Oleh: Sugiman
Konon, hiduplah
seorang ayah yang kaya raya, beserta kedua anak laki-lakinya yang sangat ia
kasihi. Adapun keluarga mereka adalah keluarga terkaya di daerahnya pada masa
itu. Mereka tidak hanya memiliki kekayaan dalam bentuk materi, tetapi juga benda,
seperti: emas, perak dan ternak yang berlimpah, ribuan hektar lahan perkebunan,
ladang, sawah dan ribuan jumlah para pekerja dan pelayan. Semua itu kekayaan
yang sudah pasti menjadi hak warisan kedua anaknya.
Adapun sang ayah
di usianya yang sudah tidak lagi muda sangat bahagia menikmati masa tua hidupnya
bersama kedua anaknya. Rumahnya megah dan mewah, dan di situlah mereka saling
bercengkrama, bercanda, tertawa bersama kedua anaknya. Namun si bungsulah
sering bersama sang ayah karena usianya yang masih muda dan belum diperkenankan
untuk bekerja. Karena itu tak jarang sang ayah kuatir dengan anak bungsunya, yang
masih sangat rawan akan pengaruh dan ajakan yang jahat dari teman-teman
sebayanya maupun dari orang dewasa lainnya. Bahkan tidak jarang juga sang ayah
mengontrol dan memperhatikan si bungsu dengan kasih tanpa harus menghilangkan
haknya untuk membuat sebuah keputusan yang baik sesuai hati nuraninya.
Sementara
anaknya yang sulung sangat sibuk mengurus lahan perkebunan, ladang dan sawah
mereka. Selain itu, si sulung juga sibuk mengawasi, mengontrol dan mengarahkan
para pekerja ayahnya supaya tetap bekerja dengan baik. Itulah sebabnya jarang berada
di rumah seperti halnya adiknya (si bungsu). Setiap pagi, di pagi-pagi buta ia
sudah berangkat. Bahkan ia sering pulang malam dari pekerjaannya, dan begitu
seterusnya. Karena itu, sering juga sang ayah menyuruhnya untuk beristirahat
yang cukup, menjaga pola makan demi kesehatannya.
Sang ayah merasa
sangat bangga pada kedua anaknya. Bahkan
tidak jarang sang ayah terbangun di tengah malam, kemudian membuka pintu kamar
anaknya satu persatu untuk melihat keadaan mereka. Saat anak-anaknya tidur
dengan nyenyak, sang ayah juga sering memperbaiki selimut yang jatuh ke lantai,
serta membelai rambut dan mencium kening mereka dengan kasih. Sang ayah selalu
berharap supaya mereka selalu menjadi anak yang baik dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan tidak jarang juga sang ayah
meneteskan air mata karena rasa haru, sukacita, bahagia dan kasihnya yang amat
besar, yang tak dapat diukur dan yang tak ternilai harganya dan yang tak terungkapkan
dengan kata-kata.
Pada suatu
ketika, di saat yang tak diduga-duga, saat yang tak terpikirkan oleh sang ayah,
yaitu di mana anaknya yang bungsu meminta seluruh harta, hak dan warisan yang
menjadi bagiannya secara paksa. Penulis buku Lukas mencatatkan kalimat yang
diungkapkan si bungsu terhadap sang ayah secara gamblang demikian:
Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta
milik kita yang menjadi hakku (Lukas 15:12). Mendengar kalimat itu, sang ayah terkejut dan
bertanya mengapa si bungsu melakukannya. Tetapi dengan suara keras si bungsu langsung
membentak sang ayah bahwa ia akan pergi ke negeri jauh. Kemudian sang ayah
bertanya lagi: ke negeri jauh di mana nak,
dan apa nama daerahnya? Tetapi lagi-lagi dengan nada keras dan membentak si
bungsu berkata: bapa tidak perlu tahu
negeri jauh yang akan aku tuju, cepat bagi harta kita untuk ku!!!.
