(Oleh Sugiman)
Dalam doa-Nya Yesus tidak
hanya memperlihatkan sebuh teladan, tetapi lebih jauh supaya para murid hidup
bersekutu dengan semua orang. Seluruh hidup, ajaran dan karya-Nya difokuskan
untuk melayani semua orang. Artinya, ajaran dan pelayanan harus memberikan efek
dan dampak yang membawa persekutuan, damai sejahtera, hidup dalam keadilan dan
kebenaran, terlebih supaya umat Tuhan dan gereja-Nya hidup dalam kesatuan di
dalam kasih-Nya. Maka dalam paper ini berusa menjawab sebuah pertanyaan besar
tersebut, yaitu “Peranan Ajaran dan
Pelayanan Dalam Kesaan Gereja”.
Pembahasan
1.
Pentingnya memahami ajaran dan pelayanan Tuhan
Yesus
a). Ajaran Tuhan Yesus
Dalam PL yang diterjemahkan dengan “ajaran” adalah
dari kata leqakh[1] artinya, yang diterima. Dalam bahasa Inggris : “teaching” (Ul 32:2); gift of
persuasion (Ams 7:21); dan insight (Yes 29:24).
Dalam PB ada dua kata yang diterjemahkan “ajaran” adalah “didaskalia” dan “didache”,
yang artinya mencakup bagi pekerjaan pengajar, maupun isi dari ajaran itu
sendiri. [2]
Dalam pengajaran Tuhan Yesus, Dia selalu menggunakan “didache”, yang mana Yesus tidak hanya mengajar, tetapi juga
melakukannya dengan setia. Penulis Yohanes mengatakan bahwa ajaran Yesus itu
berasal dari Allah (Yoh 7:16-17).
b). Pelayanan Tuhan Yesus
Dalam PB ada empat istilah yang diterjemahkan: “pelayanan atau melayani” : “diakoneo”, “douleo”, “leitourgeo”,
dan “latreuo”.[3]
(a). “Diakoneo” artinya menyediakan
makanan di meja untuk majikan. (b).
“Douleo” artinya pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba (budak) atau “doulos”. (c). “Leitourgeo” artinya bekerja
untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum. Penulis surat Ibrani
menyebut Yesus sebagai “leitourgos”
(Ibr 8:2). Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menjadi “leitourgia” atau menjadi pelayan
bagi semua orang (Flp 2). (d). “Latreuo” artinya pemujaan kepada Allah atau “religious
service, dan worship
(of God)”.[4] Penggunaan yang sangat mencolok adalah dalam Roma 12:1, yaitu di mana
Paulus berpesan kepada jemaat di Roma supaya mempersembahkan tubuh kita sebagai
yang “logiken latreian” (Yun) artinya “persembahan yang pantas”. Dengan demikian kita melihat bahwa melayani berarti menyangkut sebuah “kualitas”.
Yesus dalam hidup, ajaran dan karya Yesus telah
memperlihatkan sebuah kualitas pelayanan tertinggi yang dikerjakan untuk Bapa
yang mengutus-Nya. Oleh sebab itu, melayani semua orang adalah fukus utama bagi
Yesus. Penulis Injil Matius dan Markus sangat jelas mencatat dan mengemukakan moto
hidup Yesus, yaitu “Anak Manusia datang
bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28 dan Mrk 10:45). Demikian
juga dengan penulis Injil Yohanes menuliskan mengenai doa Tuhan Yesus yang
merindukan supaya semua orang hidup dalam kesatuan dan bersekutu sama seperti
Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:22). Doa Tuhan Yesus tidak hanya berhenti
ketika mereka bersatu, tetapi lebih jauh lagi, yaitu “di mana Dia berada di
situ juga mereka ada bersama-sama dengan Dia, dan itulah eksistensi gereja yang
ideal (17:24). Abineno menyebut eksistensi itu sebagai ciri-ciri dan
norma-norma lain yang menentukan keberadaan gereja di dunia yang majemuk.[5]
Misi Yesus jelas, yaitu untuk mepersatukan umat-Nya, bahkan Dia rela mati di
kayu salib untuk semuanya itu. Sungguh sangat mahal harga sebuah tugas dan
tanggung jawab untuk kesatuan. Gereja mula-mula di abad pertama memahami dengan
sangat kompleks antara “ajaran” dan “melayani”. Mereka menyadari bahwa hidup
yang melayani bukan adalah bukan lagi hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
orang lain juga, terlebih untuk Tuhan. Jadi jelas, bahwa pemahaman itu
didasarkan pada hidup, pengajaran dan karya Yesus orang Nazaret itu. Dalam
terang inilah Leonard Hale mengatakan, bahwa jika kita diringkaskan hidup,
pengajaran dan karya Yesus hanya satu kata, yaitu MELAYANI. Gereja yang hidup adalah gereja yang melayani. John Stott
menyebutkan bahwa paling sedikit ada empat ciri mengenai gereja yang hidup,
yaitu “gereja yang belajar”, “gereja yang mengasihi”, “gereja yang beribadah”, dan “gereja yang memberitakan Injil”.
