Friday, 28 December 2012

KARENA AKU MENGASIHIMU

Oleh: Sugiman

Konon, hiduplah seorang ayah yang kaya raya, beserta kedua anak laki-lakinya yang sangat ia kasihi. Adapun keluarga mereka adalah keluarga terkaya di daerahnya pada masa itu. Mereka tidak hanya memiliki kekayaan dalam bentuk materi, tetapi juga benda, seperti: emas, perak dan ternak yang berlimpah, ribuan hektar lahan perkebunan, ladang, sawah dan ribuan jumlah para pekerja dan pelayan. Semua itu kekayaan yang sudah pasti menjadi hak warisan kedua anaknya.

Adapun sang ayah di usianya yang sudah tidak lagi muda sangat bahagia menikmati masa tua hidupnya bersama kedua anaknya. Rumahnya megah dan mewah, dan di situlah mereka saling bercengkrama, bercanda, tertawa bersama kedua anaknya. Namun si bungsulah sering bersama sang ayah karena usianya yang masih muda dan belum diperkenankan untuk bekerja. Karena itu tak jarang sang ayah kuatir dengan anak bungsunya, yang masih sangat rawan akan pengaruh dan ajakan yang jahat dari teman-teman sebayanya maupun dari orang dewasa lainnya. Bahkan tidak jarang juga sang ayah mengontrol dan memperhatikan si bungsu dengan kasih tanpa harus menghilangkan haknya untuk membuat sebuah keputusan yang baik sesuai hati nuraninya.

Sementara anaknya yang sulung sangat sibuk mengurus lahan perkebunan, ladang dan sawah mereka. Selain itu, si sulung juga sibuk mengawasi, mengontrol dan mengarahkan para pekerja ayahnya supaya tetap bekerja dengan baik. Itulah sebabnya jarang berada di rumah seperti halnya adiknya (si bungsu). Setiap pagi, di pagi-pagi buta ia sudah berangkat. Bahkan ia sering pulang malam dari pekerjaannya, dan begitu seterusnya. Karena itu, sering juga sang ayah menyuruhnya untuk beristirahat yang cukup, menjaga pola makan demi kesehatannya.

Sang ayah merasa sangat bangga pada  kedua anaknya. Bahkan tidak jarang sang ayah terbangun di tengah malam, kemudian membuka pintu kamar anaknya satu persatu untuk melihat keadaan mereka. Saat anak-anaknya tidur dengan nyenyak, sang ayah juga sering memperbaiki selimut yang jatuh ke lantai, serta membelai rambut dan mencium kening mereka dengan kasih. Sang ayah selalu berharap supaya mereka selalu menjadi anak yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan tidak jarang juga sang ayah meneteskan air mata karena rasa haru, sukacita, bahagia dan kasihnya yang amat besar, yang tak dapat diukur dan yang tak ternilai harganya dan yang tak terungkapkan dengan kata-kata.

Pada suatu ketika, di saat yang tak diduga-duga, saat yang tak terpikirkan oleh sang ayah, yaitu di mana anaknya yang bungsu meminta seluruh harta, hak dan warisan yang menjadi bagiannya secara paksa. Penulis buku Lukas mencatatkan kalimat yang diungkapkan si bungsu terhadap sang ayah secara gamblang demikian: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku (Lukas 15:12). Mendengar kalimat itu, sang ayah terkejut dan bertanya mengapa si bungsu melakukannya. Tetapi dengan suara keras si bungsu langsung membentak sang ayah bahwa ia akan pergi ke negeri jauh. Kemudian sang ayah bertanya lagi: ke negeri jauh di mana nak, dan apa nama daerahnya? Tetapi lagi-lagi dengan nada keras dan membentak si bungsu berkata: bapa tidak perlu tahu negeri jauh yang akan aku tuju, cepat bagi harta kita untuk ku!!!.

Akan tetapi sang ayah tetap menjawab dengan nada sopan dan lembut serta penuh dengan belas kasihan. Namun, setelah beberapa hari merayu, memohon, menasihati dan mempertimbangkan matang-matang keputusan si bungsu yang akan pergi jauh meninggalkan ayahnya, kakak sulungnya dan tempat kelahiran, akhirnya sang ayah membagi dan memberikan harta yang menjadi hak warisan sesuai permintaan si bungsu. Dengan berat hati sang ayah merelakan dan mengizinkan kepergian anak bungsunya yang sangat ia dikasihi. Sang ayah sangat kuatir pada anaknya itu, karena ia belum bisa bekerja seperti anak sulungnya. Si bungsu juga belum bisa mengarahkan hidupnya sendiri pada hal-hal yang dapat merusak masa depannya.

Meskipun demikian, sang ayah tetap menghormati dan menghargai keputusan si bungsu untuk pergi ke negeri jauh sesuai keinginannya. Sebelum pergi, si bungsu terlebih dahulu menjual harta benda. Penulis buku Lukas menuliskan demikian: Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya (Lukas 15:13). Di negeri jauh itu, si bungsu memuaskan hawa nafsunya bersama para pelacur dan hidup dalam perjudian hingga semua hartanya habis total sehingga ia menjadi melarat dan hidup dalam kelaparan. Akhirnya, ia mengemis ke sana sini, memungut makanan-makanan sisa di tempat-tempat sampah. Hidupnya sangat menderita. Itulah sebabnya, ia berusaha mencari pekerjaan yang layak supaya dapat hidup. Dari satu tempat ke tempat yang lain ia melamar pekerjaan, namun tak seorang pun yang memberinya kesempatan untuk bekerja.