Akan tetapi sang
ayah tetap menjawab dengan nada sopan dan lembut serta penuh dengan belas
kasihan. Namun, setelah beberapa hari merayu, memohon, menasihati dan
mempertimbangkan matang-matang keputusan si bungsu yang akan pergi jauh
meninggalkan ayahnya, kakak sulungnya dan tempat kelahiran, akhirnya sang ayah
membagi dan memberikan harta yang menjadi hak warisan sesuai permintaan si
bungsu. Dengan berat hati sang ayah merelakan dan mengizinkan kepergian anak
bungsunya yang sangat ia dikasihi. Sang ayah sangat kuatir pada anaknya itu,
karena ia belum bisa bekerja seperti anak sulungnya. Si bungsu juga belum bisa
mengarahkan hidupnya sendiri pada hal-hal yang dapat merusak masa depannya.
Meskipun
demikian, sang ayah tetap menghormati dan menghargai keputusan si bungsu untuk
pergi ke negeri jauh sesuai keinginannya. Sebelum pergi, si bungsu terlebih
dahulu menjual harta benda. Penulis buku Lukas menuliskan demikian: Beberapa hari kemudian
anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh.
Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya (Lukas
15:13). Di negeri jauh itu, si bungsu memuaskan
hawa nafsunya bersama para pelacur dan hidup dalam perjudian hingga semua
hartanya habis total sehingga ia menjadi melarat dan hidup dalam kelaparan. Akhirnya,
ia mengemis ke sana sini, memungut makanan-makanan sisa di tempat-tempat
sampah. Hidupnya sangat menderita. Itulah sebabnya, ia berusaha mencari
pekerjaan yang layak supaya dapat hidup. Dari satu tempat ke tempat yang lain
ia melamar pekerjaan, namun tak seorang pun yang memberinya kesempatan untuk
bekerja.
Sedangkan, ayahnya di rumah, setiap
hari, sepanjang waktu dan bahkan bertahun-tahun selalu menantikan dan mengharapkan
anaknya yang bungsu itu pulang atau kembali rumah. Setiap hari sang ayah duduk
dan berdiri di depan rumah dan menajamkan pandangan matanya yang sudah rabun ke
ujung jalan. Bertahun-tahun di setiap harinya sang ayah menunggu anaknya yang
bungsu pulang itu pulang ke rumah, tetapi tak juga kunjung datang.
Sementara si bungsu sudah merasa pasrah
akan hidup di negeri jauh. Ia merasa sudah tak ada lagi harapan hidup. Itulah
sebabnya, ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga ternak babi di ladangnya.
Tetapi ia pun tidak diberi makan oleh majikannya. Ia sangat kelaparan dan
melarat. Penulis buku Lukas mengatakan, bahwa ia (si bungsu) berusaha mengisi
perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi, tetapi tak seorang pun
memberikannya kepadanya (Lukas 15:14-16).
Di dalam kemelaratan, kesusahan dan
penderitaan yang dialaminya ia menyesal, sadar dan berkata pada dirinya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang
berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan
bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa
terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa;
jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa (Lukas: 15: 17-19).
Setelah ia mengatakan demikian, penulis buku Lukas melanjutkan ceritanya: Maka
bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah
melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari
mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (Lukas 15:20).
Refleksi:
Bukankah dalam kehidupan ini kita
juga sering menyakiti dan menghianati Tuhan seperti yang dilakukan oleh si
bungsu di atas? Tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk memberikan segala sesuatu
yang kita inginkan sesuai yang kita harapkan. Setelah mendapatkannya kemudian kita
pergi jauh melupakan, meninggalkan dan menghianati-Nya. Bahkan tidak jarang Tuhan
menangis karena kelakukan dan perbuatan kita yang sering menyakiti hati-Nya. Namun
begitu, apapun keadaan kita, seberapa sering kita mendustai dan
menghianati-Nya, Dia tetap dan selalu menunggu kita kembali kepada-Nya. Dia
pasti sangat merindukan kita.
Begitulah juga Tuhan memperlakukan
kita. Semua dilakukan karena Dia sangat mengasihi kita, dan Dia berharap kita
juga seharusnya melakukannya (mengasihi-Nya). Bagaimana caranya kita dapat
mengasihi Tuhan? Yesus mengatakan: Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku
(Matius 25:40). Karena itu janganlah pernah berhenti mengasihi seorang akan
yang lain! Itulah pesan Natal yang Yesus titipkan kepada para pengikut-Nya.