Thursday, 29 March 2012

SEGALA SESUATU TERBATAS OLEH WAKTU (Pengkhotbah 3:1-11)

Oleh: Sugiman

Hidup ini bagaikan menapaki jalan panjang yang tak pasti. Sungguh jalan yang membosankan dan melelahkan. Lumpur jalanan yang licin beserta kerikil-kerikil tajam bagaikan musuh sepanjang hidup, yang terus berusaha untuk menjatuhkan mereka yang kurang hati-hati. Bahkan tidak jarang kita merasa sudah sangat bosan dan kenyang dengan air mata. Inilah yang saya alami ketika orangtua satu-satunya, yaitu sewaktu bapak saya meninggal pada hari Jum’at 4 Februari 2011 silam. Pribadi yang sangat saya kasihi, yang saya harapkan dapat menjadi tongkat dan Matahari dalam hidup saya telah tiada. Kepergiannya telah menorehkan luka batin yang sangat dalam dan menyakitkan. Bahkan, saya merasa bahwa Tuhan terlalu cepat mengambil dia dari dunia ini. Dalam hati saya bertanya: apakah Tuhan tidak merasa kasihan melihat saya hidup mengembara di padang belantara seorang diri, dan tidak punya tempat untuk berteduh? Tetapi Tuhan tetap hening.

Harapan pasti untuk menjalani hidup seakan menjadi sirna dan hilang tanpa bekas. Sungguh, hidup ini terasa sangat berat untuk di jalani seorang diri. Bahkan, saya merasa bahwa hidup ini sangat kosong, hampa, gersang, tandus, sia-sia dan tanpa makna apapun. Mungkin Anda juga pernah merasakan hal yang sama, yaitu seperti yang saya rasakan, terutama ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat kita sayangi dan kasihi. Tetapi itulah konsekuensi bagi mereka yang masih hidup di dunia, terutama mereka yang masih sadar dan memiliki naluri atau hati nurani. Karena tidak sedikit orang yang hampir kehilangan hati nurani dan belas kasihan lagi. Bahkan mungkin ada yang sudah hampir hilang. Karena itu, tidak heran mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Mereka mengambil barang milik orang lain seenaknya, menyakiti hati orang lain sesukanya, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain tanpa merasa bersalah. Mengerikan. Hati nurani yang telah hampir sirna, kasih yang telah menjadi dingin sangat mengerikan.

Akan tetapi, bagi mereka yang masih memelihara kemurnian hati nurani, merasa sangat tersiksa ketika kehilangan orang-orang yang sangat mereka kasihi. Tidak mudah menerima realita hidup dengan hati yang ikhlas. Jujur saya akui, bahwa sampai saat ini pun saya belum bisa menerima, apalagi melupakan peristiwa yang terjadi pada hari Jum’at, 4 Februari 2011 silam. Namun demikian, kesedihan yang mendalam sekalipun tidak dapat mengubah keadaan seperti semula. Memelihara luka batin yang mendalam juga tidak dapat mengembalikan waktu yang telah berlalu. Karena waktu tidak bisa diajak bernegosiasi atau kompromi. Ketika waktu mengatakan tidak, maka itu adalah keputusan mutlak yang tidak bisa dirubah dan digangu gugat oleh manusia. Sungguh, kehilangan orang-orang yang sangat kita kasihi sangat menyakitkan.

Duka adalah duka, luka batin adalah luka batin, kesenangan adalah kesenangan, kebahagiaan adalah kebahagiaan, dan sukacita adalah sukacita. Semua itu ada waktunya. Dalam konteks itulah penulis kitab Pengkhotbah mengatakan, bahwa segala sesuatu ada masanya, dan untuk apapun di bawah langit ada waktunya, yaitu: Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;  ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;  ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai (Pengkhotbah 3:2-8). Semua ada waktunya.

Setelah mengatakan semua ada waktunya, apakah penulis kitab Pengkhotbah berhenti sampai di situ dan menerima hidup ini apa adanya? Atau membiarkan hidup ini datar karena semuanya telah ditentukan oleh Tuhan? Atau, apakah penulis kitab pengkhotbah ingin mengatakan, bahwa lakukan apa saja yang kamu inginkan, karena segala sesuatu ada waktunya? Oh tidak. Mari kita perhatikan ayat 9-11!

Pada ayat 9 dikatakan dengan sebuah kalimat tanya: Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? Kalimat tanya ini adalah untuk menegaskan, bahwa setiap orang harus menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk hal-hal yang penting, bermakna dan mendatangkan kebaikan dalam hidup ini. Dengan demikian, waktu tidak terbuang secara sia-sia. Perhatikan kata yang digunakan untuk waktu, yaitu kairos. Kata “kairos” adalah menunjuk kepada sebuah momentum atau kesempatan yang sangat berharga, jika tidak diambil atau dibiarkan lewat begitu saja, maka “kairos” itu akan lewat dan tidak akan pernah kembali lagi.

Artinya, jangan habiskan waktu kita untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak mendatangkan kebaikan. Sibuk memikirkan kapan waktu lahir, kapan wakmtu meninggal, kapan waktu menanam, kapan waktu mencabut, membunuh, menyembuhkan, merampok, membangun, menangis, tertawa, meratap, menari, membuang batu, mengumpulkan batu, memeluk dan seterusnya…….. Sungguh, menyibukan diri dan memikirkan semuanya itu hanyalah kesia-siaan belaka dan usaha menjaring angin. Hanya mereka yang manfaatkan waktu semaksimal mungkin, seefektif mungkin atau sebaik mungkinlah, yang merasakan bahwa hidup ini sangat berarti dan keabadian. Karena ada saatnya Anda, saya dan mereka tidak dapat melakukannya. Melakukan apa?

Perhatikan ayat 10-11 di katakan demikian:  10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.  11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Kedua ayat ini merupakan kalimat kunci untuk memahami ayat 1-9. Perhatikan kalimat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia. Penulis kitab Pengkhotbah sangat sadar, bahwa Allah telah memberikan pekerjaan kepada manusia, yang harus dilakukannya. Dan bukan melakukan pekerjaan yang tidak diberikan oleh-Nya. Namun demikian, pekerjaan yang diberikan Allah kepada manusia itu adalah pekerjaan yang melelahkan. Kata melelahkan di sini menunjuk kepada sebuah pengorbanan, kerelaan, ketulusan dan keikhlasan dalam mengerjakan pekerjaan-Nya. Bukan karena keterpaksaan, berat hati, bersungut-sungut, dan tidakm ikhlas.

Selanjutnya, kata melelahkan pada ayat 10 juga menunjuk kepada konsekuensi atau beban yang sangat berat, yang pasti dialami oleh mereka yang melakukan pekerjaan-Nya, yaitu penolakan, penghinaan, pelecehan, dan bahkan penganiayaan karena kebenaran atau karena melakukan pekerjaan yang diberikan Allah. Tetapi melalui penulis kitab Pengkhotbah, Allah seolah-olah ingin mengatakan kepada kitam, bahwa: lakukanlah pekerjaan-Ku selagi masih ada waktu, karena ada saatnya kamu akan menyesalinya ketika kamu tidak dapat melakukannya!. Kapan itu? Tidak ada yang tahu, kecuali Dia. Yang jelas, bahwa Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Tetapi tidak untuk semua orang. Artinya, mereka yang menggunakan waktu sebaik mungkin untuk hal-hal yang mendatangkan kebaikan adalah orang yang menikmati waktu yang indah itu. Dengan kata lain, tidak untuk mereka menyia-nyiakannya. Kalimat ini memberikan gambaran, bahwa manusia itu sangat terbatas dan rapuh, yaitu tidak dapat menebak, meramal atau meraba-raba dan tidak dapat mengetahui kapan Tuhan melakukan segala sesuatu.

Bahkan dari awal sampai akhir dikatakan, manusia tidak dapat menyelami, mengetahi pekerjaan yang dilakukan Allah. Meskipun demikian, Allah tetap mengatakan, supaya manusia tetap melakukan pekerjaan yang telah Dia berikan. Itulah sebabnya, Allah memberikan kekekalan dalam hati manusia. Kata kekekalan di sini menunjuk kepada pekerjaan yang dilakukan dengan hati nurani pasti mendatangkan kebaikan murni atau asli, dan bukan palsu. Artinya, hanya pekerjaan yang dilakukan dengan hati nurani, ikhlas, tulus, kerelaan, penuh kerendahan hati yang memiliki nilai kekekalan. Dan kekekalan itulah yang diingat semua orang yang menyaksikannya, sekalipun pelaku nilai kekekalan itu telah tiada. Sebaliknya, mereka yang tidak akan menyesali nasibnya ketika ia tahu dan melihat Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

Karena itu, selama masih ada waktu, lakukanlah segala pekerjaan dengan hati yang ikhlas, tulus, penuh kerelaan, penuh kerendahan hati, Tuhan telah memberikan kekekalan dalam hati setiap orang, yaitu supaya menyadari bahwa semua pekerjaan baik dan mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan semua orang adalah pekerjaan yang diberikan oleh Allah. Dalam konteks inilah Henry van Dyke mengatakan, bahwa: Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi mereka yang takut, terlalu panjang bagi mereka yang gundah, dan terlalu pendek bagi mereka yang bahagia. Tetapi bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian. Dan Mother Teresa mengatakan: Tuhan tidak meminta kita untuk sukses. Dia hanya meminta kita untuk mencoba. Mencoba apa? Ya sudah pasti mencoba melakukan pekmerjaan yang diberikan oleh Allah. Oleh sebab itu, saya katakan selamat mencoba melakukan pekerjaan-Nya!