Sedangkan, ayahnya di rumah, setiap hari, sepanjang waktu dan bahkan bertahun-tahun selalu menantikan dan mengharapkan anaknya yang bungsu itu pulang atau kembali rumah. Setiap hari sang ayah duduk dan berdiri di depan rumah dan menajamkan pandangan matanya yang sudah rabun ke ujung jalan. Bertahun-tahun di setiap harinya sang ayah menunggu anaknya yang bungsu pulang itu pulang ke rumah, tetapi tak juga kunjung datang. 

Sementara si bungsu sudah merasa pasrah akan hidup di negeri jauh. Ia merasa sudah tak ada lagi harapan hidup. Itulah sebabnya, ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga ternak babi di ladangnya. Tetapi ia pun tidak diberi makan oleh majikannya. Ia sangat kelaparan dan melarat. Penulis buku Lukas mengatakan, bahwa ia (si bungsu) berusaha mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi, tetapi tak seorang pun memberikannya kepadanya (Lukas 15:14-16).

Di dalam kemelaratan, kesusahan dan penderitaan yang dialaminya ia menyesal, sadar dan berkata pada dirinya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa (Lukas: 15: 17-19). Setelah ia mengatakan demikian, penulis buku Lukas melanjutkan ceritanya: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (Lukas 15:20).

Refleksi:
Bukankah dalam kehidupan ini kita juga sering menyakiti dan menghianati Tuhan seperti yang dilakukan oleh si bungsu di atas? Tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk memberikan segala sesuatu yang kita inginkan sesuai yang kita harapkan. Setelah mendapatkannya kemudian kita pergi jauh melupakan, meninggalkan dan menghianati-Nya. Bahkan tidak jarang Tuhan menangis karena kelakukan dan perbuatan kita yang sering menyakiti hati-Nya. Namun begitu, apapun keadaan kita, seberapa sering kita mendustai dan menghianati-Nya, Dia tetap dan selalu menunggu kita kembali kepada-Nya. Dia pasti sangat merindukan kita.

Begitulah juga Tuhan memperlakukan kita. Semua dilakukan karena Dia sangat mengasihi kita, dan Dia berharap kita juga seharusnya melakukannya (mengasihi-Nya). Bagaimana caranya kita dapat mengasihi Tuhan? Yesus mengatakan: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Matius 25:40). Karena itu janganlah pernah berhenti mengasihi seorang akan yang lain! Itulah pesan Natal yang Yesus titipkan kepada para pengikut-Nya.

Thursday, 20 December 2012

MENIKAH: MENCARI TEMAN HIDUP ATAU MUSUH HIDUP?

Oleh: Sugiman

Dalam bukunya Selamat Berteman, Andar Ismail menuliskan demikian: “Mengapa orang menikah? Karena jatuh cinta. Mengapa rumah tangganya bahagia? Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena bangun cinta. Jatuh cinta berbeda dengan bangun cinta. Jatuh cinta itu gampang, dalam sepuluh menit juga bisa jatuh cinta. Tetapi membangun cinta itu susah dan perlu waktu seumur hidup.”

Mengapa bisa demikian? Karena ketika jatuh cinta, kita buta, bisu dan tuli. Itulah sebabnya kita sengaja tidak melihat keburukan si dia. Kita juga pun tidak mungkin mencela keburukannya. Bahkan ketika dia mencela pun, kita tidak mendengarnya sebab kita bisu. Ketika bepergiaan dunia seolah-olah milik berdua, sedangkan yang lainnya ngontrak. Percaya atau tidak, itulah yang dialami orang yang sedang jatuh cinta. Terkesan berlebihan memang, tetapi ini adalah realita kehidupan orang yang sedang jatuh cinta.

Puncak dari kebutaan, kebisuan dan tuli yang dialami adalah ketika bersanding dipelaminan, atau setelah janur kuning melengkung. Namun setelah malam pertama berakhir dan bulan madu berakhir, suasana pun mulai berubah. Mata kita mulai melihat keburukan si dia, bahkan sebesar butiran debu pun kesalahannya menjadi tampak dengan jelas. Mulut kita yang tadinya bisu mulai mengeluarkan kata-kata pedas, menyakiti, mengkritik dan ia pun membela diri, sehingga terjadilah pertengkaran. Emosi yang jahat pun tidak terkendali, sehingga piring, gelas, kuali, periuk pun berhamburan di halaman rumah.

Memang kedengarannya sedikit lucu dan terkesan didramatisir, karena setiap kali saya mengatakannya kepada banyak orang hal ini sering menjadi bahan tertawaan sejenak. Tetapi hal ini tetaplah fakta dan bukan karangan belaka. Ini adalah realita. Apalagi kalau sudah memiliki anak, masalah kecil pun dapat menjadi besar dan serius.

Jika demikian, apakah kita harus berdiam diri dan tidak boleh marah? O jangan! Bukan itu maksud saya. Karena tidak mungkin dalam sepanjang kehidupan rumah tangga tanpa kemarahan. Tetapi maksud saya adalah, marahlah seperlunya, sewajarnya, yang mendidik, yang terukur dan yang membangun satu sama lain. Dengan kata lain, setiap kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh si dia memang harus ditegur dan diperbaiki. Maka dari itu, dalam situasi ini dibutuhkan komunikasi yang sehat. Bukan untuk mencari-cari kesalahannya.