Keempat ciri itu disebutnya sebagai pokok-pokok visi Allah untuk gereja-Nya.[6]
Apa maksudnya keempat ciri gereja yang hidup itu:?
a). Gereja yang belajar adalah gereja yang bertekun kepada
pengajaran para rasul (Kis 2:42), kebenaran merupakan pokok utama yang
dikerjakan sesuai pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, oleh
sebab itu gereja harus tunduk di bawah pimpinan dan pengamatan Tuhan.
b). Gereja yang mengasihi adalah gereja yang bersekutu, sehingga
dalam persekutuan itu orang percaya saling berbagi bersama, “segala kepunyaan
mereka adalah kepunyaan bersama” (Kis 2:44-45). Kemurahan hati telah dan selalu
menjadi ciri umat Allah.
c). Gereja yang beribadah adalah gereja yang melayani. Mereka
bertekun untuk “memecahkan roti” dan berdoa bersama. Bahkan dikatakan, “mereka
berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah (Kis 2:46). Dan
d). Gereja yang memberitakan
Injil adalah gereja yang
tidak hanya duduk diam dalam rumah ibadah, berdoa dan mengasihi sesama saja,
tetapi juga memberitakan Kabar Baik itu kepada semua orang atau bermisi untuk
semua orang. Maka misi itu merupakan implikasi dari pendengaran, persekutuan
dan ibadah dengan Tuhan.
Dari penjelasan di atas maka jelaslah, bahwa gereja
tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi gereja juga untuk orang lain. Dengan demikian,
melalui pemberitaan atau ajaran dan pelayanan gereja memperlihatkan kemuliaan
Kristus, dan bukan untuk organisasi, suku, ras bahasa yang cenderung mementingkan
dirinya, tetapi milik semua orang sebagai ciptaan Allah. Artinya, gereja
bukanlah rencana ilahi tambahan, dan gereja juga bukan kecelakaan sejarah.
Tetapi gereja adalah komunitas baru milik Allah. Gereja tidak kurang dari tubuh
Kristus, karena gereja adalah umat Allah, yang telah dan sedang dibentuk Allah
dan melalui pembentukan itu Allah bertindak sepanjang sejarah untuk mencapai
rencana-Nya, yaitu semua umat manusia dipersatukan di dalam terang kasih-Nya.
Jika gereja tidak mengikuti jejak-jejak Yesus, yaitu melayani semua orang, maka
gereja itu adalah mati dan tidak ada artinya selain dipotong (bnd. cerita Yesus
adalah Pokok Anggur yang benar Yoh 15).
2.