Wednesday, 28 March 2012

IDENTITAS SUKU DAYAK HARUS DIPERTAHANKAN

Oleh: Sugiman

Siapakah Orang Dayak itu?
Dalam hal ini ada banyak perbedaan yang diberikan untuk menyebut suku Dayak, ada yang bernada memuji tapi kebanyakan mencela: David Jenkins dan Guy Sacerdoty menggambarkan orang Dayak sebagai “the legendary wild man of Borneo”, Ave dan Viktor King melukiskan sebagai “the people of the weaving fores” selain itu ada juga yang mengambarkan sebagai “the headhunters of Borneo”[1]. Mungkin yang disebut “Punan” oleh Ade M. Kartewinata juga menunjuk kepada suku Dayak. Karena Dayak merupakan suku pedalaman Kalimantan Barat.[2]

Sebelum Indonesia merdeka, Dayak sebagai kata ejekan yang memilukan hati. Semua tindakan yang menyimpang disebut Dayak, siapa yang tidak mau masuk Islam disebut Dayak, yang menyimpang disebut Dayak. Dayak berarti kafir, kotor, tidak mau diatur, buas, liar, gila, terbelakang dan tidak berbudaya. Mereka disebut demikian karena tidak mau masuk Islam atau mereka yang murtad dari Islam. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak mampu menghapuskan Litani minor ini atau identitas ke-Dayak-an tidak bisa dilepaskan karena sudah melekat pada pola pikir mereka.

Meskipun sebenarnya sudah tidak terasa lagi nada minor itu. Sehingga dalam diskurus pembangunan dan modernisasi dewasa ini mereka dikenal sebagi “peladang berpindah”, “suku terasing”, “perambah hutan”, “suku pengembara”, dan “orang terbelakang”. Oleh sebab itu budaya mereka harus dihilangkan, pola pertanian harus diubah yang diusulkan oleh mereka yang besar, rakus ingin menguasai, mengekploitasi hak orang lemah.

a)     Masyarakat Lisan
Dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak, tradisi lisan[3] memainkan peranan yang sangat penting. Stepanus Djueng[4] mengatakan bahwa “tradisi lisan adalah landasan kesadaran diri dan otonomi suku bangsa ketika berhubungan dengan dunia luar”. Dengan demikian hal itu menjadi salah satu identitas kolektif bagi masyarakat suku Dayak. Bersamaan dengan itu, King dan Ave menyebut, bahwa tradisi lisan itu sebagai media untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kehidupan dan makanan, tentang kematian dan realitas kehidupan setelah kematian. Melalui tradisi lisan inilah jatidiri dan eksistensi mereka dibentuk.

Perlu diketahui bahwa setiap suku Dayak memiliki “tradisi lisan” sendiri-sendiri dan bahkan ada yang lebih dari satu. Misalnya suku Dayak Simpang memiliki 20 jenis tradisi lisan, suku Dayak Kanayan memiliki 23 jenis, kesamaan lain juga dimiliki oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah[5]. Akan tetapi yang menarik adalah bahwa pada dasarnya semua itu memiliki asal-usul cerita atau corpus yang sama. Pener M. Kedit yang mengatakan “There are indications that some ethnic groups share common legends, folklores and adat customs through similar oral traditions” (1980). Sinaga juga mengungkapkan “identity is shared-common to a group”  (1988).

Dengan demikian dapat diklasifikasikan bahwa suku Daya di Kalimantan memiliki kesamaan yang pada prinsip adalah sama. Tradisi ini penting karena merupakan penghubung generasi masa lalu dengan masa depan yang berkesinambungan seperti: pola pikir, perkataan sehari-hari dan perilaku secara individual maupun kelompok (bnd. J.J.Kusni, 1994). Tetapi yang pasti ada perbedaan dengan masa sebelum mengenal moderenisasi[6]. Jadi  komunikasi lisan dan tradisi lisan ini adalah sangat kompleks dalam kebudayaan suku Dayak.

b)   Hubungan Integral Dengan Tanah
Tanah adalah suatu entitas yang integral. Artinya setiap sub-sub tanah suku Dayak, tanah memiliki kesatuan hukum adat yang sering disebut sebagai Binua. Batas-batas yang telah ditentukan bersama tidak boleh diingkari. Di dalam Binua itu terdapat suatu masyarakat yang memiliki seperangkat hukum dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk mengerakan hukum (aturan) tersebut. Tanah tidak hanya berfungsi ekonomis. Melainkan juga sebagai basis politik, sosial, budaya dan spiritual. Ada beberapa komponen untuk kita memahami Binua di atas sebagai berikut:

Pertama : kawasan hutan yang dilindungi untuk masa depan. Setiap individu bebas memungut hasil dari hutan tersebut, misalnya seperti berburu, mengambil kayu untuk keperluan pribadi. Sedangkan “yang lain” (suku Dayak yang tinggal ditempat lain) harus mendapat izin dari masyarakat setempat.

Kedua, : lahan yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Memang tanah dan tanaman yang ada adalah milik individu atau pribadi, akan tetapi ketika sudah masak, maka setiap orang bisa mengambil atau setiap orang berhak untuk memungutnya.

Ketiga, : lahan perkebunan adalah milik individu, dan tanah ini dapat diwariskan kepada keturunan individu tersebut.

Keempat, : tanah-tanah pertanian terbagi menjadi dua, tanah pertanian yang sedang digunakan dan tanah pertanian yang sedang diistirahatkan.

Kelima, : tanah pekuburan dan tanah keramat, yakni adalah tanah kolektif masyarakat, yang tidak dapat diladangi atau diambil kayunya.

Keenam, : lahan perkampungan. Lahan ini terdiri dari tapak rumah dan halaman individu-individu. Ketujuh, : sungai dan danau untuk perikanan. Bagian ini dimiliki secara kolektif oleh masyarakat tertentu dan diatur oleh hukum adat.

c)      Pandangan Tentang Jagad Raya
Menurut masyarakat Dayak, dunia dan segala isinya diciptakan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk mengetahi konsep-konsep ketuhanan itu, menurut Scharer (1963), seseorang harus menelaah sumber-sumber. Sumber yang dimaksud Scharer adalah tradisi lisan. Ia mengambarkannya sebagai sacred literature (sastra suci). Dalam pada itu, tiap-tiap benda dan makhluk di bumi ini memiliki semangat (the living spirit). Dalam beberapa sub-suku, semangat itu disebut Jubata, atau Duata. Oleh karena itu, benda-benda baik yang hidup maupun yang mati tidak boleh diperlakukan tidak senonoh. Jika melakukannya, maka pelakunya akan mendapat balasan yang setimpal.

d)     Rumah Panjang : Keseimbangan Individu dan Kelompok
Masyarakat Dayak sebelum tahun 1950 pada umumnya hidup dalam komunitas rumah panjang (rumah panjai, batang, betang, radang). Rumah itu terdiri rumah-rumah keluarga yang bersambungan menjadi satu. Juga merupakan jantung kebudayaan Dayak. Di situ belangsung pendidikan bagi putra-putri Dayak. Orang-orang tua menuturkan sejarah keberadaan, adat-istiadat, nilai-nilai sosial dan budaya.

e)      Padi Centris
Padi, adalah salah satu ciri terpenting dalam kehidupan sosial budaya suku bangsa Dayak. Upacara-upacara ritual sepanjang tahun pada dasarnya didasarkan pada siklus penanaman padi. Padi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan religius suku bangsa Dayak. Anggota suku yang selalu mendapat banyak padi dalam berladang dianggap sampbadi (orang beriman, taat dan taqwa).

Masyarakat suku Dayak meyakini bahwa diluar mereka ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan-kekuatan yang mereka miliki. Salah satunya adalah Jubata (Tuhan kesuburan) yang diyakini memlihara, memberkati dan sekaligus mengutuk jika tidak taat. Kepadanya harus diberikan sesajen atau persembahan sukur supaya ia tidak mengamuk atau tidak marah dan tidak mendatangkan malapetaka atas kehidupan keluarga mereka. Atau meninggalkan mereka pergi. Maka supaya diberkati khususnya dalam hal pertanian,yakni sebelum bertani terlebih dahulu memberi makan Jubata supaya ladang atau sawah mereka diberkati, dipelihara dari hama atau binatang-binatang hutan yang lain[7].

Demikian juga saat panen padi, yaitu penyembahan kepada Jubata adalah hal yang terutama dan pertama dilakukan. Di samping itu masih ada banyak lagi kuasa-kuasa gelap lainnya yang diyakini oleh orang Dayak, namun kuasanya tidak lebih besar dari kuasa yang dimiliki oleh Jubata.