Interaksi dengan teman hidup memang sangat berbeda dengan teman sekolah, teman minum kopi, teman memancing, teman kerja di kantor yang hanya berlangsung dalam beberapa jam saja dalam sehari. Sedangkan dengan teman hidup kita berinteraksi jarang ada yang kurang dari 24 jam sehari selama seminggu. Interaksi yang intensif itu membawa dua dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan kita, yaitu positif atau negatif.

Kedua dampak di atas dijelaskan secara gamblang oleh Andar Ismail demikian, positifnya adalah “kita betul-betul saling mengenal watak dan kebiasaan masing-masing. Semua belang kita tersingkap. Tidak ada sifat buruk yang bisa disembunyikan di belakang topeng. Negatifnya, kita jadi saling mudah kecewa dan jengkel terhadap segala keburukan itu.”

Di sinilah letak perbedaan mendasar atnata orang sedang jatuh cinta dan membangun cinta. Kita jatuh cinta pada seseorang karena kita menyukainya, sedangkan membangun cinta diperlukan itikad baik untuk memahami setiap persoalan yang ada dan mencari solusinya secara bersama. Itulah sebabnya, kerendahan hati, sikap yang tidak mementingkan diri sendiri dan kedewasaan pola pikir sangatlah dibutuhkan atau diperlukan dalam hal ini.

Jika tiap-tiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri, maka keharmonisan tidak akan pernah tercapai secara total dan utuh. Komunikasi pun tidak pernah menemukan titik temu untuk perdamaian keduanya. Yang ada hanya bara yang semakin membara. Akibatnya kata-kata yang dikeluarkan tidak memberikan makna positif sedikitpun, dan keduanya saling melukai hati. Makin larut luka itu makin mendalam dan mengkristal, sehingga keduanya saling memusuhi. Suasana pun terasa sangat menyiksa.

Yang seharusnya si dia jadi teman hidup, tetapi malah menjadi musuh hidup. Pernikahan dan rumah tangga seharusnya menghadirkan suasana surge, tetapi malah terasa di neraka. Mengapa demikian? Karena keduanya berusaha saling membela dan membenarkan kesalahannya satu sama lain.

Pertanyaannya adalah, apa yang kita cari dulu semasa masih berpacaran? Apakah kita mencari teman hidup atau musuh hidup? Jika memang benar mencari teman hidup, mengapa kita menyakiti, memusuhi dan menjadikannya sebagai seteru? Atau kita merasa ia bukan orang yang pantas untuk dicintai? Atau kita merasa si dia tidak cocok, tidak sepadan dan tidak seperti yang diharapkan? Atau kita merasa si dia memiliki banyak kekurangan, tidak sempurna dibandingkan diri kita?

Ketika Tuhan menciptakan manusia, kemudian Ia menanamkan cinta dan kasih sayang-Nya di dalam lubuk hati setiap orang bukan karena mereka pantas menerimanya. Tetapi karena kasih dan anugerah-Nya semata, yakni supaya kita hidup saling mengasihi seperti Tuhan telah mengasihi kita. Kasih yang Tuhan berikan itulah yang dapat menyatukan dua insan/ pribadi yang memiliki karakter, sifat, sikap yang tidak sama seorang dengan yang lainnya. Cinta bukan menolak ketidaksempurnaan atau kekurangan yang ada pada si dia, tetapi menerima dan melengkapi apa yang menurut kita tidak sempurna. Cinta bukan mencari orang yang sempurna untuk dicintai, melainkan menciptakan cara-cara yang sempurna untuk mencintai dan menerima kekurangan atau ketidaksempurnaan yang ada pada pribadi itu sendiri.

Jatuh cinta adalah langkah awal dari seseorang untuk membangun cinta. Sedangkan membangun cinta berarti membangun hidup dengan cinta yang lebih dewasa. Sehingga kedua belah pihak dapat saling menghargai, menopang, menguatkan, mendengarkan, bertanggung jawab, mengoreksi, menegur kesalahan, memperbaiki kelakuan, mengasihi, mengalah, memahami, memperhitungkan perasaan atau memperhatikan kepentingan. Karena itu bangunlah cinta di atas dasar kasih yang tulus nan kokoh, maka Anda pasti merasakan manfaat dan kebahagiaan yang belum pernah Anda rasakan sebelumnya!.

Wednesday, 28 November 2012

BIARLAH KEHENDAK-NYA YANG TERJADI


Oleh: Sugiman

Dalam menjalani kehidupan ini, tidak jarang kita merasa bahwa ada begitu banyak hal yang telah direncanakan dari sejak awal, tetapi tidak semuanya terjadi sesuai dengan harapan.

Bahkan yang sulit dimengerti lagi adalah hampir semuanya yang kita rencanakan tidak terjadi sebagaimana yang dinanti-nantikan atau harapkan selama ini.

Namun demikian, harus disadari bahwa apa yang kita anggap baik adanya ternyata belum tentu baik bagi Tuhan. Mungkin itulah alasan mengapa tidak semua rencana kita selaras dengan rencana atau rancangan Tuhan.

Dengan kata lain, kita sangat berhak dan harus atau wajar untuk merencanakan segala sesuatu yang akan kita kerjakan atau lakukan, serta mengharapkan hasil yang sepadan atau seimbang dengan harapan.

Namun, tidak berarti semuanya menjadi harus atau wajib terjadi. Karena pada dasarnya, segala sesuatu yang kita inginkan sebenarnya belum benar-benar kita butuhkan. Atau mungkin sebenarnya kita belum siap dan pantas untuk memperolehnya. Karena tidak menutup kemungkinan kita akan melupakan Tuhan setelah kita mendapatkannya.

