Tuesday 7 February 2012

PERANAN AJARAN DAN PELAYANAN DALAM KEESAAN GEREJA


 (Oleh Sugiman)

 Dalam doa-Nya Yesus tidak hanya memperlihatkan sebuh teladan, tetapi lebih jauh supaya para murid hidup bersekutu dengan semua orang. Seluruh hidup, ajaran dan karya-Nya difokuskan untuk melayani semua orang. Artinya, ajaran dan pelayanan harus memberikan efek dan dampak yang membawa persekutuan, damai sejahtera, hidup dalam keadilan dan kebenaran, terlebih supaya umat Tuhan dan gereja-Nya hidup dalam kesatuan di dalam kasih-Nya. Maka dalam paper ini berusa menjawab sebuah pertanyaan besar tersebut, yaitu “Peranan Ajaran dan Pelayanan Dalam Kesaan Gereja”.

Pembahasan
1.        Pentingnya memahami ajaran dan pelayanan Tuhan Yesus
a). Ajaran Tuhan Yesus
Dalam PL yang diterjemahkan dengan “ajaran” adalah dari kata leqakh[1] artinya, yang diterima. Dalam bahasa Inggris : “teaching (Ul 32:2); gift of persuasion (Ams 7:21); dan insight (Yes 29:24). Dalam PB ada dua kata yang diterjemahkan “ajaran” adalah “didaskalia” dan “didache”, yang artinya mencakup bagi pekerjaan pengajar, maupun isi dari ajaran itu sendiri. [2] Dalam pengajaran Tuhan Yesus, Dia selalu menggunakan “didache”, yang mana Yesus tidak hanya mengajar, tetapi juga melakukannya dengan setia. Penulis Yohanes mengatakan bahwa ajaran Yesus itu berasal dari Allah (Yoh 7:16-17).
b). Pelayanan Tuhan Yesus
Dalam PB ada empat istilah yang diterjemahkan: “pelayanan atau melayani” : “diakoneo”, “douleo”, “leitourgeo”, dan “latreuo”.[3] (a).Diakoneo” artinya menyediakan makanan di meja untuk majikan. (b). “Douleo” artinya pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba (budak) atau “doulos”. (c). “Leitourgeo” artinya bekerja untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum. Penulis surat Ibrani menyebut Yesus sebagai “leitourgos” (Ibr 8:2). Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menjadi “leitourgia” atau menjadi pelayan bagi semua orang (Flp 2). (d).Latreuo” artinya pemujaan kepada Allah atau religious service, dan worship (of God).[4] Penggunaan yang sangat mencolok adalah dalam Roma 12:1, yaitu di mana Paulus berpesan kepada jemaat di Roma supaya mempersembahkan tubuh kita sebagai yang “logiken latreian” (Yun) artinya persembahan yang pantas”. Dengan demikian kita melihat bahwa melayani berarti menyangkut sebuah “kualitas”.
Yesus dalam hidup, ajaran dan karya Yesus telah memperlihatkan sebuah kualitas pelayanan tertinggi yang dikerjakan untuk Bapa yang mengutus-Nya. Oleh sebab itu, melayani semua orang adalah fukus utama bagi Yesus. Penulis Injil Matius dan Markus sangat jelas mencatat dan mengemukakan moto hidup Yesus, yaitu “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28 dan Mrk 10:45). Demikian juga dengan penulis Injil Yohanes menuliskan mengenai doa Tuhan Yesus yang merindukan supaya semua orang hidup dalam kesatuan dan bersekutu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:22). Doa Tuhan Yesus tidak hanya berhenti ketika mereka bersatu, tetapi lebih jauh lagi, yaitu “di mana Dia berada di situ juga mereka ada bersama-sama dengan Dia, dan itulah eksistensi gereja yang ideal (17:24). Abineno menyebut eksistensi itu sebagai ciri-ciri dan norma-norma lain yang menentukan keberadaan gereja di dunia yang majemuk.[5] Misi Yesus jelas, yaitu untuk mepersatukan umat-Nya, bahkan Dia rela mati di kayu salib untuk semuanya itu. Sungguh sangat mahal harga sebuah tugas dan tanggung jawab untuk kesatuan. Gereja mula-mula di abad pertama memahami dengan sangat kompleks antara “ajaran” dan “melayani”. Mereka menyadari bahwa hidup yang melayani bukan adalah bukan lagi hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain juga, terlebih untuk Tuhan. Jadi jelas, bahwa pemahaman itu didasarkan pada hidup, pengajaran dan karya Yesus orang Nazaret itu. Dalam terang inilah Leonard Hale mengatakan, bahwa jika kita diringkaskan hidup, pengajaran dan karya Yesus hanya satu kata, yaitu MELAYANI. Gereja yang hidup adalah gereja yang melayani. John Stott menyebutkan bahwa paling sedikit ada empat ciri mengenai gereja yang hidup, yaitu “gereja yang belajar”, “gereja yang mengasihi”, “gereja yang beribadah”, dan “gereja yang memberitakan Injil”. Keempat ciri itu disebutnya sebagai pokok-pokok visi Allah untuk gereja-Nya.[6] Apa maksudnya keempat ciri gereja yang hidup itu:?
a). Gereja yang belajar adalah gereja yang bertekun kepada pengajaran para rasul (Kis 2:42), kebenaran merupakan pokok utama yang dikerjakan sesuai pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, oleh sebab itu gereja harus tunduk di bawah pimpinan dan pengamatan Tuhan.
b). Gereja yang mengasihi adalah gereja yang bersekutu, sehingga dalam persekutuan itu orang percaya saling berbagi bersama, “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (Kis 2:44-45). Kemurahan hati telah dan selalu menjadi ciri umat Allah.
c). Gereja yang beribadah adalah gereja yang melayani. Mereka bertekun untuk “memecahkan roti” dan berdoa bersama. Bahkan dikatakan, “mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah (Kis 2:46). Dan
d). Gereja yang memberitakan Injil adalah gereja yang tidak hanya duduk diam dalam rumah ibadah, berdoa dan mengasihi sesama saja, tetapi juga memberitakan Kabar Baik itu kepada semua orang atau bermisi untuk semua orang. Maka misi itu merupakan implikasi dari pendengaran, persekutuan dan ibadah dengan Tuhan.

