namun demikian, mengasihi musuh bukan perkara mudah untuk dilakukan. Apalagi harus mengasihi mereka yang pernah menyakiti, melukai dan bahkan menghilangkan nyawa orang-orang yang sangat kita kasihi. Tetapi inilah konsekuensi hidup sebagai pengikut jalan Tuhan. Kemurnian kasih yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang akan teruji kemurnian dan ketulusannya jika sanggup mengasihi musuh-musuhnya, dan itulah esensi dari kasih sejati.

SIAPAKAH YANG TERBESAR?



Oleh: Sugiman

Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?"
Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka.
(Markus 9:33-34)

Sejarah kehidupan manusia membuktikan, bahwa untuk menjadi “yang terbesar” dari yang lain, seseorang rela melakukan tindakan apa pun dalam hidupnya. Mulai dari cara yang lembut hingga kepada yang kasar, dari yang sportif hingga kepada yang curang, dan dari yang bersih hingga kepada cara yang paling kotor. Tindakan-tindakan dan motivasi yang ganjil dan janggal sering menghiasi proses pencapaiannya.

Keinginan Adam dan Hawa untuk menjadi sama seperti Allah tak dapat dilepaskan dari permasalahan untuk menjadi “siapa yang terbesar”.  Begitu pula dengan peristiwa Kain membunuh adiknya, Habel. Peristiwa pembangunan menara Babel, perampasan hak kesulungan Yakub oleh Esau, Yusuf dibenci dan hampir dibunuh oleh saudara-saudaranya, tetapi dilarang Yehuda (salah satu saudara Yusuf), maka kemudian Yusuf dijual ke Mesir. Selain itu, rencana licik Saul yang akan membunuh Daud tatkala Daud dianggap sebagai saingannya untuk memimpin bangsa Israel, juga erat kaitannya dengan ambisi untuk menjadi “yang terbesar” dari pribadi yang lain.

Ternyata hal serupa juga yang diperdebatkan dan diperbincangkan oleh murid-murid Yesus saat dalam perjalanan menuju Kapernaum. Diskusi itu begitu hangat dan sengit, bahkan hingga menyebabkan pertengkar serta perselisihan di antara mereka. Betapa tidak, ternyata mereka membutuhkan sebuah pengakuan secara status atas jabatan, posisi atau kedudukan yang akan mereka peroleh sebagai pengikut Yesus. Bahkan mungkin kalau perlu Yesus sendiri yang harus menentukan posisi mereka berdasarkan segala kemampuan, kekuatan, keberanian, kerajinan, skill atau kesetiaan yang mereka miliki. Mungkin paham itu juga yang diharapkan para murid Yesus saat itu.

Dalam tanggapan-Nya, Yesus memposisikan diri-Nya sebagai orang yang lugu, polos dan seakan-akan tidak tahu apa-apa mengenai hal yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para murid-Nya dalam perjalanan ke Kapernaum. Dengan polos Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya demikian: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?". Tetapi sebenarnya jika kita perhatikan baik-baik kalimat tanya di atas, ternyata Yesus ingin memberikan penjelasan dan pemahaman yang benar atas persoalan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para murid-Nya itu. Hanya saja mereka merasa enggan dan takut untuk mengatakan masalah yang sebenarnya kepada Yesus. Sehingga mereka lebih memilih diam.

Latar belakang penyebab perdebatan sengit dan panas di antara para murid-Nya adalah tidak lain dan tidak bukan karena karakter seorang raja dan kemesiasan yang diperlihatkan Yesus melalui berbagai keajaiban, gaya hidup, perkataan dan karya/ perbuatan-Nya. Hanya saja pemahaman para murid Yesus selama mengikuti-Nya disamaartikan dengan konsep pemahaman umat Israel kuno tentang peranan seorang mesias dalam dunia politik dan peperangan. Umat Israel memahami, bahwa jabatan kemesiasan atau raja sejati adalah harus berani dan memegang pedang untuk melawan musuh. Selanjutnya ia pasti memberikan kedudukan yang pantas bagi orang-orang dekatnya atau kepercayaannya.

Dengan kata lain, perdebatan tentang “siapa yang terbesar” sebenarnya adalah masalah utama yang teragis dalam sejarah hidup manusia. Berbagai cara telah dilakukan hanya untuk sebuah pengakuan tentang “siapa yang terbesar”. Bahkan yang lebih ekstrim adalah telah dicoba untuk diselesaikan dengan pedang. Mulai dari senjata tradisional hingga pada senjata modren dan yang paling canggih. Persaingan, perdebatan, pertengkaran, kekerasan fisik dan hingga pada kematian pun tak terhindarkan. Kawan bisa jadi lawan, saudara bisa jadi orang asing, yang tidak ada diadakan, begitu pula sebaliknya, yakni yang ada ditiadakan.