Betapa tidak? Dari sekian banyak orang yang mengalami kesusahan dan hidup pas-pasan sebelumnya ternyata tidak pernah berhenti mengucapsyukur (bersyukur) dengan apa yang telah mereka miliki. Tetapi keadaan atau situasi menjadi sangat berubah ketika mereka dengan sangat mudah mendapatkan segala sesuatu yang mereka inginkan.

Akibatnya, ucapan syukur jarang dan bahkan tidak pernah terdengar lagi di telingga Tuhan. Mereka begitu sibuk dengan semua yang dimiliki, semua perhatian berpusan pada harta benda dan kekayaan yang ada. Sehingga satu detik pun mungkin tidak diberikan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan bersama Tuhan yang tidak bernah berhenti memelihara kehidupan setiap orang.

Maka dari itu, jangan mengharuskan atau mewajibkan semuanya terjadi sesuai dengan keinginan yang kita harapkan. Karena dengan demikian sama halnya kita telah menjadi tuan atau majikan atas Tuhan. Sehingga seolah-olah Tuhan kita jadikan sebagai pembantu yang harus menuruti semua keinginan kita.

Tidak semua yang kita inginkan dapat Tuhan lakukan. Bukan karena Dia lemah dan tidak sanggup melakukannya, tetapi Dia tahu mana yang terbaik untuk kita, dan Dia dapat melakukan banyak hal penting yang dapat mendatangkan kebaikkan bagi banyak orang dan diri kita. Karena itu, biarkanlah segala sesuatunya terjadi sesuai dengan kehendak bebas-Nya!

Saturday, 15 September 2012

KISAH SEORANG JANDA YANG BERHATI MULIA (1 RAJA 17:7-16)


Oleh: Sugiman

Alkisah, di sebuah desa kecil yang bernama Sarfat, yang terletak di pelabuhan kapal di pantai laut Fenisia di Timur Tengah. Dalam kisah itu diceritakan mengenai kehidupan seorang janda miskin bersama anak perempuannya, satu-satunya yang masih berusia sangat muda. Namun tidak disebutkan berapa usia dari anaknya itu. Mungkin usia anak itu sekitar 12 tahunan.

Yang jelas dalam kisah tersebut, diceritakan, bahwa anaknya itu belum bisa bekerja atau melakukan pekerjaan berat untuk menghidupi ibunya yang sudah hidup sekian lama menjanda. Karena itu, sang anak hanya disuruh menunggu di sebuah gubuk sederhana yang terletak di sebuah desa di Sarfat.

Dalam kesehariannya diceritakan bahwa seorang  janda ini bekerja sebagai petani gandum dan mengumpulkan kayu api. Panasnya terik sinar matahari tidak pernah membuatnya menyerah dan mengeluh dalam menjalani kehidupannya bersama anak sebatang karanya.

Seperti yang kita ketahui, bahwa di daerah Timur Tengah adalah daerah yang sangat gersang, tandus, kering kerontang dan berbatu-batu. Karena itu tidak banyak tumbuhan yang bisa hidup bertahan lama di sana, kecuali tumbuhan-tumbuhan tertentu, seperti tumbuhan kurma, kaktus dan sejenisnya.

Pada suatu ketika terjadilah kemarau yang sangat hebat sehingga menyebabkan kekeringan di mana-mana. Selama beberapa bulan di tahun itu tidak pernah turun hujan di negeri itu. Akibatnya, tumbuh-tumbuhan banyak yang menjadi layu dan mati karena tidak ada air. Bahkan dikatakan embun pagi pun tidak turun di tahun-tahun itu.

Salah seorang petani gandum yang gagal panen akibat kemarau yang berkepanjangan itu adalah seorang janda yang disebutkan di atas. Sang janda menyadari bahwa persediaan gandum yang dimilikinya sudah semakin menipis, dan bahkan banyak orang yang hidup pada masa itu menjadi melarat dan meninggal dunia akibat kelaparan.

Selanjutnya, dalam kisah kehidupan seorang janda di atas juga diceritakan, bahwa ia hanya tinggal memiliki segenggam tepung gandum dan sedikit minyak yang akan digunakan untuk membuat roti bundar. Maka dapat dibayangkan, yakni sebesar apa roti yang akan dihasilkan dari segengam tepung itu. Tetapi itulah kenyataan hidup yang sangat sulit, menyedihkan dan menyakitkan, yang dihadapi sang janda itu bersama anak sebatang karanya.

Pada saat sang janda sedang mencari beberapa potong kayu api untuk memasak segenggam tepung menjadi sebuah roti bundar, yaitu demi menyambung hidup bersama anaknya. Beberapa saat kemudian datanglah seorang laki-laki bernama Elia dari daerah Tisbe – Gilead, yaitu daerah yang terletak di pegunungan di sebelah timur Sungai Yordan.

Ketika Elia melihat janda itu sedang mengumpulkan kayu api, ia berseru kepadanya dan berkata: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi supaya aku minum.” Ketika janda itu pergi mengambilnya, Elia berseru lagi katanya: “Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti.”

Kemudian janda itu menoleh ke arahnya dan berkata: “Demi Tuhan Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-bili. Dan sekarang aku mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati”.

Dari kalimat di atas dengan jelas memperlihatkan, bahwa setelah mereka habis memakan roti itu, maka tinggal menunggu hari kematian datang menjemput mereka. Karena sudah tidak ada persediaan tepung, yang dapat dioleh menjadi roti. Sungguh ini adalah situasi yang sangat mengerikan bagi kehidupan orang-orang saat itu, termasuk keluarga si janda itu.