Budaya adalah Identitas
Seperti halnya suku-suku lain, suku Dayak yang ada di Kalimantan juga memiliki budaya dan itulah identitas yang tidak boleh dihancurkan atau dirusak oleh agama mana pun. Jika mereka yang beragama menjadi alat penghancur budaya tertentu, maka sama artinya dia merusak identitas sesamanya. Sumber penghancur dan yang suka merusak seharusnya bukan datang dari pihak mereka yang beragama, tetapi sebaliknya. Agama bukanlah paksaan, karena tidak mau maka harus dihina, dikatakan kafir dan sebagainya. Tetapi manusia beragama seharusnya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka yang tidak beragama. Agama juga bukan mesin penghancur, perusak, tetapi bengkel yang memperbaiki yang rusak. Seharusnya demikianlah fungsinya. Bukan memaksa dan bukan juga merendahkan, apalagi melecehkan. Jika pemahaman seperti itu tetap dipegang dan dipelihara, maka tidak ada bedanya dengan mereka yang tidak beragama. Karena itu, tetap pertahankan identitasmu suku Dayak.


[1] Yang dikutip oleh Stepanus Djueng, Kisah Dari Kampung Halaman-Masyarakat suku resmi dan pembangunan (Yogyakarta: Seri Dian IV/ Interfidei, 1996) 3-33.
[2] Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing Di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993), 100-18
[3] Yang dimaksud dengan tradisi lisan disini adalah segala pengetahuan yang dimiliki suku Dayak dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup segala sejarah, legenda dan tradisi masyarakat suku Dayak.
[4] Seri Tradisi Lisan Nusantara-Metodologi Kajian Tradisi Lisan, (Editor: Pudentia MPSS) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998),169-170.
[5] J.J. Kusni,  Dayak Membangun, Masalah Etnisitas dan Pembangunan Kausus Dayak Ngaju, Jakarta: Paragon 1994: 33; lht. http://www.pangalajo.multiply.com/journal/item/8/ MENGAYAU ATAU PERANG oleh John Bamba.
[6] Banyak generasi yang muda tidak lagi meminati cerita-cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut karena sudah ada yang dibukukan. Oleh sebab itu mereka lebih senang membaca terutama yang sudah modern. Alasan lain adalah pendidikan dan kesibukan-kesibukan lainnya.
[7] Band. David Hamburg,"Education for Conflict Resolution" 1995; Lihat: Thomas F. Homer-Dixon,"Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer 1994), pp. 5-40) & "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict" ibid, Vol. 16, No. 2 (Fall 1991), pp. 76-116.http://www.ccpdc.org/pubs/ed/edfr.htm diakses terakhir di internet 03 Oktober 2009 jam 20.50. wib; 

MENGKOMUNIKASIKAN INJIL DALAM TRADISI SUKU DAYAK SALAKO

Oleh: Sugiman
Suku Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan (Borneo) yang memiliki adat-istiadat lebih dari satu macam, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang menyangkut kehidupan suku Dayak. Misalnya, bahasa, ritus/ritual, seni tari, tradisi lisan ritus saat panen padi, simbilisme, dan alam pikir/ pandangan hidup suku Dayak itu sendiri. Tidak mudah untuk menjelaskan itu semua, karena sangat kompleks. Karena itu, tidak mungkin dapat menjelaskan secara lengkap. Meskipun demikian tidak berarti tanpa makna, tetapi sangat sarat dengan makna kehidupan. Karena itu, sebelum mengkomunikasikan Injil Kristus ke dalam tradisi suku Dayak, maka ada baiknya kita melihat dan belajar dari budaya mereka. Dalam posting ini saya mencoba membahas beberapa point penting untuk kita dipelajari secara saksama, dengan demikian kehadiran Injil tidak menghilangkan budaya atau tradisi yang telah ada, tetapi memberi isi atau makna yang baru dalam tradisi itu sendiri.

Bahasa lisan

Dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak, tradisi lisan[1] memainkan peranan yang sangat penting. Bahkan, Stepanus Djueng[2] mengatakan bahwa tradisi lisan adalah landasan kesadaran diri dan otonomi suku bangsa ketika berhubungan dengan dunia luar. Ini memperlihatkan, bahwa masyarakat suku Dayak sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang dituturkan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Itulah sebabnya, para orang tua dipandang wajib untuk mendidik dan menurunkan tradisi lisan itu kepada anak-anaknya. Misalnya, menceritakan garis keturunan mereka, serta kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah nenek moyang mereka wariskan.

Meskipun semuanya diceritakan/ dituturkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun, tetapi keaslian dari tradisi lisan itu tetap terpelihara dengan baik. Melalui tradisi lisan inilah jati diri dan eksistensi mereka dibentuk untuk menuju sebuah peradaban. Perlu diketahui, bahwa setiap suku Dayak memiliki tradisi lisan sendiri-sendiri, dan bahkan ada yang memiliki lebih dari satu. Misalnya suku Dayak Simpang, mereka memiliki 20 jenis tradisi lisan, selanjutnya, suku Dayak Kanayan memiliki 23 jenis tradisi lisan. Persamaan lainnya juga dimiliki oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah[3]. Yang menarik di sini adalah bahwa pada dasarnya semua tradisi lisan itu memiliki asal-usul cerita atau corpus yang sama. Artinya, sumber yang sama, kemudian diceritakan dengan gaya bahasa masing-masing tempat. Pener M. Kedit yang mengatakan demikian: There are indications that some ethnic groups share common legends, folklores and adat customs through similar oral traditions (1980). Pernyataan senada juga dikatakan oleh Sinaga demikian: identity is shared-common to a group  (1988). Inilah salah satu alasan mengapa persatuan masyarakat Suku Dayak itu sangat kuat saat saudara-saudaranya mengalami musibah atau ancaman dari luar dirinya.

Dengan demikian dapat diklasifikasikan bahwa suku Daya di Kalimantan memiliki kesamaan yang pada prinsip adalah sama. B.H. Hoed[4] mengatakan, paling sedikit ada dua ciri khusus dari komunikasi lisan yang berkaitan dengan tradisi lisan, yaitu (a). Dikatakan dan didengar dan (b). Situasi tatap muka. Roger Tol dan Pudentia (1995) mengatakan bahwa “oral tradistions do not only contain folktales, myths and legends, but store complrte indigeneous cognate systems. To name a few: history, legal practices, adat low medication”. Tradisi ini juga menjadi penghubung generasi masa lalu dengan masa depan yang berkesinambungan seperti: pola pikir, perkataan sehari-hari dan perilaku secara individual maupun kelompok (bnd. J.J.Kusni, 1994). Meskipun, harus diakui juga, bahwa dewasa ini generasi yang muda lebih asik membaca buku dibanding mendengarkan secara lisan. Karena pengaruh perkembangan zaman[5]. Karena itu, tradisi lisan itu sudah mulai menghilang, tetapi ada juga yang masih memelihara dan menuliskannya dalam bentuk buku. Sungguh tradisi yang sangat kompleks khususnya dalam kebudayaan suku Dayak.

Ritus/ Ritual pada saat Panen padi

Kebiasaan yang lain dari suku Daya adalah Ngabayant dalam bahasa Dayak Salako dialek Badamea di Kec. Sajingan Besar – Kab. Sambas Kalimantan Barat yang artinya adalah pesta penen padi[6]. Pesta panen ini berlangsung selama 7 hari dan selama pesta itu berlangsung tidak ada yang boleh bekerja. Karena jika masih bekerja akan terkena tulah ilahi, seperti sakit, dipagut ular berbisa, disengat kalajengking dan sebagainya. Fungsi yang lain adalah untuk mempererat hubungan kekeluargaan dalam kampung itu sendiri maupun dengan kampung yang lainnya. Tanpa diundang baik tetangga maupun masyarakat kampung yang lain pasti datang dan makan bersama.

Seni Tari Ngoncong

Ngoncong merupakan salah satu tarian yang sangat disenangi oleh suku Dayak Salako. Meskipun saat ini sudah mulai menghilang dan jarang digunakan. Karena itu, sangat disayangkan jika seni tari ini sampai mati dan tidak dilestarikan lagi. Karena, selain sebagai seni, Ngoncong juga mengandung makna religius, yaitu di mana setelah peserta itu menari maka ada jampi-jampi yang diyakini sebagai tanda untuk memperbaharui hubungan atau relasi dengan “Jubata” (Tuhan kesuburan bagi masyarakat orang Dayak). Oleh sebab itu, ketika acara ini dilakukan banyak orang yang ingin mengikuti dan duduk pada tempat yang sudah disediakan, setelah itu ada persembahan sukarela yang harus diberikan dalam bentuk uang. Dayak Salako Kec. Sajingan Besar Kab. Sambas menyebutnya dengan Nyondok.