Pentingnya keesaan gereja
Rasul Paulus menggambarkan hakikat dari kesatuan
gereja adalah sama seperti tubuh manusia yang terdiri atas banyak anggota,
tetapi saling mendukung, menghargai, memahami dan menerima (1 Kor 12:12-31; Rm
12:3-8). Demikianlah hendaknya juga gereja-gereja sebagai anggota tubuh
Kristus. Gereja adalah persekutuan orang percaya dan Kristus sendiri yang
menjadi kepalanya. Penekanan kepada “persekutuan” mangandung nilai persekutuan
anggota dari satu tubuh, baik pada tingkat lokal maupun universal. Frasa “tubuh
Kristus” nampak dalam kesatuan yang serba berbeda, namun dalam manifestasinya
bahwa kepelbagaian itu justru merupakan kekuatan dan kekayaan Allah. Dalam hal
ini Eddy Paimoen mengatakan, bahwa “kesatuan
dalam kepelbagaian dan dan kepelbagaian dalam kesatuan”, menunjukkan
keberadaan yang satu tidak terpisahkan dari yang lain, meskipun saling berbeda.[7]
Perbedaan posisi dan tugas dalam tubuh Kristus akan menyebabkan saling
kebergantungan dari seluruh anggota tubuh. Maka, jika keberadaan dari tubuh
Kristus yang berbeda, bila dapat berfungsi sesuai dengan keberadaannya akan
menimbulkan interaksi timbal balik yang kondusif.
Abineno mengatakan, bahwa kesatuan gereja dan
ajaran yang benar itu tidak bisa dilepaskan satu sama lain. hal itu menjadi
jelas jika kita kaitkan dengan doa Tuhan Yesus yang menginginkan adanya
kesatuan murid-murid yang menyatakan dirinya dalam ketaatan Anak kepada Bapa.
Demikian juga dengan kesatuan gereja, yaitu seberapa jauh mereka melakukan apa
yang Bapa dan Anak perintahkan kepada mereka (lih. Abineno, Oikumene, 1984: 17-18; bnd. Yoh
17:17-23). Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja menagaskan, bahwa keesaan berarti membaharui, membangun
dan mempersatukan gereja.[8]
Mengapa membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja itu penting?:
a). Karena perintah Tuhan Yesus, bahkan Dia mendoakan
umat-Nya supaya bersatu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:21).
b). Untuk membentuk gereja Kristen yang Esa, terutama
gereja-gereja yang ada di Indonesia, dan itu merupakan bagian dari tugas dan
panggilan gereja yang harus dijalankan untuk melihat seluruh Indonesia sebagai
satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama.
c). Untuk membangun suatu persekutuan harmonis yang
diperbaharui. Iman tercermin dalam kasih dan solidaritas kemanusiaan, menuju
kesatuan dan persatuan.
d). Untuk membangun sebuah persekutuan yang saling
topang-menopang; untuk meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan dinding penyekat
buatan manusia yang didasarkan atas perbedaan kelamin, kelas, sosial-ekonomi,
ras suku, bahasa dan asal; membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan
lingkungan masing-masing dan bersama-sama memasuki konteks yang baru sehingga gereja
juga bisa bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman.
e). Untuk menghindarkan gereja dari bahaya
keterpencilan dan bahaya ikut-ikutan bagi gereja-gereja di tengah-tengah arus
pembangunan negara dan bangsa yang selalu berubah-ubah. Oleh sebab itu, membaharui,
membangun dan mempersatukan dirinya di bawah bimbingan Roh Kudus.
3.
Arti membarui, membangun, dan
mempersatukan gereja[9]
Membarui, membangun dan mempersatukan gereja,
berarti: pertama-tama, menguji
keadaan gereja, termasuk bentuk-bentuk pengungkapan ibadahnya, dan seluruh
warganya di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana keadaan
gereja itu sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan bagi gereja seperti
yang diungkapkan dalam Firman Allah; dan sekaligus menilai sampai di mana
keadaan gereja itu sepadan atau tidak dengan tugas panggilan bersama yang
dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia. Selanjutnya, yaitu
mengupayakan secara realistis dengan pimpinan kuasa Roh Kudus tentang
pembaharuan-pembaharuan dan pertumbuhan agar keadaan gereja menjadi lebih
sesuai dengan kehendak Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Firman Tuhan dan
menjadi lebih sepadan dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja
di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun.