Selanjutnya, yang lebih teragis lagi adalah, bahwa di dalam situasi yang sangat sulit itu, Elia yang datang sebagai orang asing bagi seorang janda itu dengan enaknya meminta sepotong roti kepadanya. Sudah sedikit, untuk dimakan berdua dengan anaknya, kini diminta lagi oleh orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Bahkan Elia meminta dibuatkan roti yang paling pertama, setelah itu baru anak dan dirinya.

Akan tetapi, si janda itu melakukan seperti yang dikatakan oleh Elia. Dikatakan, bahwa janda itu mengolah segenggam gandum yang dimilikinya itu menjadi sebuah roti bundar kecil. Kemudian tanpa merasa berat hati dan bersungut-sungut, melainkan dengan hati yang tulus ikhlas, serta sukacita, janda itu memberikan sepotong dari rotinya kepada Elia. Dan seketika itu juga tepung dalam tempayan simpanannya itu tidak habis-habis dan minyak dalam buli-buli itu juga tidak berkurang dalam jangka waktu tertentu hingga kebunnya menghasilkan gandum. Ini menandakan bahwa ia dan bersama anak perempuannya satu-satunya terbebas dari bencana kelaparan.

Kemudian, janda beserta anaknya itu tertunduk diam seribu bahasa dan berlutut dengan muka sampai ke tanah. Beberapa saat kemudian, dari lubuk hatinya yang terdalam ia berkata lirih dan lembut: “Sungguh, Tuhan sanggup melakukan banyak hal penting, yang dianggap mustahil bagi manusia, tetapi bagi Dia tidak ada satupun yang mustahil”.

Refleksi:

Para pembaca yang budiman, kisah di atas mengajarkan kepada bahwa jalani dan nikmatilah kebahagiaan hidup ini dengan sesama, terlebih dengan orang-orang membutuhkan pertolongan kita di dalam setiap situasi apapun. Cinta dan kasih sayang yang tulus ikhalas harus menjadi kunci utama dalam menjalaninya.

Karena itu, jangan pernah memandang sesama kita dengan sebelah mata, dan jangan pernah menutup pintu hati nurani kita sampai mereka mati. Tetapi pandanglah mereka dengan kedua bola mata kita, dan tataplah mereka dengan kasih yang tulus ikhlas, serta sambut dan terimalah keberadaan mereka sebagai saluran berkat dari Tuhan untuk kita.

Selanjutnya, jangan pernah meragukan kemampuan Tuhan dalam setiap hidup kita! Karena Tuhan sanggup melakukan banyak hal penting, yang daat mendatangkan kebaikan dalam setiap hidup kita.

Ingat!!! Tuhan tidak pernah menuntut dan memaksa kita untuk melakukan segala pekerjaan yang tidak mungkin atau mustahil bagi kita, melainkan melakukan apa yang di depan mata, yang mungkin dan dapat kita lakukan. Selebihnya, biarkanlah Tuhan yang melakukan segala sesuatu yang kita anggap mustahil. Karena sebenarnya Tuhan sangat peduli dengan setiap kehidupan orang yang selalu mengandalkan Dia dalam hidupnya.

Oleh sebab itu, mulai sekarang, lakukanlah banyak hal penting, yang mendatangkan kebaikan bagi sesama dengan cara-cara hebat yang telah Tuhan berikan dan tanamkan dalam setiap kehidupan manusia untuk kemuliaan-Nya.


Salam, semoga tulisan ini bermanfaat!

Monday, 10 September 2012

JANGAN BIARKAN KEKECEWAAN MERUSAK KEBAHAGIAAN HIDUP INI!


Oleh: Sugiman

Mungkin Anda sepakat jika saya mengatakan bahwa sebagian besar manusia yang hidup di muka bumi ini sangat merindukan yang namanya kebahagiaan. Betapa tidak? Karena hampir segala aspek atau sudut kehidupan manusia adalah bermuara pada kebahagiaan. Sekalipun sebenarnya ada juga orang tidak ingin menikmati kebahagiaan hidup itu bersama sesamanya.

Akan tetapi, tampaknya kekecewaan yang dialami oleh banyak orang adalah masalah serius yang menghambat mereka untuk menikmati kebahagiaan hidup ini. Kekecewaan adalah virus yang sangat ganas, mematikan dan dapat merusak kebahagiaan hidup setiap orang yang memberi makan dan memeliharanya. Dengan kata lain, bahwa kekecewaan adalah ibu yang melahirkan sifat dendam, kebenciaan, mencari-cari kesalahan orang lain, emosional yang berlebihan dan sifat-sifat jahat yang lainnya.

Jika kekecewaan itu tetap dipertahankan, dipelihara dan diberi makan secara rutin, maka ia akan mengkristal di dalam hati tuannya, sehingga kebahagiaan hidup yang telah Tuhan berikan atau tanamkan di dalam hati setiap orang itu pergi menjauh, dan bahkan meninggalkannya. Artinya, tidak ada satu hal pun yang berharga dan bermanfaat yang dapat dihasilkan oleh kekecewaan, kecuali kekecewaan itu sendiri.