Simbolisme

Pada dasarnya masyarakat suku Dayak adalah suku pengembara yan hidup di alam bebas, yaitu memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah, membuat ladang berpindah-pindah. Sehingga tanpa disadari pengalaman hidup yang demikian akhirnya membentuk pola pikir dan karakter yang khas. Paradigma itu membawa mereka kepada suatu keyakinan atau membentuk spiritual mereka saat berinteraksi dengan alam.  Kemudiaan interaksi tersebut dinyatakan lewat simbol-simbol alam yang diyakini memiliki kekuatan yang harus dihormati. Contoh: Burung tingang sebagai perwujudan penguasa alam atas[7] Buaya diyakini sebagai penguasa sungai,  beras sebagai komunikasi dengan “Jubata”, telur sebagai tanda perdamaian, pantak[8] merupakan salah satu simbol untuk berbicara kepada kuasa atau kekuatan yang ada diluar manusia itu sendiri, dan masih banyak lagi simbol-simbol lainnya. Simbol-simbol itu memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan pola pikir atau paradigma dan karakter masyarakat suku Dayak. Selain itu, orang Dayak juga sangat menyukai hidup berdampingan dengan keluarga yang lainnya. Maka tidak heran jika dalam tradisi orang Dayak dikenal adanya rumah panjang.[9] Dalam rumah panjang inilah, para orang tua memberikan pengajaran atau didikan kepada anak-anaknya.

Alam pikir/ Pandangan hidup

Masyarakat suku Dayak meyakini bahwa diluar mereka ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan-kekuatan yang mereka miliki. Salah satunya adalah Jubata (Tuhan kesuburan Padi) yang diyakini memlihara, memberkati dan sekaligus mengutuk jika tidak ditaati. Kepadanya harus diberikan sesajen atau persembahan sukur supaya ia tidak mengamuk atau tidak marah dan tidak mendatangkan malapetaka atas kehidupan keluarga mereka. Atau supaya tidak meninggalkan mereka pergi. Maka supaya diberkati khususnya dalam hal pertanian, yakni sebelum bertani terlebih dahulu memberi makan Jubata supaya ladang atau sawah mereka diberkati, dipelihara dari hama atau binatang-binatang hutan yang lain[10]. Demikian juga saat panen padi, yaitu penyembahan kepada Jubata adalah hal yang terutama dan pertama dilakukan. Di samping itu masih ada banyak lagi kuasa-kuasa gelap lainnya yang diyakini oleh masyarakat suku Dayak, namun kuasanya tidak lebih besar dari kuasa yang dimiliki oleh Jubata.

Mengkomunikasikan Injil dalam kebudayaan suku Dayak
Di atas telah dipaparkan bahwa Jubata merupakan Tuhan yang diyakini oleh masyarakat suku Dayak, yang memiliki kuasa lebih besar dari manusia dan kuasa-kuasa yang lainnya. Artinya, Jubata merupakan Tuhan tertinggi bagi bagi kepercayaan masyarakat Dayak sehingga hanya kepadanyalah mereka mempersembahkan hasil pertama panen padi yang terbaik, karena berkatnyalah hasil itu ada. Dengan demikian kita melihat bahwa kebiasaan dan anggapan tersebut membuka pintu lebar bagi Injil untuk bertumbuh di dalamnya, tanpa menghilangkan satu bagian pun dari tradisi itu sendiri, kecuali makna atau esensi.

Jika Jubata merupakan Tuhan tertinggi yang diakui dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat dan bagian yang lainnya. Maka sekarang harus diperkenalkan secara kongkrit dan nyata bahwa Jubata tertinggi itu adalah Allah yang beringkarnasi di dalam Kristus Yesus (Yoh. 1:14). Jubata Yesus Kristus tidak hanya menjadi penguasa dan pemberi berkat atas panen padi, tetapi juga telah memberikan jalan keselamatan kepada semua manusia melalui kematian-Nya di atas kayu salib di Golgota. Karena kasih-Nya kepada manusia, Dia rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia kemudian Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-8). Maka secara kongkrit, bahwa Jubata itu telah hadir di dalam Kristus Yesus. Tradisi tetap dan utuh, kecuali isi atau kandungannya. Artinya, kulitnya tetap, tapi isinya yang diperbaharui atau di ganti dengan Injil Kristus.


[1] Yang dimaksud dengan tradisi lisan disini adalah segala pengetahuan yang dimiliki suku Dayak dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup segala sejarah, legenda dan tradisi masyarakat suku Dayak.
[2] Seri Tradisi Lisan Nusantara-Metodologi Kajian Tradisi Lisan, (Editor: Pudentia MPSS), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998, hal 169-170.
[3] J.J. Kusni,  Dayak Membangun, Masalah Etnisitas dan Pembangunan Kausus Dayak Ngaju, Jakarta: Paragon 1994: 33; lht. http://www.pangalajo.multiply.com/journal/item/8/ MENGAYAU ATAU PERANG oleh John Bamba.
[4] B.H. Hoed adalah seorang guru besar linguistik di fakultas sastra Universitas Indonesia dalam buku Seri Tradisi Lisan,..., 1998, hal 185-187; bnd. http//www.dayakkology.com.publications articles_news/ind/ mangayau.htm#1.
[5] Banyak generasi yang muda tidak lagi meminati cerita-cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut karena sudah ada yang dibukukan. Oleh sebab itu mereka lebih senang membaca terutama yang sudah modern. Alasan lain adalah pendidikan dan kesibukan-kesibukan lainnya.
[6] Ngabayan atau pesta besar yang diadakan setiap tahun ketika habis panen padi. Setiap kampung wajib melakukan hal ini, karena itu sebagai tanda ucapan syukur kepada “Jubata” (Tuhan atau sang pencipta).
[7] Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak" internet; diakses 03 Oktober 2009, jam 20.50. Wib.
[8] Pantak adalah patung yang terbuat dari kayu besi atau pun batu yang diyakini sebagai gambar atau wujud kekuatan yang disembah. Oleh sebab itu pantak sangat “dihormati” dan dikeramatkan yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki kekuatan gaiblah yang bisa menyentuhnya atau yang diangkat oleh masyarakat. Siapa yang menyentuhnya biasanya akan sakit, keluarganya tidak diberkati maupun penyakit atau tulah-tulah yang lain sering datang dalam kehidupan keluarganya.
[9] Rumah panjang merupakan tanda “kesatuan” antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Dalam rumah panjang terdiri dari beberapa keluarga dan bakan bisa mencapai 100 kepala keluarga dan bahkan lebih. Tujuannya adalah untuk menghindari musuh, binatang buas dan sebagainya. Rasa kekeluargaan sangat terasa dan erat sekali. Hasil berburu dimakan bersama-sama dan masing-masing membawa apa yang mereka miliki atau dapatkan. Memang di dalamnya ada yang menjadi ketua “panglima”, yaitu seorang yang yang dianggap memiliki kekuatan sakti. Selain itu juga rumah panjang berfungsi sebagai tempat di mana para orang tua mengajar anak-anaknya mengenai tradisi lisan seperti yang disebutkan di atas.
[10] Band. David Hamburg,"Education for Conflict Resolution" 1995; Lihat: Thomas F. Homer-Dixon,"Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer 1994), pp. 5-40) & "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict" ibid, Vol. 16, No. 2 (Fall 1991), pp. 76-116.http://www.ccpdc.org/pubs/ed/edfr.htm diakses terakhir di internet 03 Oktober 2009 jam 20.50. wib; 

Tuesday, 27 March 2012

NASIB KEHIDUPAN MANUSIA TANPA TUHAN

Oleh: Sugiman

Jika seseorang bertanya kepada Anda demikian: dapatkah manusia hidup sendirian? Yaitu, hidup tanpa sahabat, tanpa pasangan hidup, dan tanpa bantuan orang lain. Mungkin orang percaya akan mengatakan dapat, sedangkan yang tidak mpercaya mengatakan tidak. Pertanyaan selanjutnya adalah: dapatkah manusia hidup tanpa Tuhan? Terserah Anda mau menjawab apa, karena tidak ada hadiah bagi mereka yang menjawab “tidak”, dan tidak ada hukuman bagi mereka yang menjawab “dapat”. Tetapi izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda untuk direnungkan secara saksama! (1). Siapakah manusia? (2). Dari manakah manusia berasal? (3). Apa tujuan hidupnya? (4). Ke mana ia akan pergi setelah kematian menjemputnya?

Bertolak dari beberapa pertanyaan di atas, dapatkah manusia hidup tanpa Tuhan? Saya adalah salah seorang yang mengatakan tidak. Keterbatasan yang dimiliki oleh setiap manusialah yang membawa saya sampai kepada jawaban tersebut. Sebagai manusia lemah, terbatas dan rapuh, saya merasa sangat membutuhkan tangan yang kuat, yang dapat menolong saya di mana setiap orang tidak dapat memberikannya. Mungkin kita dapat mengatakan, hanya kebetulan saja seorang nelayan itu selamat dengan sebatang pohon pisang setelah kapalnya tengelam dihantam gelombang besar di lautan luas. Tetapi harus kita sadari, bahwa hidup ini bukanlah sesuatu yang kebetulan. Selagi manusia masih hidup, maka tidak ada satupun yang kebetulan dalam hidup ini. Kelahiran seorang bayi bukanlah sesuatu yang kebetulan. Demikian juga dengan peristiwa kematian yang pasti dialami oleh setiap orang, juga bukanlah sesuatu yang kebetulan, tapi kepastian. Karena itu, hidup setiap orang itu ada tujuannya, hanya tidak semua orang dapat melihat dan menyadarinya. Mengapa? Karena dikalahkan oleh keegoisannya.