Dari penjelasan di atas maka jelaslah, bahwa gereja tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi gereja juga untuk orang lain. Dengan demikian, melalui pemberitaan atau ajaran dan pelayanan gereja memperlihatkan kemuliaan Kristus, dan bukan untuk organisasi, suku, ras bahasa yang cenderung mementingkan dirinya, tetapi milik semua orang sebagai ciptaan Allah. Artinya, gereja bukanlah rencana ilahi tambahan, dan gereja juga bukan kecelakaan sejarah. Tetapi gereja adalah komunitas baru milik Allah. Gereja tidak kurang dari tubuh Kristus, karena gereja adalah umat Allah, yang telah dan sedang dibentuk Allah dan melalui pembentukan itu Allah bertindak sepanjang sejarah untuk mencapai rencana-Nya, yaitu semua umat manusia dipersatukan di dalam terang kasih-Nya. Jika gereja tidak mengikuti jejak-jejak Yesus, yaitu melayani semua orang, maka gereja itu adalah mati dan tidak ada artinya selain dipotong (bnd. cerita Yesus adalah Pokok Anggur yang benar Yoh 15).
2.        Pentingnya keesaan gereja
Rasul Paulus menggambarkan hakikat dari kesatuan gereja adalah sama seperti tubuh manusia yang terdiri atas banyak anggota, tetapi saling mendukung, menghargai, memahami dan menerima (1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Demikianlah hendaknya juga gereja-gereja sebagai anggota tubuh Kristus. Gereja adalah persekutuan orang percaya dan Kristus sendiri yang menjadi kepalanya. Penekanan kepada “persekutuan” mangandung nilai persekutuan anggota dari satu tubuh, baik pada tingkat lokal maupun universal. Frasa “tubuh Kristus” nampak dalam kesatuan yang serba berbeda, namun dalam manifestasinya bahwa kepelbagaian itu justru merupakan kekuatan dan kekayaan Allah. Dalam hal ini Eddy Paimoen mengatakan, bahwa “kesatuan dalam kepelbagaian dan dan kepelbagaian dalam kesatuan”, menunjukkan keberadaan yang satu tidak terpisahkan dari yang lain, meskipun saling berbeda.[7] Perbedaan posisi dan tugas dalam tubuh Kristus akan menyebabkan saling kebergantungan dari seluruh anggota tubuh. Maka, jika keberadaan dari tubuh Kristus yang berbeda, bila dapat berfungsi sesuai dengan keberadaannya akan menimbulkan interaksi timbal balik yang kondusif.
Abineno mengatakan, bahwa kesatuan gereja dan ajaran yang benar itu tidak bisa dilepaskan satu sama lain. hal itu menjadi jelas jika kita kaitkan dengan doa Tuhan Yesus yang menginginkan adanya kesatuan murid-murid yang menyatakan dirinya dalam ketaatan Anak kepada Bapa. Demikian juga dengan kesatuan gereja, yaitu seberapa jauh mereka melakukan apa yang Bapa dan Anak perintahkan kepada mereka (lih. Abineno, Oikumene, 1984: 17-18; bnd. Yoh 17:17-23). Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja menagaskan, bahwa keesaan berarti membaharui, membangun dan mempersatukan gereja.[8] Mengapa membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja itu penting?:
a). Karena perintah Tuhan Yesus, bahkan Dia mendoakan umat-Nya supaya bersatu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:21).
b). Untuk membentuk gereja Kristen yang Esa, terutama gereja-gereja yang ada di Indonesia, dan itu merupakan bagian dari tugas dan panggilan gereja yang harus dijalankan untuk melihat seluruh Indonesia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama.
c). Untuk membangun suatu persekutuan harmonis yang diperbaharui. Iman tercermin dalam kasih dan solidaritas kemanusiaan, menuju kesatuan dan persatuan.
d). Untuk membangun sebuah persekutuan yang saling topang-menopang; untuk meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan dinding penyekat buatan manusia yang didasarkan atas perbedaan kelamin, kelas, sosial-ekonomi, ras suku, bahasa dan asal; membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan lingkungan masing-masing dan bersama-sama memasuki konteks yang baru sehingga gereja juga bisa bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman.
e). Untuk menghindarkan gereja dari bahaya keterpencilan dan bahaya ikut-ikutan bagi gereja-gereja di tengah-tengah arus pembangunan negara dan bangsa yang selalu berubah-ubah. Oleh sebab itu, membaharui, membangun dan mempersatukan dirinya di bawah bimbingan Roh Kudus.