Lebih jauh dari itu, tindakan sikut menyikut, saling menjelek jelekan, injak menginjak, jatuh menjatuhkan, hina menghina, khianat mengkhianati, fitnah memfitnah pun tak terhindarkan. Nilai-nilai kebenaran yang telah Tuhan tanamkan dalam hati setiap orang pun terpaksa dihianati, diperjualbelikan, dikotori, dan direndahkan hanya untuk menjadi yang terbesar menurut ukuran manusia.

Bukankah persoalan serupa juga telah dan sering terjadi dalam kehidupan kita. Apalagi kita hidup di zaman yang kompetitif, yang sedikit banyak telah mempengaruhi dan meracuni hati nurani serta pikiran sehat manusia. Siapa yang terkuat dialah yang berhak hidup. Itulah hukum rimba. Siapa yang dapat membayar lebih, dialah yang mendapatkan posisi yang utama, terhebat, tertinggi dan terhormat. Itulah hukum jual beli. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah mengorbankan hak-hak dasar dan nilai-nilai kebenaran hanya untuk mendapatkan sebuah jabatan dan pengakuan tentang “siapa yang terbesar” dalam hidup ini.

Kebutuhan pribadi manusia akan pengakuan tentang siapa yang terbesar dari pribadi manusia yang lain seolah-olah hanya dapat diperoleh dengan cara-cara yang licik dan kotor. Seolah-oleh jika dirinya tidak mendapatkan posisi itu di hadapan manusia lainnya di dunia ini ia tak bisa menikmati kebahagiaan hidupnya. Adalah sangat kasihan melihat jika masih ada orang yang memiliki pemahaman yang keliru itu. Karena kekeliruan itulah yang kerap menjadikannya seorang penjahat dan penghianat atas nilai-nilai kebaikan yang Tuhan telah tanamkan di dalam hati nuraninya.

Pemahaman yang keliru untuk menjadi yang terbesar tidak hanya terjadi di kalangan para pejabat negara, tetapi juga menimpa para pejabat gereja Tuhan. Karena itulah para pelayan Tuhan di Gereja sering tidak dapat menjadi berkat bagi kehidupan jemaat Gereja itu sendiri. para Pendeta saling bersaing untuk mendapatkan posisi tertinggi dan terbesar dalam Gereja. Sementara Pendeta yang lain lagi sibuk mencari cara untuk menjatuhkan, mempermalukan, dan merendahkan Pendeta yang lain. Jemaat yang dipimpinnya pun ikut-ikutan membuat blok blok antara pengikut Pendeta si A dan pengikut Pendeta si B.

Begitu pula di kalangan para Majelis atau Pengurus Gereja, semuanya terlihat kaku dan tegang. Karena Majelis/ Penatua yang satu rajin memberi persepuluhan atau persembahan khusus kepada Gereja atau Pendetanya supaya diakui dan ditempatkan untuk menduduki posisi tertentu dalam Gereja. Begitu pula sebaliknya, yakni Pendeta yang satu rajin berkunjung ke rumah jemaat-jemaatnya yang kaya, dihormati, diperhitungkan dan berpengaruh bagi anggota jemaat yang lain dengan maksud supaya diangkat menjadi ketua Resort maupun ketua Sinode untuk menggantikan posisi si A.

Jika hal demikian masih melekat di dalam kepribadian kita, maka yakinlah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di dalam dunia ini tidak akan menjadi berkat. Sebaliknya, mungkin kita menjadi seteru bagi Tuhan dan batu sandungan bagi banyak orang. Sebaliknya Yesus mengatakan, bahwa siapa yang ingin menjadi yang terbesar, maka hendaklah ia menjadi seorang pelayan sejati. Menjadi seorang pelayan sejati berarti harus berani memberi diri bagi orang lain. Dan memberi diri bagi orang lain berarti siap membayar harga sebuah kebenaran bagi Tuhan, yang belum tentu benar dan baik bagi manusia. Artinya, harga yang harus dibayar seorang pelayan Tuhan adalah sangat beragam bentuknya, yaitu bisa dibenci, disakiti secara fisik, dicaci-maki, dicemooh, dianiaya dan bahkan nyawanya menjadi taruhannya karena kebenaran yang diberitakannya, dan itulah konsep seorang pelayan yang Yesus maksudkan. Maka dari itu, yang terbesar adalah mereka yang dengan rela dengan penuh ketulusan hatinya untuk melayani Tuhan sepenuhnya dalam sepanjang kehidupannya.