Dalam Alkitab kehidupan manusia tanpa Tuhan digambarkan bermacam-macam. Misalnya, penulis Mazmur 1:1-6 menyebutkan, bahwa manusia yang hidup tanpa Tuhan sama dengan sekam (kulit padi). Sekam (kulit padi) di sini mengambarkan kehidupan manusia yang begitu fana, tidak berguna mudah diterbangkan angin (tidak tahan dalam pencobaan).  Sebaliknya, manusia yang hidup bersama Tuhan (ber-Tuhan), digambarkan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran sungai, yang menghasilkan buah pada musimnya, yang tidak layu daunnya, dan apa saja yang dibuatnya berhasil. Gambaran yang sangat kontras (sekam dan pohon yang ditanam di tepi aliran sungai).

Selanjutnya, penulis kitab Pengkhotbah lebih tegas lagi mengatakan, bahwa manusia yang hidup tanpa Tuhan (tidak ber-Tuhan) adalah kesia-siaan belaka dan usaha menjaring angin. Manusia digambarkan begitu terbatas, lemah dan rapuh, yaitu seperti uap air, ketika datang angin dan terik sinar Matahari ia menjadi sirna atau hilang dan kering tanpa bekas. Sangat rapuh. Bahkan karena kerapuhan dan keterbatasannya, ia tidak menghasilkan sesuatu yang berguna di luar kehendak-Nya. Manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan yang dilakukan oleh Tuhan.

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Yesus, dalam Injil Yohanes 15:1-8. Manusia tanpa Tuhan digambarkan seperti ranting pokok anggur yang tidak menghasilkan buah. Karena itu, ia tidak berguna dan harus dipotong kemudian dicampakkan ke dalam api. Sebaliknya, manusia yang hidup bersama Tuhan digambarkan seperti ranting pokok anggur yang dirawat, dibersihkan, dipelihara, dan menghasilkan buah yang baik. Bahkan mereka yang hidup bersama Tuhan mendapatkan apa yang dikehendakinya. Sungguh janji yang mulia bagi mereka yang hidup bersama Tuhan, tapi tidak bagi mereka yang di ada luar. Bandingkan dengan pernyataan penulis kitab Yakobus 4:14, yang mengambarkan kehidupan manusia sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap seketika tanpa bekas.

Selain gambaran di atas, masih banyak lagi bagian Alkitab yang menggambarkan tentang kehidupan manusia tanpa Tuhan dan sebaliknya. Namun demikian, kehidupan yang digambarkan di atas sering diabaikan dan jarang terpikirkan oleh manusia itu sendiri. Manusia lebih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing tanpa melibatkan Tuhan. Mereka menganggap bahwa dirinya mampu berjalan sendiri, melakukan semuanya tanpa bantuan Tuhan. Karena itu, tidak heran posisi Tuhan dikesampingkan dan dijadikan ban serap. Maksud saya, kecenderungan manusia adalah: selagi ia merasa masih mampu dan dapat melakukan semua pekerjaannya dengan baik, maka sejauh itulah manusia tidak membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Tetapi ada kalanya, ia akan merasa sangat lemah, terbatas, rapuh dan sangat membutuhkan pertolongan atau uluran tangan yang kuat itu (Tuhan).  Jika demikian, maka Tuhan tidak ada bedanya dengan ban serap pada kendaraan.

Lebih tragisnya lagi adalah manusia menyangkal dan menolak keberadaan-Nya dalam hidupnya. Mereka merasa dirinya berilmu dan sanggup menjelaskan segala sesuatu dengan akal budinya, termasuk menjelaskan dari mana asalnya, siapa dirinya dan ke mana ia akan pergi setelah kematian menjemputnya. Manusia seolah-olah merasa makhluk independen atau berdiri sendiri tanpa ada yang menciptakannya. Pertanyaannya adalah, apakah salah jika manusia menolak kehadiran Tuhan dalam hidupnya? Atau tidak melibatkan Tuhan dalam segala aktivitasnya? Atau menyangkal-Nya dengan kemampuan akal budinya? Bagi saya, semua itu sekali tidak salah, karena setiap orang berhak penuh atas keputusannya, yang di mana orang lain tidak berhak untuk memaksanya percaya atau mengakui adanya Tuhan. Artinya, hidup setiap orang itu adalah sebuah pilihan bebas, yang di dalamnya tidak ada campur tangan manusia (individu) lain.

Tetapi kita harus sadar, bahwa adalah tidak cukup bahasa manusia untuk menjelaskan mengenai eksistensi (keberadaan) Tuhan sebagai pencipta tunggal dalam hidupnya. Karena pada dasarnya manusia sama, yaitu sama-sama campuran antara unsur-unsur “kebaikan” dan “kejahatan”; sama-sama memiliki kecenderungan “ilahi” dan “hewani”; dan sama-sama makhluk “pemikir”. Maksud saya, manusia bisa melakukan tindakan kejahatan, tetapi juga bisa melakukan kebaikan; manusia bisa memperlihatkan karakter ilahi (sang pencipta), tapi juga bisa memperlihatkan karakter hewani. Selanjutnya, karena manusia adalah sama-sama makhluk pemikir, maka ada tidaknya Tuhan dalam hidupnya tergantung dari apa yang lebih dominan dipikirkannya. Artinya, jika Tuhan mendapatkan tempat yang luas dalam hidupnya, maka nilai-nilai kebaikan Tuhan dalam hidupnya sehari-hari terlihat sangat jelas. Demikian juga sebaliknya, jika kecenderungan hewani yang mendapat tempat lebih luas, maka sikap dan karakter yang diperlihatkan dalam hidupnya pun tidak berbeda dengan hewan, bahkan kejahatannya melebihi sifat hewani.

Hidup tanpa Tuhan adalah ibarat seorang nelayan yang tersesat seorang diri di tengah lautan luas tanpa kompas atau petunjuk arah lainnya. Tidak tahu arah tujuannya dan tidak tahu harus bersandar di mana. Menjalani hidup tanpa Tuhan adalah sama dengan sayur tanpa garam, sama dengan ranting yang tidak menghasilkan buah. Karena itu tidak ada pilihan lain selain dipotong dan dicampakkan ke dalam api untuk dibakar. Hidup tanpa Tuhan juga adalah sama dengan sekam (kulit padi) yang fana, mudah diterbangkan angin, atau seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap tanpa bekas. Segala sesuatu yang dilakukannya hanya kesia-siaan belaka, tidak dapat menghasilkan buah yang baik dalam hidupnya. Selebihnya, mereka juga bagaikan tumbuhan yang hidup di tanah berbatuan, karena tanahnya tipis, maka ketika datang terik sinar Mentari ia menjadi layu, kering kerontang dan akhirnya mati. Dengan demikian tidak ada gunanya selain dibuang. Semua itu memperlihatkan, bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan Tuhan dalam hidupnya. Jika manusia hidup di luar Tuhan, maka tidak ada satupun kebaikan yang dihasilkan selama hidupnya.   

Monday, 26 March 2012

PERBEDAAN KEPEMIMPINAN SAUL DAN DAUD

PEMIMPIN yang layak, bukanlah pemimpin yang tanpa cacat. Mengenai ini, seluruh Alkitab sepakat bersatu pendapat. Di mayapada ini, mana ada orang yang seratus persen sempurna. Yang membedakan seorang pemimpin dari yang lain, bukanlah karena yang satu murni, sedang yang lain kotor.

Ibarat secangkir kopi, semua pemimpin adalah perpaduan berbagai unsur. Campuran antara yang hitam dan yang putih. Ada pahitnya, ada manisnya. Ada "kopi"-nya, ada "gula"-nya. Hanya saja, di tengah persamaan mereka, ada orang yang dengan serius bersedia membereskan masa lalunya dan membenahi masa depannya. Namun sebaliknya, ada pula yang justru mengeraskan hati, menyembunyikan semua aibnya, membela diri, berlagak suci. Di sinilah perbedaan antara seorang pemimpin dan pemimpin lainnya. Dan karena perbedaan inilah, tidak semua tokoh dengan masa silam yang kelam, diberi kesempatan yang sama. Daud direhabilitasi, tapi Saul tidak. Petrus dipulihkan, sedang Yudas tidak.

PADA dasarnya, semua manusia itu sama. Anda. Saya. Mereka. Sama-sama merupakan campuran atau ramuan antara unsur-unsur "kebaikan" dan unsur-unsur "kejahatan". Sama-sama punya kecenderungan "ilahi" maupun "hewani". Begitu pula Saul dan Daud. Yudas dan Petrus. Sama-sama pernah terperosok ke lembah dosa. Sama-sama pernah terjerat erat oleh bisikan setan. Tapi mengapa "nasib" mereka kemudian berbeda? Ini yang perlu kita ketahui, agar andaikata, pada satu saat, kita terperosok juga, kita bisa bangun kembali seperti Daud; tidak seperti Saul terpuruk selama-lamanya. Bisa kian berbuah-buah seperti Petrus; tidak seperti Yudas mati konyol dengan perut terburai.