Kekecewaan tidak akan pernah melahirkan keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan hidup bagi mereka yang memeliharanya. Selain itu, kekecewaan juga dapat mendatangkan berbagai kepahitan hidup yang luar biasa beserta luka batin yang mendalam. Cepat atau lambat ia pasti akan mengerogoti dan merusak syaraf-syaraf atau organ-organ penting dalam hidup kita. Tidak hanya itu, bahkan hasil penelitian para dokter di California membuktikan, bahwa sebagian besar pasien yang mengidap penyakit borok usus besar, kanker hati, tumor ganas dan penyakit ganas lainnya disebabkan oleh kekecewaan yang sudah mengkristal dan mendalam.

Sungguh, kekecewaan yang mendalam telah merusak kebahagiaan hidup banyak orang. Kekecewaan membuat hidup ini menjadi sangat berat untuk dipikul menuju masa depan yang lebih baik. Bahkan kekecewaan juga merupakan tembok yang menghalangi kita untuk merasakan sukacita, kebahagiaan dan cinta kasih yang telah Tuhan berikan pada setiap orang. Akibat lain dari kekecewaan adalah kita tidak dapat menerima dan mengakui secara jujur akan kebaikan Tuhan melalui orang-orang yang ada di sekeliling kita.

So, jika kita terus-menerus mempertahankan dan membiarkan kekecewaan mengerogoti hidup kita, maka lambat laun kita akan menjadi manusia yang tidak lagi hidup normal. Pikiran, perasaan dan tindakan kita dihantui, diracuni dan dirusak olehnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak orang telah kehilangan harapan dalam menikmati hidupnya di dalam dunia ciptaan-Nya, yang adalah sebagai tempat satu-satunya yang diberikan Tuhan pada kita.

Karena itu, mulailah dari sekarang untuk membuang rasa kecewa yang selama ini kita pelihara, kemudian serentak dengan itu, kita juga harus memberikan ruangan yang luas dalam hati kita untuk pertumbuhan dan perkembangan kebahagiaan hidup ini. Selanjutnya, bersyukurlah untuk segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini, karena dengan demikianlah Anda dan saya telah berusaha untuk tidak memberikan tempat pada kekecewaan.

Ada banyak hal yang menjadi penyebab atas kekecewaan seseorang, tetapi tidak ada cara lain yang dapat kita lakukan untuk menghilangkannya, kecuali membuangnya secara paksa. Dengan kata lain, adalah sangat menyakitkan saat kita berusaha membuangnya, tetapi sebenarnya itulah awal dari kebahagiaan yang sesungguhnya.

Karena itu, nikmatilah awal dari kebahagiaan hidup Anda yang sesungguhnya itu bersama orang-orang yang kita kasihi, dan semua orang yang ada disekitar kita. Karena mereka itulah bagian yang tak terpisahkan dan para sahabat terbaik yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita. Oleh sebab itu, saya ucapkan selamat mencoba.


Salam kebahagiaan dan semoga bermanfaat.

BELAJAR DARI KISAH KESETIAAN SEEKOR ANJING


Oleh: Sugiman


Dalam sebuah film yang berjudul, “Hachiko: A Dog’s Story” menceritakan tentang seekor anjing yang tidak hanya taat pada tuan atau majikannya, tetapi juga setia pada sang majikannya. Ternyata pembuatan film ini terinspirasi dari kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko yang hidup dalam rentang waktu tahun 1923-1935  di Jepang.

Kisah ini berawal ketika Profesor Parker Wilson (Richard Gere) bertemu dengan seekor anak anjing praremaja di Stasiun Kereta Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat dimana ia biasa pergi dan pulang dari bekerja. Karena merasa kasihan, maka seekor anak anjing itu diajaknya pulang ke rumahnya dan diberi nama Hachiko.

Parker beserta istrinya Cate (Joan Allen) memelihara dan merawatnya hingga Hachiko bertumbuh dewasa, besar dan tiada hari yang dilewatkan Parker tanpa bermain bersama Hachiko.

Pada suatu hari, Hachiko secara diam-diam dan tanpa disangka oleh Parker bahwa Hachiko mengikutinya dari belakang hingga ke stasiun saat Parker berangkat kerja. Secara tidak sengaja Parker menoleh ke belakangnya setelah ia masuk ke gerbong kereta dan melihat Hachiko sedang duduk akan menyaksikan keberangkatannya. Namun, Parker terpaksa keluar dari kereta untuk memulangkan Hachico ke rumah.

Ketika pulang dari bekerja dan keluar dari gerbong kereta, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Maka sejak saat itulah Parker membiarkan atau mengizinkan Hachico mengantar-jemputnya di stasiun.

Setiap hari Hachiko mengantar-jemput tuannya (Parker) ke stasiun. Para pedagang yang ada di sekitar stasiun, serta para penumpang lainnya yang berjalan kaki terkagum-kagum serta tercengang menyaksikan apa yang kelakuan Hachiko, itulah yang membedakannya berbeda dengan anjing pada umumnya.

Semua orang yang tinggal di sekitar Stasiun Bedridge menyayangi Hachiko dan selalu menyapanya dengan ramah dan senyuman hangat seperti layaknya sapaan kepada manusia. Dengan wajah ceria Hachiko menatap setiap orang yang menyapanya dan sambil menggoyangkan ekornya sebagai tanda keceriaannya.

Hari berganti hari dan sampai pada satu ketika, Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00. Namun begitu, ia tetap menunggu sang tuannya pulang dari pekerjaannya.

Terdengar kabar, ternyata tuannya, Parker Wilson meninggal dunia karena serangan jantung ketika ia sedang mengajar. Sementara Hachiko sepertinya tidak pernah mengetahui dan mengerti bahwa tuannya yang selalu diantar jemputnya telah tiada.