3.        Arti membarui, membangun, dan mempersatukan gereja[9]
Membarui, membangun dan mempersatukan gereja, berarti: pertama-tama, menguji keadaan gereja, termasuk bentuk-bentuk pengungkapan ibadahnya, dan seluruh warganya di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana keadaan gereja itu sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan bagi gereja seperti yang diungkapkan dalam Firman Allah; dan sekaligus menilai sampai di mana keadaan gereja itu sepadan atau tidak dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Selanjutnya, yaitu mengupayakan secara realistis dengan pimpinan kuasa Roh Kudus tentang pembaharuan-pembaharuan dan pertumbuhan agar keadaan gereja menjadi lebih sesuai dengan kehendak Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Firman Tuhan dan menjadi lebih sepadan dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun. Untuk lebih spesifik lagi dalam memahaminya, mari kita menguraikannya secara lebih mendalam:
(a). Membarui gereja adalah tugas panggilan orang-orang percaya yang terus-menerus. Karena bagaimana pun, sebagai tubuh yang hidup dari Kristus, gereja harus berusaha menempatkan diri di bawah sorotan Firman Tuhan, atau sama dengan seseorag yang selalu bersedia mengadakan pertobatan di bawah terang Firman Tuhan. Selanjutnya kita tahu, bahwa gereja juga terlibat dalam perkembangan sejarah, baik sejarah gereja itu sendiri maupun sejarah bangsa Indonesia, bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, gereja juga harus ikut membentuk sejarah itu, supaya tidak ditinggalkan oleh perkembangan sejarah. Hal lain lagi adalah bahwa gereja juga memuat pengertian pembaruan dalam pemikiran teologi, gaya hidup dan pola kelembagaan gereja secara kreatif dan terus-menerus, berada di bahawah bimbingan Roh Kudus.