Jadi di mana - dari perspektif alkitab - letak perbedaan paling utama antara Saul dan Daud? Apakah karena yang satu "orang jahat", dan yang lain "orang baik"? Yang satu "anak tiri" Allah, dan yang lain "anak mas?" Ternyata tidak! Sudah pasti tidak! MARI kita mulai dengan SAUL. Tanpa kita sadari, betapa sering kita mengingat dan melihat Saul hanya dari "sisi gelap"nya semata. Saul, si raja durjana, manusia angkara murka, penindas yang lemah, sewenang-wenang, mabok kuasa! Gambaran yang salah dan berat sebelah! Dibandingkan dengan manusia yang cenderung menggeneralisasi segala sesuatu - semua orang Cina licik, semua orang Arab pelit --, alkitab jauh lebih jujur dan obyektif.

Saul misalnya. Dengarlah bagaimana, bak mempromosikan penampilan perdana seorang kandidat "Mister Universe", Alkitab memperkenalkan Saul. Begini, "(Kish ben Abiel) ada anaknya laki-laki, namanya Saul, seorang muda yang elok rupanya. Tidak ada seorang pun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya. Dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya" (1 Samuel 9:2). Allah sendiri yang memilihnya menjadi raja Israel yang pertama. "Orang ini akan memegang tampuk pemerintahan atas umat-Ku" (9:17). Dan Roh Tuhan sendiri yang akan menguasainya serta menyertainya (10:6,7). Jangan Anda serta-merta men"cap" dia sebagai orang yang mabuk kuasa atau penindas si lemah. Alkitab mengisahkan apa reaksi spontannya, begitu Saul mendengar bahwa Tuhan, melalui Samuel, telah memilih dia. Sama sekali bukan seperti pemenang pemilu, yang dengan membusungkan dada -- tapi pura-pura merendah -- berkata, "Terima kasih banyak, Anda telah mempercayai saya. Insya allah, saya tak akan mengecewakan Anda". Tidak! Saul dengan tergagap-gagap tak percaya, berkata, "Bukankah aku seorang suku Benjamin, suku yang terkecil di Israel? Dan bukankah kaumku yang paling hina dari segala kaum suku Benyamin?" (9:21).

Ia juga bukan makhluk haus darah seperti banyak dibayangkan orang. Ketika pendukung-pendukung fanatiknya, dengan tujuan mengonsolidasikan kekuatan, mengusulkan agar semua lawan politik Saul disingkirkan dan dihabisi saja, Saul menolaknya. "Hari ini seorang pun tidak boleh dibunuh " (11:12-13). JADI bagaimana duduk perkaranya, sehingga riwayat Saul berakhir begitu tragis? Masalahnya, sekali lagi, bukanlah karena tak ada unsur-unsur kelebihan atau kebaikan pada Saul. Itu ada, dan banyak! Namun, seperti telah dikemukakan, dalam diri Saul - seperti halnya dalam diri setiap orang - selalu hadir dua kekuatan berlawanan yang saling bergulat, dan saling berebut dominasi. Agaknya, pada Saul, kekuatan yang destruktif-lah yang akhirnya memenangi pertempuran.

Ini, saudara, hendaknya menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita semua. Yaitu bahwa potensi kebaikan yang ada di dalam diri kita, betapa pun besarnya, tidak secara otomatis berubah dan berbuah menjadi kenyataan. Bisa saja ia layu, kering, dan kemudian gugur hilang tak berbekas. Seperti tunas kecil, karena tak kuat menahan udara kering serta terik mentari. Karena itu, sungguh tak ada artinya apa-apa bila ada orang berkata, "Pada dasarnya, sebenarnya Pak Harto itu orang baik lho!" Pun tak ada manfaat atau dampak praktisnya sedikit pun, sekiranya ada puluhan juta orang menilai, "Mbak Ega itu sebenarnya potensi kepemimpannya luar biasa lho!".

Mengapa tak punya makna apa-apa? Karena pada akhirnya yang menentukan adalah kenyataannya. Potensi adalah unsur yang vital, benar, tapi apa ia terwujud menjadi kenyataan, itu yang soal. Niat baik itu perlu, tentu, tapi bagaimana kongkretisasinya, itulah sang penentu. Saya melihat begitu banyak potensi yang baik pada diri Anda. Apakah Anda juga menyadarinya? Sadarilah dan kenalilah kelebihan-kelebihan itu! Dan jangan jadikan itu mubazir atau sia-sia. Caranya? Dengan menjaganya, memeliharanya, memupuknya, dengan tekun dan teratur. Agar berbuah lebat dan bertumbuh subur. Tolong Anda ingat baik-baik! Pada setiap tanaman, selalu ada potensi untuk hidup dan bertumbuh. Namun sekaligus dengan itu, hadir pula potensi-potensi yang mematikan. Ulat. Hama. Serangga. Waspadai itu! Kenali! Dan bunuh mereka sebelum sempat bertumbuh!

SAYANG sekali, justru ini yang tidak dilakukan oleh Saul. Dan sering, banyak tidak disadari oleh pemimpin-pemimpin kita. Akibatnya, mereka yang pada awalnya dielu-elukan sebagai "penyelamat rakyat", akhirnya terguling dan dikutuk sebagai "penindas dan pemeras rakyat". Perubahan ini terjadi, melalui suatu proses yang begitu halusnya, sehingga tak tersadari oleh yang bersangkutan. Yaitu ketika semakin lama pemimpin-pemimpin itu semakin terbuai oleh nikmat kekuasaan yang membius. Merasakan nikmatnya kekuasaan, membuat tujuan mereka satu-satunya kini adalah, bagaimana melanggengkan kekuasaan yang nikmat itu. Bila semula "concern" mereka adalah "mengabdi rakyat", kini bagaimana membuat "rakyat mengabdi". Ini sebenarnya telah diingatkan Samuel, ketika Israel menuntut punya seorang raja. Bahwa penguasa itu hanya mengambil, tidak memberi. Mencengkeram, tidak membebaskan. (1 Samuel 8:10-18).

Ingatlah, wahai pemimpin, bahwa semakin lama Anda berkuasa, kekuasaan itu akan semakin membius Anda. Nikmat, memang, tapi berbisa. Sebab itu sebenarnya lebih aman, bila Anda mau membatasi kekuasaan Anda. Dan juga, jangan terlalu lama! Pada saat Anda merasakan nikmatnya madu kekuasaan, jangan Anda lupa, madu yang Anda hirup itu, adalah tetesan peluh, darah, dan air mata rakyat!

BANYAK yang tak dapat mengerti, mengapa "insiden" atau "kecelakaan" kecil yang dilakukan Saul itu, bisa membuat Allah begitu murka, dan menjatuhkan hukuman begitu berat. Anda pasti ingat apa "insiden" itu. Yaitu ketika, Saul bersalah mengambil alih tugas imam, memimpin ibadah korban. Ini dilakukannya, karena Samuel yang seharusnya bertugas, datang terlambat. Mengapa hukuman begitu berat, atas kesalahan begitu "kecil"? Jawabnya: karena di hadapan Allah, tidak ada kesalahan "kecil". Allah mau menjadi Tuhan dalam arti sepenuh-penuhnya. Dalam hal-hal "besar", juga untuk hal-hal "detil". Ia menuntut ketaatan dan disiplin yang total. Untuk hal-hal yang "prinsipal", juga untuk hal-hal yang "kecil".

Pelajaran penting di sini adalah, jangan abaikan yang "kecil-kecil"! Betapa sering dan betapa banyak pemimpin yang terserandung dan jatuh, bukan karena hal-hal besar, tapi karena ia tidak serius membereskan hal-hal kecil! Misalnya, Karena tidak mau segera mencabut akar korupsi, sebelum keburu besar. Atau membiarkan diskriminasi berlangsung, sebab hanya menyangkut kelompok-kelompok "kecil", "marjinal", "minoritas". Atau mengizinkan kebohongan, konon, karena demi kebaikan. Atau memaafkan pelanggaran HAM, dengan alasan "terpaksa" dan karena "kesalahan prosedur".

Rayap yang kecil, bila dibiarkan, dapat merobohkan rumah. Api yang kecil, bila tak segera dipadamkan, bisa membakar rumah. Hanya yang didapati setia dalam hal-hal kecil, layak dipercayakan tugas-tugas besar.



Sumber: Disadur dari khotbah almarhum Pdt. Eka Darmaputera

Friday, 23 March 2012

CARILAH DAHULU KERAJAAN ALLAH DAN KEBENARANNYA (Matius 6:25-34)

 Oleh: Sugiman

Ketika saya bertanya dengan beberapa orang pedagang demikian: “apa yang Anda cari ketika berdagang?” Jawaban mereka bermacam-macam. Ada yang mengatakan mencari uang, yang lain mengatakan mencari keuntungan. Selanjutnya, saya mengajukan pertanyaan yang sama juga kepada seseorang yang bekerja di bengkel, jawabannya juga sama dengan yang di atas, yaitu untuk mencari uang dan keuntungan. Apakah jawaban mereka itu salah? Sama sekali tidak, karena uang dan keuntungan adalah kewajiban setiap orang yang bekerja.