Untuk lebih spesifik lagi dalam memahaminya, mari kita menguraikannya secara
lebih mendalam:
(a). Membarui gereja adalah tugas panggilan orang-orang
percaya yang terus-menerus. Karena bagaimana pun, sebagai tubuh yang hidup dari
Kristus, gereja harus berusaha menempatkan diri di bawah sorotan Firman Tuhan,
atau sama dengan seseorag yang selalu bersedia mengadakan pertobatan di bawah
terang Firman Tuhan. Selanjutnya kita tahu, bahwa gereja juga terlibat dalam
perkembangan sejarah, baik sejarah gereja itu sendiri maupun sejarah bangsa
Indonesia, bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, gereja juga harus ikut membentuk
sejarah itu, supaya tidak ditinggalkan oleh perkembangan sejarah. Hal lain lagi
adalah bahwa gereja juga memuat pengertian pembaruan dalam pemikiran teologi,
gaya hidup dan pola kelembagaan gereja secara kreatif dan terus-menerus, berada
di bahawah bimbingan Roh Kudus.
(b). Membangun gereja pada dasarnya adalah memenuhi apa yang tertulis dalam Efesus 4:13-16, yaitu “pembangunan
tubuh Kristus, yang di mana kita melewati sebuah proses untuk mencapai kesatuan
iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan
tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita tidak
lagi mudah diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran yang berkeliaran di sekeliling
kita; oleh permainan palsu manusia yang berusaha menyesatkan karena kelicikan
mereka, tetapi dengan teguh kita berpegang pada kebenaran di dalam kasih
Kristus yang adalah kepala. (lih.1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Artinya,
daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh
pelayanan, yang melayani sesuai karunia-karunia yang dimiliki dan membangun
diri dalam kasih Kristus. Membangun gereja sebagai “pertumbuhan Tubuh Kristus” tidak
terbatas oleh budaya, tetapi nilai-nilai positif budaya, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman modern juga untuk memperkuat dan tidak melemahkan
gereja sebagai “Tubuh Kristus”. Dalam hal ini, kita harus memberikan perhatian
yang sungguh-sungguh terhadap pertumbuhan gereja sebagai tahap untuk membangun
gereja (Ef 4:15-16). Roh Kudus dapat memakai manusia sebagai alat-Nya melalui gereja
yang terpanggil, yang menggunakan segala karunianya untuk terus bertumbuh dan
membangun dirinya. Lima Dokumen Keesaan Gereja menuliskan lebih lanjut, bahwa
pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, yaitu intensif dan ekstensif.
Intensif dalam arti peningkatan kualitas iman sehingga tidak mudah diombang-ambingkan
oleh rupa-rupa angin pengajaran palsu, permainan licik manusia yang berusaha
menyesatkan (Ef 4:14). Dan ekstensif berarti pertumbuhan orang-orang percaya
dan pertumbuhan gerek gereja dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru
dunia (Kis 1:8). Ini berarti bahwa dalam rangka pembangunan dan pertumbuhan
gereja, pembinaan seluruh warga gereja menjadi mutlak penting, sehingga tidak
seorang pun yang terlupakan.
(c). Mempersatukan gereja berarti memenuhi doa Tuhan Yesus yang
tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakan keesaan yang telah ada dalam
rencana Tuhan, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai kesaksian. Dengan
demikian, gereja-gereja yang ada di Indonesia harus mewujudkan keesaan.
Misalnya bisa dimulai di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah-daerah
tertentu, kemudian mewujud-nyatakan keesaan itu, sehingga memperlihatkan
sesuatu yang sangat berbeda dengan keesaan yang ditawarkan oleh dunia. dengan
kata lain, bahwa keesaan gereja tidak sama dengan keesaan dunia. keesaan gereja
adalah keesaan yang sama seprti keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Artinya, ada sebuah persekutuan, pelayanan dan kasih yang harmonis. Dengan
demikian, gereja bisa memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama, dan
menempatkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan di dalam
kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa
Indonesia. Artinya, di dalam kerangka itu ada jaminan di mana keanekaragaman
bisa bersatu di dalam kasih-Nya. Tugas dan panggilan gereja untuk mempersatukan
gereja-gereja di Indonesia biasanya menggunakan pendekatan yang lahir dari
pergumulan situasi kita di Indonesia, seperti: (1). Identitas masing-masing tetap di hormati, tetapi yang lebih
pentingdan utama adalah dilihat sebagai identidas bersama sebagai gereja
Kristen yang tinggal dan bersekutu di dalam Kristus; (2). Setiap gereja pasti memiliki sejarahnya masing-masing, oleh
sebab itu setiap gereja harus menghormatinya. Tetapi yang lebih utama adalah
kits mrlihatnya sebagai sejarah bersama; (3).