(b). Membangun gereja pada dasarnya adalah memenuhi apa yang  tertulis dalam Efesus 4:13-16, yaitu “pembangunan tubuh Kristus, yang di mana kita melewati sebuah proses untuk mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita tidak lagi mudah diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran yang berkeliaran di sekeliling kita; oleh permainan palsu manusia yang berusaha menyesatkan karena kelicikan mereka, tetapi dengan teguh kita berpegang pada kebenaran di dalam kasih Kristus yang adalah kepala. (lih.1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Artinya, daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan, yang melayani sesuai karunia-karunia yang dimiliki dan membangun diri dalam kasih Kristus. Membangun gereja sebagai “pertumbuhan Tubuh Kristus” tidak terbatas oleh budaya, tetapi nilai-nilai positif budaya, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman modern juga untuk memperkuat dan tidak melemahkan gereja sebagai “Tubuh Kristus”. Dalam hal ini, kita harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pertumbuhan gereja sebagai tahap untuk membangun gereja (Ef 4:15-16). Roh Kudus dapat memakai manusia sebagai alat-Nya melalui gereja yang terpanggil, yang menggunakan segala karunianya untuk terus bertumbuh dan membangun dirinya. Lima Dokumen Keesaan Gereja menuliskan lebih lanjut, bahwa pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensif dalam arti peningkatan kualitas iman sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran palsu, permainan licik manusia yang berusaha menyesatkan (Ef 4:14). Dan ekstensif berarti pertumbuhan orang-orang percaya dan pertumbuhan gerek gereja dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia (Kis 1:8). Ini berarti bahwa dalam rangka pembangunan dan pertumbuhan gereja, pembinaan seluruh warga gereja menjadi mutlak penting, sehingga tidak seorang pun yang terlupakan.

