Oleh: Sugiman
Di tengah maraknya berbagai kasus yang terjadi
di negara Indonesia saat ini (abad ke-21), mengoreskan luka yang mendalam bagi
mereka masih memihak pada suara hati nurani. Dunia seolah-olah dipenuhi dua
kelompok manusia yang sedang pedagang, masing-masing mereka menjajakan jualannya.
Semangat dagang mereka tidak berbeda satu sama lain. Mereka sama-sama tidak perduli,
mau hujan ribut, maupun badai yang ganas sekalipun tidak menjadi penghalang
(tidak dihiraukan), yang penting jualannya laku terjual kepada para pembeli. Persaingan
di antara kedua kelompok pedagan itu pun tidak terhindarkan, karena memang
itulah resiko menjadi seorang pedagang.
Apakah ada beda keduanya? Oh tentu ada dong. Bahkan
perbedaan itu secara gamblang diperlihatkan oleh masing-masing kelompok
pedagang. Terserah, Anda mau percaya atau tidak, bahwa fakta atau realita
(kenyataan sesungguhnya) di lapangan memperlihatkan, dagangan yang paling laku
atau laris terjual adalah kekuasaan, kekuatan, kekerasan, intimidasi,
diskriminasi, kebohongan, korupsi, ketidakadilan, penindasan, penolakan dst. Kalau
Anda punya kekuasaan, kekuatan, apalagi kemampuan untuk melakukan semuanya,
Anda pasti didengar, diperhatikan, dihormati, dan kehendak Anda dilakukan. Bahkan
kehadiran Anda pun dinanti-nantikan, di bayar lagi. Enak kan? Oh enak dong. Perhatikan
saja para politikus yang ada di Indonesia! Katanya sih mereka itu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi nyatanya, mereka anggota Dewan Penindas,
Pemeras, Pemaksa, Pecundang, Pencuri, Perampok, Pembohong, Pemalas, Penodong, Penipu,
dan bahkan Pembunuh Rakyat. Jadi singkatannya apa dong? Singkatannya adalah D11P1R.
Kok bisa? Kan P nya ada 11 dan bahkan bisa nambah lagi, sedangkan R nya tetap
satu. Tidak peduli sumpah-serapah dari orang-orang yang tertindas, teraniaya,
menderita, yang penting enak, yaitu dibayar, masuk tv, masuk koran / populer, diperbincangkan
di mana-mana. Mulai dari kantor Presiden hingga ke kebun karet dan bahkan
hingga ke liang kubur.
Coba bandingkan dengan pedagang yang satunya! Mereka
tertindans/ teraniaya, miskin, terabaikan, tidak memiliki tempat tinggal, dan
bahkan melarat. Terus bagaimana caranya mereka dapat uang? Mereka harus
membanting tulang dulu, mencangkul sawah, menjadi buruh kasar, menjadi pedagang
kakilima, mendorong gerobak untuk mengumpulkan barang-barang bekas, sampah, dan
barang-barang yang bisa dijual lainnya. Mereka mempertaruhkan hidupnya di jalanan-jalan,
mengadu nasib tinggal di ibukota. Bahkan tidak jarang mereka merasakan kejamnya
ibukota yang melebihi ibu tiri. Ketika terjadi kecelakaan, jarang ada orang yang
mau menolong. Banyak alasan yang membuat mereka tidak mau menolong. Misalnya takut
dijadikan saksi oleh polisi, takut dijadikan tersangka, apalagi kalau korban
sudah meninggal. Selanjutnya, mereka tidak ada waktu untuk menolong karena
kesibukan masing-masing. Bahkan, kadang-kadang dalam satu kompleks perumahan
pun tidak saling kenal, karena masing-masing sibuk dengan dirinya.
Berbeda jauh dengan suasana dan keadaan saat
saya masih di kampung, meskipun jarank antara kampung yang satu dengan yang
lainnya jauh, tetapi masih saling kenal dan bisa akrab. Ketika terjadi
kecelakaan atau salah seorang meninggal di kampung tertentu, beritanya begitu
cepat tersebar dari mulut ke mulut. Ya itu kan karena sudah ada handphone (HP)!
Siapa bilang ada handphone (HP). Berita atau pesan itu disampaikan langsung
dari orang-orang yang rela berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Tetapi
sekarang sudah enak, karena hampir masing-masing keluarga punya sepeda motor.
Lalu bagaimana kaitannya dengan tema di atas? Saya
melihat, bahwa kekejaman, kejahatan, ketidakadilan, termasuk 11P yang
disebutkan di atas (Penindas, Pemeras, Pemaksa, Pecundang, Pencuri, Perampok,
Pembohong, Pemalas, Penodong, Penipu, dan bahkan Pembunuh) terjadi karena tidak
ada kasih dan setia. Penulis Amsal mengatakan bahwa mereka telah ditinggalkan
oleh kasih dan setia. Emang harus setia pada siapa? Ya, tentu setia pada Sang
Pencipta. Itulah inti perkataan orang bijak (berhikmat) dalam Amsal 3:1-10. Tapi
kok penulis Amsal 3:1 mengatakan: “Hai anakku, janganlah engkau melupakan
ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku”? Memangnya dia Tuhan (Sang
Pencipta)? Penulis Amsal menjawab demikian: “Permulaan
hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian”
Amsal 9:10.
Membiarkan
kasih dan setia meninggalkan kita adalah sama maknanya membiarkan Tuhan
meninggalkan kita. Implikasinya sangat berat. Mengapa? Sebab kasih dan setia
yang sejati itu harus dibuktikan melalui situasi ketika kecenderunmgan untuk
tidak mengasihi dan tidak setia itu, jauh lebih besar dari pada dorongan untuk
mengasihi dan setia. Bentuk kasih yang ditawarkan macam-macam. Paling tidak ada
tiga macam jenis kasih yang sering kita saksikan di dalam dunia ciptaan-Nya,
sekalipun kita jarang dan bahkan tidak pernah menyadarinya. Kasih yang pertama
adalah “kasih karena”. Kita mengasihi seseorang karena dia memang layak atau
pantas untuk dikasihi. Kasih yang kedua adalah “kasih supaya”, kita mengasihi
seseorang supaya kita juga dikasihi sebagaimana yang telah kita berikan. Ketika
adalah “kasih walaupun”, yaitu kita mengasihi seseorang walaupun yang bersangkutan
memiliki banyak kekurangan, tidak pantas atau tidak layak untuk dikasihi. Kasih
yang ketiga itulah yang Tuhan tawarkan kepada kita. Walaupun kita sering
disakiti, dikhianati, dan ditinggalkan oleh orang-orang yang kita kasihi,
tetapi yakinlah Tuhan tidak pernah meninggalkan kita seorang diri. Karena Dia
sangat peduli dan setia kepada orang-orang yang tetap setia mengasihi-Nya.