Artinya, mana ada seorang pedagang, atau seseorang yang bekerja di bengkel tidak ingin mendapatkan uang, atau mencari rugi? Mungkin hanya orang bodoh yang mau melakukannya. Tetapi ada yang lebih penting dari uang dan keuntungan, yang sering diabaikan oleh setiap orang. Apa itu, ada yang bisa menjawab? Yang sering diabaikan oleh setiap orang adalah kejujuran dan kualitas terbaik. Orang yang berfokus pada uang dan keuntungan adalah mereka yang cenderung mengabaikan kejujuran dan kualitas terbaik. Karena itu, banyak para pedagang dan tukang bengkel yang ditinggalkan oleh para pelanggannya. Mereka merasa sia-sia membeli atau membayar dengan harga mahal, tetapi kualitas yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan harganya. Padahal, jika kejujuran dan kualitas terbaik itu diutamakan, maka uang dan keuntungan akan datang dengan sendirinya melalui para pelanggan yang dengan setia. Itulah realita yang ada sekarang.

Teks Matius 6:25-34 yang telah kita baca di atas sebenarnya ingin menekankan hal serupa. Tetapi cakupannya lebih luas, yaitu Kerajaan Allah. Apa itu Kerajaan Allah? Frasa Kerajaan Allah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suasana, damai sejahtera, aman, nyaman dan sukacita abadi yang dirindukan dan dinanti-nantikan oleh semua orang. Selanjutnya, frasa Kerajaan Allah di sini juga erat kaitannya dengan uangkapan “Berbahagialah” (5:3-13), dengan ungkapan “kamu adalah terang dunia”  (5:13-16), dengan uangkapan “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” (5:20), dengan ungkapan “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (5:44), dengan “hal memberi sedekah” (6:1-4), dengan ungkapan “janganlah berdoa seperti orang munafik” (6:5), dan dengan ungkapan “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (6:11).

Artinya, disadari atau tidak, bahwa fokus utama hidup manusia adalah harta, makanan, minuman dan pakaian seperti yang disebutkan pada ayat 25, dari pada mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya terlebih dahulu (6:33). Perhatikan kalimat pada ayat 25b: “Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian”? Secara sederhana, kalimat di atas ingin mengatakan bahwa mereka yang hidup dan terus mencari Kerajaan Allah itu sudah pasti mendapatkan makanan, minuman dan pakaian. Selanjutnya, perhatikan pula kalimat “Pandanglah burung-burung” pada ayat 26 dan kalimat “Perhatikanlah bunga bakung di ladang” pada ayat 28. Kedua kalimat di atas ingin mengatakan, bahwa jika burung-burung  dan bunga bakung saja Tuhan pelihara, apalagi setiap orang yang tidak pernah berhenti mencari Kerajaan-Nya (6:30).

Pertanyaannya adalah apakah salah atau tidak boleh seseorang itu kuatir? Siapa bilang itu salah dan tidak boleh kuatir? Justru menurut saya harus kuatir. Bohong jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak kuatir sama sekali ketika anak perempuannya sering pulang larut malam dengan alasan yang tidak jelas. Atau ketika isterinya mengalami pendarahan ketika melahirkan di rumah sakit. Yang dimaksud “jangan kuatir” di sini adalah perasaan kuatir yang sangat berlebihan, yang dapat membuat kita terdiam dan tidak dapat melakukan tindakan apapun. Perhatikan kalimat pada ayat 27 di katakan demikian: “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”. Artinya, jika kita terus- menerus merasakan kekuatiran yang berlebihan dan tidak melakukan tindakan apapun dalam hidup ini, maka kita sama dengan orang-orang atau bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (6:32). Yang Yesus mau katakan di sini adalah, setidaknya kita memperlihatkan cara hidup yang berbeda dari orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan.

Dengan kata lain, jika seseorang kuatir dengan apa yang hendak ia makan besok, sementara ia tidak melakukan satu tindakan pun yang dapat mendatangkan makanan, maka itu adalah kekuatiran yang salah, dan orang yang demikian adalah sama nasibnya dengan mereka yang tidak mengenal Allah. Melakukan suatu tindakan yang dapat mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain adalah suatu usaha mencari Kerajaan Allah. Perhatikan ayat 33 berikut: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”. Kata “tetapi” di sini adalah menunjuk kepada sesuatu yang jauh lebih utama dari makanan, minuman dan pakaian, yaitu Kerajaan Allah. Mencari atau mengutamakan Kerajaan Allah terlebih dahulu adalah sama maknanya dengan menghadirkan suasana surga yang selama ini dinanti-nantikan oleh semua orang percaya. Menghadirkan suasana surga sama artinya dengan tindakan menerapkan atau melakukan cara-cara hidup yang dapat mendatangkan damai sejahtera, tenteram, aman dan nyaman. Jika semuanya itu telah terjadi, maka semuanya akan ditambahkan kepada Anda, saya dan kepada semua orang percaya. Jadi mengapa kita harus kuatir secara berlebihan.

Bahasa sederhananya adalah, jika lingkungan kita aman, nyaman, damai sejahtera dan tenteram dari para perampok, pencuri, pembunuh dan orang jahat lainnya, maka motor atau mobil beserta kuncinya ketinggalan di halaman rumah pun kita tidak lagi kuatir. Demikianlah juga Allah akan terus memelihara, memberkati dan menuntun orang-orang yang terus mencari dan mengutamakan Kerajaan-Nya. Karena itu, CARILAH DAHULU KERAJAAN ALLAH DAN KEBENARANNYA, MAKA SEMUANYA AKAN DITAMBAHKAN KEPADA KITA SEMUA. Amin.

Thursday, 22 March 2012

ESENSI YANG TERABAIKAN DALAM DOA BAPA KAMI (Matius 6:9-13)

 Oleh: Sugiman

Siapa yang tidak kenal dan hafal dengan Doa Bapa Kami? Saya yakin, hampir setiap umat hafal dengan fasih. Ini memperlihatkan, bahwa Doa Bapa Kami adalah doa yang sangat terkenal dalam agama Kristen. Gereja-gereja tua (GKI, GKE, HKBP, GKPI, GKP, GKPM dst) biasanya mengunagakan doa ini sebagai penutup atas doa syafaat. Setiap Minggu, di dalam gereja, doa ini dikumandangkan oleh seluruh umat secara bersama-sama. Semuanya hafal, fasih, yaitu mulai dari kata-kata hingga titik dan komanya. Luar biasa sekali. Tetapi yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah semuanya mengerti dengan esensi terdalam yang tersirat dalam doa itu sendiri? Menurut saya, sebagian besar umat Kristen tidak mengerti dengan esensi terdalam itu, dan itulah yang sering diabaikan oleh umat Tuhan, termasuk oleh para pemimpinnya. Mengapa demikian? Karena hampir setiap pemimpin gereja (Pastor, Suster, Pendeta, Vikaris dst) engan untuk menjelaskannya. Mengapa? Menurut saya, paling tidak ada dua jawaban: pertama, para pemimpin agama menganggap bahwa umatnya sudah tahu, karena itu ia pasti mengerti. Sangat keliru, karena frasa “sudah tahu” dan “sudah mengerti” itu sangat jauh berbeda. Kedua, mungkin karena pemimpin agama hanya tahu, tetapi tidak mengerti, sehingga ia lebih memilih diam.

Semua umat dan pemimpinnya memang sudah tahu dan hafal secara fasih dengan Doa Bapa Kami, namun memahami dan mengerti esensinya adalah hal yang tidak boleh diabaikan. Seharusnya, para pemimpin umat tidak mengabaikan hal itu. Karena ketika Yesus mengajarkan doa itu kepada para murid-Nya bukan hanya untuk dihafal, melainkan untuk dimengerti. Tetapi itulah yang sering diabaikan oleh gereja saat ini. Karena itu, melalui posting ini saya mengajak para pembaca untuk memahami esensi terdalam yang tersirat dalam Doa Bapa Kami.

Pembahasan

Doa Bapa Kami dimulai dengan kalimat: “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu” (ayat 9). Perhatikan frasa “Bapa kami”! Frasa ini ingin memperlihatkan bahwa doa itu sangat membutuhkan hubungan baik, yaitu seperti hubungan Bapa dan anak. Kemudian frasa di sorga dan dilanjutkan dengan kalimat “Dikuduskanlah nama-Mu adalah menunjuk kepada posisi atau kedudukan tertinggi dan kekudusan dari sang Bapa (Tuhan). Dengan demikian, kode etik atau cara kita berkomunikasi, berbicara atau berdoa kepada Bapa harus sopan dan dengan penuh kerendahan hati supaya tidak menodai kekudusan-Nya. Misalnya, saat kita berbicara dengan pak polisi, tentara, mentri dan bahkan presiden kita, harus menunjukan sikap yang paling sopan dan memperhatikan kualitas bahasa yang kita gunakan saat berbicara. Nah, apa lagi kepada Tuhan. Tapi realita memperlihatkan, bahwa tidak jarang jemaat dan bahkan pemimpin umat berdoa sambil angkat kaki. Pertanyaan saya adalah apakah itu cara yang sopan? Atau begitukah cara kita meminta, berkomunikasi atau berbicara kepada Bapa? Kita memanggil Dia Bapa, tetapi kita terkadang tidak berlaku sebagai anak-Nya. Karena itu, tidak jarang seseorang menodai kekudusan-Nya dan tidak berlaku sebagai anak Sang Khalik yang kita panggil Bapa.