Selanjutnya, tugas panggilan masing-masing gereja, juga tetap harus saling
menghormati antara gereja yang satu dengan yang lainnya. Tetapi yang lebih
penting dan utama adalah bagaimana kita melihat semuanya itu sebagai tugas
panggilan bersama (4). Demikian juga
dengan kewenangan untuk mengatur hidup masing-masing tetap dihormati, tetapi
dilihat sebagai kewenangan bersama untuk mengatur kehidupan bersama; (5). Terakhir adalah tentang pengembangan
teologi, daya dan dana dalam rangka tugas panggilan masing-masing tetap
dihormati, tetapi semuanya itu juga harus dilihat sebagai tugas panggilan
bersama di seluruh Indonesia. Dari kelima hal di atas secara konkret dan
terungkap dalam kebersamaan di tingkat lokal dan wilayah. Dalam terang inilah,
Lima Dokumen Keesaan Gereja menyatakan, bahwa pentingnya peranan wilayah
PGI-Setempat dalam proses mempersatukan gereja-gereja yang ada di Indonesia.
Tentu tidak terlepas dari landasan kesatuan bangsa dan negara Indonesia, yaitu Pancasila
dan UUD 1945, yang mencamin kesatuan, kedamaian, kesejahteraan dan hidup
berdampingan dengan orang lain.
[1] Analisis kata leqakh:
noun common masculine singular construct suffix 1st person common singular (Ul
32:2, Ayb 11:4; Yes 29:24). Bentuk konstruk memberikan penegasan, bahwa kata leqakh adalah kata
yang sangat penting, yang tidak boleh terlewatkan atau diabaikan, dalam PL
muncul kata “leqakh” sebanyak 216 kali (lih. Bible Works 7).Oleh sebab itu, dalam tradisi
bangsa Israel orang tua memainkan peranan yang sangat penting untuk memberikan
pengajaran kepada anak-anaknya.
[2] Istilah “didaskalia
itu digunakan untuk ajaran orang Farisi (Mat 15:9; Mrk 7:7). Kecuali satu ayat
pada surat Kolose dan satu ayat pada Efesus, kata ini khususnya terdapat dalam
Surat-surat Pengembalaan. Kemungkinan yang terdapat dalam surat Kolose, Efesus
dan dalam Surat-surat Pengembalaan mengacu kepada kumpulan yang dipakai sebagai
patokan aliran ortodoks. Sedangkan “didache” adalah kata yang sering digunakan
oleh penulis PB (lih. Esniklopedi Alkitab
Masa Kini (Jilid 1 A-L) (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF,
2004), 22.
[3] Andar Ismail, Selamat
Melayani Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2.
[4] Dalam
PB kata “latreia” muncul sebanyak
lima kali: pertama, dalam bentuk accusative feminine singular yaitu “latreian” (Yoh 16:2; Rm
12:1); dalam bentuk nominatif feminine singular, yaitu
“latreia” (Rm 9:4), dan dalam bentuk genitive
feminine singular, yaitu “latreias” (Ibr 9:1, 6). Dalam bahasa Inggrisnya
diterjemahkan dengan “religious service,
dan worship
(of God)”.
[5] Abineno, Oikumene
dan Gerakan Oikumene (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 16.
[6] John Stott, The
Living Church. Terj. S. Widiatmoko (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 1-13.
[7] Eddy Paimoen, diskusi dalam kuliah teologi 3 mengenai
hakikat gereja sebagai tubuh Kristus.
[8] Lima Dokumen Keesaan Gereja – Persekutuan
Gereja-Gereja Di Indonesia hasil keputusan sidang raja XII PGI Jayapura, 12-30
Oktober 1994 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) hal 14-20; bnd. Howard A. Snyder
yang mengatakan bahwa “gereja merupakan alat rencana Allah”, yang mencakup
bukan hanya pendamaian manusia dengan Allah, tetapi juga pendamaian “segala
sesuatu ... baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef 1:10).
[9] Lima Dokumen Keesaan Gereja, 1996 hal 16-20.
No comments:
Post a Comment