Tidak lama setelah kematian Parker, Cate (istrinya) menjual rumah mereka dan pindah meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer).

Ketidakmengertian Hachiko atas kematian tuannya membuatnya terus berharap dan menantikan akan kepulangan tuannya. Berulang kali Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun dengan harapan ia akan menemukan tuannya kembali.

Andy sangat menyayangi Hachiko, karena itu ia selalu menjemput Hachiko di stasiun, dan hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko pergi. Selama itu juga Hachiko tinggal di stasiun menunggu waktu hingga pukul 17.00. Ia terus menunggu dan duduk di bundaran di depan stasiun Kereta Api, menantikan kedatangan tuannya.

Melihat keunikan tingkah laku Hachiko ternyata menarik perhatian banyak orang yang ada di sekitar stasiun, dan bahkan tulisan mengenainya juga dimuat dan disiarkan di berbagai media, seperti televisi dan di koran-koran sehingga kisahnya benar-benar menjadi legenda. Bahkan orang-orang memberinya makan Hachiko secara bergantian.

Kesetiaan Hachiko bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Parker, tuannya. Sampai akhirnya musim dingin tiba di tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam yang sunyi dan dingin.

Kisah yang disajikan dalam film Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung seekor anjing untuk mengenang kesetiaan Hachiko. Patung itu tepat didirikan di depan Stasiun Kereta Api Shibuya. Sungguh  kesetiaan Hachiko melebihi batasan kesetiaan anjing pada umumnya.

Refleksi

Para pembaca yang budiman, kisah nyata mengenai seekor anjing bernama Hachiko di atas mengajarkan kepada kita, bahwa kesetiaan adalah dilahirkan dari kasih tulus. Kesetiaan Hachiko dibentuk, yaitu ketika Profesor Parker memberikan kasih yang tulus padanya. Artinya, di dalam kasih yang tulus (sesungguhnya) tidak ada nilai kepura-puraan atau kepalsuan. Karena sesungguhnya, di dalam kepura-puraan hanya ada penghianatan.

Jika sesekor anjing saja sanggup setia sampai mati pada tuannya, bukankah manusia diciptakan Tuhan jauh melebihi kesetiaan seekor anjing? Bukankah manusia diberikan akal budi atau kecerdasan oleh Tuhan supaya dapat membedakan bahwa dirinya tidak sama dengan binatang? Tetapi sayang, realita kehidupan memperlihatkan, bahwa terkadang manusia lebih senang memelihara sikap, tindakan dan kasih yang penuh dengan kepura-puraan. Itulah sebabnya, di dalam dirinya benih-benih kebencian, dendam, iri hati, dengki dan penghianatan pada sesamanya dan terlebih pada Tuhan tumbuh dengan subur.

Sebagai akibatnya, kekerasan, ketidakadilan, dendam, kebenciaan dan pembunuhan atas sesamanya menjadi kecenderungan yang sangat sulit dihapuskan. Karena di dalam hatinya sudah tidak ada lagi tempat atau lahan untuk menumbuhkan benih-benih kehidupan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan dari manusia.

Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa supaya mereka dapat hidup saling mengasihi seorang akan yang lainnya. Itulah sebabnya Tuhan sangat peduli terhadap orang-orang yang dengan setia mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati, dan bukan dengan setengah hati atau kepura-puraan. Karena sesungguhnya, kesetiaan kita terhadap sesama, kasih kita terhadap sesama seharusnya menjadi bukti nyata kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Maka, adalah tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa dia sangat mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati sementara ia tidak mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati.

Monday, 27 August 2012

BELAJAR DARI KISAH SEORANG TUKANG BANGUNAN


Oleh: Sugiman

Alkisah, seorang tukang kuli bangunan tua yang hendak pensiun dari profesi yang sudah digelutinya selama bertahun-tahun. Mengingat usianya sudah sangat tua, maka ia merasa harus menikmati masa tua bersama istri tercinta, anak-anak, cucu dan orang-orang yang dikasihinya. Namun di sisi yang lain ia tahu bahwa ia akan kehilangan penghasilan rutinnya, tetapi bagaimanapun ia tetap merasa bahwa dirinya butuh akan istirahat.

Pada suatu ketika, yaitu di mana semuanya sudah terpikirkan dan dipertimbangkan dengan matang dan bijaksana, maka ia pun menyampaikan rencana tersebut kepada majikannya. Dengan berat hati, merasa sedih dirasakan oleh sang Majikan, sebab ia akan kehilangan salah satu tukang bangunan terbaiknya, yang tidak diragukan lagi keahlinya di bidang bangunan. Meskipun demikian, sang Majikan juga tidak ingin memaksa supaya ia tetap dan harus mempertahankan profesinya. Karena itu, meskipun berat hati sang Majikan menghargai keputusan salah satu karyawannya.

Dalam masa-masa yang sama, sang Majikan mengajukan sebuah permintaan terakhir sebelum akhirnya salah satu karyawannya ini berhenti dan melepaskan statusnya sebagai salah seorang karyawan terbaik, sang mandor memintanya sekali lagi untuk membangun sebuah rumah mewah, megah dari kayu terpilih atau bahan bangunan lainnya yang terbaik dan tahan untuk seumur hidup, dan ini betul-betul permintahan terakhir kalinya, tegas sang Majikan dengan suara lembut.