(c). Mempersatukan gereja berarti memenuhi doa Tuhan Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakan keesaan yang telah ada dalam rencana Tuhan, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai kesaksian. Dengan demikian, gereja-gereja yang ada di Indonesia harus mewujudkan keesaan. Misalnya bisa dimulai di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah-daerah tertentu, kemudian mewujud-nyatakan keesaan itu, sehingga memperlihatkan sesuatu yang sangat berbeda dengan keesaan yang ditawarkan oleh dunia. dengan kata lain, bahwa keesaan gereja tidak sama dengan keesaan dunia. keesaan gereja adalah keesaan yang sama seprti keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Artinya, ada sebuah persekutuan, pelayanan dan kasih yang harmonis. Dengan demikian, gereja bisa memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama, dan menempatkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan di dalam kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Artinya, di dalam kerangka itu ada jaminan di mana keanekaragaman bisa bersatu di dalam kasih-Nya. Tugas dan panggilan gereja untuk mempersatukan gereja-gereja di Indonesia biasanya menggunakan pendekatan yang lahir dari pergumulan situasi kita di Indonesia, seperti: (1). Identitas masing-masing tetap di hormati, tetapi yang lebih pentingdan utama adalah dilihat sebagai identidas bersama sebagai gereja Kristen yang tinggal dan bersekutu di dalam Kristus; (2). Setiap gereja pasti memiliki sejarahnya masing-masing, oleh sebab itu setiap gereja harus menghormatinya. Tetapi yang lebih utama adalah kits mrlihatnya sebagai sejarah bersama; (3). Selanjutnya, tugas panggilan masing-masing gereja, juga tetap harus saling menghormati antara gereja yang satu dengan yang lainnya. Tetapi yang lebih penting dan utama adalah bagaimana kita melihat semuanya itu sebagai tugas panggilan bersama (4). Demikian juga dengan kewenangan untuk mengatur hidup masing-masing tetap dihormati, tetapi dilihat sebagai kewenangan bersama untuk mengatur kehidupan bersama; (5). Terakhir adalah tentang pengembangan teologi, daya dan dana dalam rangka tugas panggilan masing-masing tetap dihormati, tetapi semuanya itu juga harus dilihat sebagai tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia. Dari kelima hal di atas secara konkret dan terungkap dalam kebersamaan di tingkat lokal dan wilayah. Dalam terang inilah, Lima Dokumen Keesaan Gereja menyatakan, bahwa pentingnya peranan wilayah PGI-Setempat dalam proses mempersatukan gereja-gereja yang ada di Indonesia. Tentu tidak terlepas dari landasan kesatuan bangsa dan negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang mencamin kesatuan, kedamaian, kesejahteraan dan hidup berdampingan dengan orang lain.



[1] Analisis kata leqakh: noun common masculine singular construct suffix 1st person common singular (Ul 32:2, Ayb 11:4; Yes 29:24). Bentuk konstruk memberikan penegasan, bahwa kata leqakh adalah kata yang sangat penting, yang tidak boleh terlewatkan atau diabaikan, dalam PL muncul kata “leqakh” sebanyak 216 kali (lih. Bible Works 7).Oleh sebab itu, dalam tradisi bangsa Israel orang tua memainkan peranan yang sangat penting untuk memberikan pengajaran kepada anak-anaknya.
[2] Istilah “didaskalia itu digunakan untuk ajaran orang Farisi (Mat 15:9; Mrk 7:7). Kecuali satu ayat pada surat Kolose dan satu ayat pada Efesus, kata ini khususnya terdapat dalam Surat-surat Pengembalaan. Kemungkinan yang terdapat dalam surat Kolose, Efesus dan dalam Surat-surat Pengembalaan mengacu kepada kumpulan yang dipakai sebagai patokan aliran ortodoks. Sedangkan “didache” adalah kata yang sering digunakan oleh penulis PB (lih. Esniklopedi Alkitab Masa Kini (Jilid 1 A-L) (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2004), 22.
[3] Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2.
[4] Dalam PB kata “latreia” muncul sebanyak lima kali: pertama, dalam bentuk accusative feminine singular yaitu “latreian” (Yoh 16:2; Rm 12:1); dalam bentuk nominatif feminine singular, yaitu “latreia” (Rm 9:4), dan dalam bentuk genitive feminine singular, yaitu “latreias(Ibr 9:1, 6). Dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan dengan “religious service, dan worship (of God)”.
[5] Abineno, Oikumene dan Gerakan Oikumene (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 16.
[6] John Stott, The Living Church. Terj. S. Widiatmoko (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 1-13.
[7] Eddy Paimoen, diskusi dalam kuliah teologi 3 mengenai hakikat gereja sebagai tubuh Kristus.
[8] Lima Dokumen Keesaan Gereja – Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia hasil keputusan sidang raja XII PGI Jayapura, 12-30 Oktober 1994 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) hal 14-20; bnd. Howard A. Snyder yang mengatakan bahwa “gereja merupakan alat rencana Allah”, yang mencakup bukan hanya pendamaian manusia dengan Allah, tetapi juga pendamaian “segala sesuatu ... baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef 1:10).
[9] Lima Dokumen Keesaan Gereja, 1996 hal 16-20.

No comments:

Post a Comment