Selanjutnya pada ayat 10 dikatakan: “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga”. Kalimat di atas menunjuk kepada sebuah permohonan si pendoa, bahwa kerajaan Allah harus terjadi sesuai dengan kehendak-Nya dan bukan sesuai dengan kehendak si pendoa. Namun kenyataannya, adalah betapa seringnya kita memaksakan kehendak kita, yaitu supaya terjadi sesuai dengan keinginan dan rencana kita. Artinya, alangkah sulitnya bagi kita untuk memberikan tempat atau membiarkan kehendak Tuhan itu terjadi secara alamiah, dibandingkan merendahkan diri kita di hadapan-Nya. Hanya mereka yang berlaku sebagai anaklah yang ikhlas, tulus dan dengan penuh kerendahan hati untuk mengizinkan kehendak-Nya terjadi secara alami. Keikhalasan, ketulusan, dan kerendahan hati itu sangat dibutuhkan saat kita berdoa atau berbicara kepada Tuhan (Bapa). Karena hanya mereka yang tidak tulus, ikhlas dan tidak mau merendahkan hatinyalah yang menuntut balasan atau imbalan atau yang menginginkan segala sesuatu terjadi berdasarkan kehendaknya (bukan kehendak Tuhan). Selain itu, makna frasa “datanglah kerajaan-Mu” sebenarnya juga adalah sebuah permohonan, yaitu melalui kehadiran kita di dalam dunia ini, kiranya dapat menjadi sarana atau media untuk menghadirkan kerajaan Allah di dalam dunia yang penuh dengan kejahatan. Dengan demikian, dunia yang dipandang sebagai neraka oleh mereka yang disakiti kehidupan akan merasakan suasa surga. Banyak orang berpikir bahwa surga itu indah, damai, sejahtera, tidak ada tangisan, tidak ada pembunuhan dan kejahatan lainnya, tetapi mereka menolak untuk menghadirkannya di dalam dunia. Seharusnya suasana surga itu kita bawa ke dalam dunia ini, supaya surga itu menjadi nyata, terasa dan tidak menjadi impian yang samar-samar dan kabur.   

Selanjutnya, pada ayat 11 dikatakan: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Kalimat pada ayat 11 ini mengajarkan kepada kita supaya senantiasa mengucapsyukur atas apa yang telah Tuhan berikan, dan apa yang telah kita terima dari-Nya. Perhatikan kalimat “berikanlah kami pada hari ini”! Kalimat ini sangat erat kaitannya dengan kata “secukupnya”, yaitu di mana setiap orang yang telah meminta harus selalu dan senantiasa mencukupkan diri dengan apa yang telah dia terima. Perhatikan frasa “hari ini”! Bukan besok, lusa dan selamanya, tetapi “hari ini”. Ini tidak berarti, yaitu apa yang telah kita dapatkan hari ini harus dihabiskan hari juga, tetapi bersyukurlah atas apa yang telah engkau terima hari ini, dan kalaupun bisa sampai besok itu juga tidak mengurangi nilai ucapan syukur kita kepada-Nya. Yang penting “secukupnya”. Karena hanya mereka yang senantiasa mengucapsyukurlah yang bisa merasakan hidup “secukupnya”, dan kalau lebih dari cukup juga syukur atal benar.

Tetapi realita memperlihatkan, bahwa sebagian besar orang, termasuk orang Kristen tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah dia terima. Bahkan jatah orang lain pun diambil, dirampas dan dicurinya. Mengapa? Karena tidak merasa cukup dan tidak bisa mengucapsyukur. Itulah sebabnya korupsi semakin menjadi-jadi. Mereka korupsi bukan karena tidak punya uang, melainkan banyak uang. Tetapi karena tidak merasa cukuplah, keserakahan mereka rela membiarkan dirinya diperbudak atau menjadi hamba uang, dan rasa cukup itu jauh dari mereka. Pada dasarnya, manusia itu tidak akan pernah merasa cukup jika mereka tidak pernah bersyukur dan mencukupkan diri. Artinya, hanya mereka yang merasa cukuplah yang dapat mengucapsyukur kepada-Nya dengan sepenuh hati.

Ayat 12-13 merupakan lanjutan dari ayat 11. Dikatakan demikian: “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (ayat 12-13).

Menurut saya, ayat 12 ini merupakan kalimat yang sangat sulit dan sangat berat diungkapkan. Bahkan, setiap kali menaikan Doa Bapa Kami hati saya merasakan tertusukan oleh sebuah pedang bermata dua saat mengungkapkan kalimat “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Sekalipun dalam kalimat itu ada kata “kami” tetapi menusuk secara pribadi. Saya merasa bahwa sering kali kita tidak dapat mengampuni orang-orang yang sering menyakiti hati kita, yang sudah membuat kita teraniaya, terlukai, sementara kita meminta supaya Tuhan memberikan pengampunan sesuai dengan apa yang telah kita berikan. Artinya, sejauh mana kita mengampuni orang-orang yang telah menyakiti, mengecewakan, menyiksa, dan menganiaya kita, maka sejauh itulah Tuhan juga mengampuni kita. Sangat dilematis. Jika kita hanya mengampuni mereka dengan setengah hati, maka Tuhan pun akan mengampuni kita dengan setengah hati. Inilah pergumulan yang paling berat dan yang paling sulit saya lakukan. Tetapi harus dilakukan. Setidaknya, kita telah belajar mengampuni mereka dengan sepenuh hati, dan itu jauh lebih penting dari pada diam dan untuk balas dendam. Karena Yesus tetap mengatakan, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sangat berat, tetapi harus dilakukan, dan itulah yang dilakukan Yesus selama hidup-Nya, terlebih di saat Dia di atas kayu salib, yaitu menjelang kematian-Nya.

Kemudian, dalam ayat 13 merupakan sebuah permohonan, yaitu supaya tidak dibawa ke dalam pencobaan, tetapi dilepaskan dari pada yang jahat. Namun demikian, Tuhan tidak pernah membawa kita ke dalam pencobaan, dan Dia selalu melepaskan atau meluputkan kita dari pada yang jahat. Hanya kita sendirilah yang suka mencobakan diri (suka coba-coba melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan kebaikan dalam hidup kita) dan tidak mau dilepaskan oleh Tuhan saat kita berada dalam lumpur dosa. Kita merasa sangat sayang dan bahkan tidak mau meninggalkannya, tetapi terkadang Tuhan memaksa dan menarik kita dengan tangan-Nya yang kuat, sehingga terkadang kita harus meneteskan menahan rasa sakitnya. Mengapa? Karena kita telah merasa nyaman dengan kenikmatan dunia yang kontemporel (bersifat sementara). Misalnya, orang yang telah terbiasa hidup dalam dunia seks bebas atau narkobais, mereka akan merasa tersiksa ketika dikeluarkan dari sana. Bahkan jika tidak dibantu oleh orang lain, dia tidak mau melepaskan dirinya. Demikian juga dengan mereka yang sudah terbiasa hidup mewah di dalam dunia korupsi, juga akan merasa sangat sulit untuk melepaskan dan meninggalkannya, kecuali dengan cara memaksa diri sendiri dan siap menahan sakitnya.

Kemudian Doa Bapa Kami ditutup dengan kalimat: (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin). Dalam teks aslinya memang tidak ada kalimat di atas. Perhatikan teks aslinya berbunyi demikian: “kai mê eisenenkês hêmas eis peirasmon, alla rhysae hêmas apo tou ponerou” (ayat 13). RSV (Revised Standard Version tahun 1952) menterjemahkan demikian: “And lead us not into temptation, But deliver us from evil.” Ini memperlihatkan, bahwa kalimat yang ada dalam kurung di atas merupakan tambahan kemudian, yang disesuaikan dengan doksologi (nyanyian diakhir kebaktian) liturgi gereja mula-mula. Dalam kebaktian gereja mula-mula, kalimat tambahan di atas dinyanyikan secara bersama-sama pada akhir kebaktian. Tradisi menyanyikan himne pendek ini adalah diturunkan dari praktik serupa yang dilakukan di sinagoga Yahudi untuk mengakhiri suatu doa/ibadah.[1] Karena itu, Doa Bapa kami juga diakhiri dengan doksologi, yang harus dinyanyikan secara bersama-sama setelah Doa Bapa Kami dikumandangkan, yaitu “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin”. Tetapi yang lebih penting dari kalimat tambahan di atas adalah pengakuan tunggal terhadap kemahakuasaan Tuhan, sebagai Bapa, yang adalah pemilik Kerajaan dan Kuasa, dan Kemuliaan sampai selama-lamanya. Atau bukan untuk sementara, tetapi selama-lamanya, kemudian di tutup dengan kata Amin, yang artinya iya dan benar.


[1] Lihat Doxology - Menurut sebuah artikel di Catholic Encyclopedia