Mendengar permintaan terakhir sang Majikannya itu, maka ia pun mengiakannya. Tetapi kali ini dengan rasa terpaksa dan berat hati si tukang bangunan menyanggupi permintaan Majikan. Dalam hati ia berkata, ya tidak apa-apalah, karena ini untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya ia pensiun. Dengan berat hati, mengerutu atau penuh dengan sungut-sungut si tukang bangunan ini mengerjakannya.

Karena sang Majikan merasa yakin sepenuhnya, maka ia hanya tersenyum kepada salah satu karyawan terbaiknya ini dan mengatakan: "Kerjakanlah dengan cara dan keahlian terbaik yang kamu bisa, dan kamu bebas membangun dengan semua bahan terbaik yang ada." Dengan senyum, si tukang menyembunyikan keterpaksaannya supaya tidak diketahui oleh sang Majikan.

Keesokan harinya si tukang pun memulai pekerjaan terakhirnya itu. Karena sang Majikan sudah percaya sepenuhnya, maka ia tak diawasi oleh seorangpun, termasuk oleh sang Majikannya. Karena itu, ia bermalas-malasan dan asal-asalan saat mengerjakannya. Bahkan ia (si tukang) menggunakan bahan-bahan yang tidak berkualitas, cepat lapuk, bahan-bahan yang seharusnya tidak pantas untuk sebuah bangunan megah, kokoh dan terlihat mewah. Tetapi karena cat-cat dengan kualitas terbaik yang digunakannya, maka semua bahan yang berkualitas rendah, kayu yang mudah lapuk dan bahan-bahan yang mudah membusuk dalam waktu dekat itu tak tampak sedikitpun.

Seiring berjalannya waktu, bangunan atau rumah mewah itu pun selesai. Keesokan harinya, sang Majikan datang untuk memastikan dan memeriksa bangunan mewah yang tidak lain adalah permintaan terakhirnya. Ketika selesai memeriksa luar dalamnya dan sang Majikan pun sembari menutup daun pintu depan, kemudian ia berbalik kepada seorang tukang bangunan yang akan pensiun ini dan berkata, "Ini adalah rumahmu, hadiah dariku untukmu, semoga kamu dan keluargamu hidup bahagia!"

Mendengar kalimat sang Majikan di atas, si tukang bangunan ini sangat terkejut dan merasakan penyesalan yang amat mendalam atas apa yang telah ia lakukan. Dengan hati yang menyesal ia berteriak dalam hatinya: “kalau saja sejak dari awal aku tahu bahwa rumah ini akan menjadi milikku, maka aku pasti membangunnya dengan sungguh-sungguh, menggunakan bahan-bahan terpilih dan menggunakan bahan-bahan terbaik serta berkualitas tingggi.”

Tetapi sayang semuanya sudah terlambat dan terjadi. Sekarang, mau tidak mau ia harus tinggal bersama keluarganya di rumah yang terlihat mewah dan megah dari luar karena kilapan cat-cat terbaik, tapi sayang di dibalik cat-cat mengkilap itu hanyalah selimut atas bahan-bahan yang rapuh, mudah lapuk dan mudah busuk. Itu artinya, ia hanya tinggal menunggu rumah itu rusak dalam jangka waktu dekat dan menyaksikan hasil perbuatannya sendiri.

Sayang sekali, karena ketidaksungguhan, berat hati, ketidakseriusan, asal-asalan dan keterpaksaan ternyata memaksa si tukang bangunan harus memilih cara yang terburuk, yang mengantarkannya pada penyesalan, serta mengakhiri karirnya dengan cara yang menyedihkan.

Refleksi!

Sebagian dari kita saat ini adalah bekerja sebagai salah seorang karyawan pada perusahan atau lembaga tertentu. Bahkan ada yang sudah mengabdi bertahun-tahun hingga harus pensiun karena usia lanjut. Ada begitu banyak pekerjaan yang telah kita lakukan, yang telah kita berikan kepada banyak orang di luar sana untuk melihat dan menikmati hasilnya. Tetapi pertanyaannya adalah, seberapa banyakkah kita sudah mengerjakan semuanya itu dengan cara-cara terbaik yang kita miliki, dengan segenap hati, tanpa sungut-sungut, tanpa berat hati atau keterpaksaan?

Kisah di atas mengajarkan kepada kita, bahwa selama masih ada waktu, kerjakanlah segala sesuatu dengan sungguh-sungguh, yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang dengan hati yang tulus, dengan cara-cara hebat yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang. Karena ada saatnya di mana setiap orang tidak dapat melakukannya lagi, yaitu ketika maut menjemputnya kelak. Sehingga hidupnya terasa hambar, tidak memberikan dampak positif apapun dan dilupakan di dunia ciptaan-Nya.

Sekali lagi, lakukanlah semua pekerjaan mulia yang dipercayakan Tuhan kepada kita, dan kerjakanlah semuanya dengan hati yang ikhlas, yaitu seolah-olah hari ini adalah hari terakhir Anda dan saya untuk berkarya di dunia ciptaan-Nya. Karena sebenarnya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu detik yang akan datang dalam hidup kita. Dunia ini adalah rumah terbesar yang kita tinggali bersama keluarga besar, yaitu semua orang yang ada di dalamnya, tetapi tidak jarang kita melakukan banyak hal yang sia-sia, tidak maksimal, asal-asalan, bersungut-sungut dan penuh keterpaksaan. Ingat! Jangan sampai Anda dan saya menyesalinya dikemudian hari, yaitu ketika kita ditanya dan diperhadapkan dengan Sang Khalik.