Monday 6 February 2012

KONSEP MESIAS DALAM QUMRAN


Oleh: Sugiman


Ketika berbicara tentang konsep Mesias, maka kita terkadang langsung menganggap bahwa itu pastilah Yesus Kristus, dan tidak sedikit juga orang Kristen yang memiliki pikiran demikian (para pendeta dan jemaatnya). Memang pemahaman yang demikian tidaklah salah jika dipahami dari sudut pandang para penulis PB. Tetapi pemahaman itu akan menjadi sangat keliru atau tidak benar jika dilihat dari sudut pandang PL dan Qumran. Karena itu, konsep Mesias dalam Qmuran adalah salah satu topik yang sangat mengelitik dan menarik. Maka, dalam tulisan ini saya akan menyoroti konsep Mesias seperti apa yang diharapkan oleh paguyuban atau komunitas Qumran pada masa itu. Selain menambah wawasan kita, tulisan ini juga diharapkan menjadi berkat bagi gereja-gereja Tuhan, khusunya yang ada di Indonesia.

Pembahasan
a.      Latar belakang historis paguyuban Qumran
Dalam penemuan-penemuan pertama di daerah Laut Mati tahun 1947 telah diidentifikasi bahwa paguyuban Qumran pernah terdiri dari orang-orang Eseni. Drane berpendapat, bahwa kelompok Eseni ini adalah mungkin sekali berasal dari para pendukung pejuang Makabe.[1] Taylor mengatakan bahwa dalam Dokumen Qumran diperlihatkan, yaitu Yosefus menggambarkan bahwa orang-orang Eseni adalah suatu kelompok yang berdiri sendiri di dalam Yudaisme. Dalam 1QS 8:1-16a dan 9:3-10:8a (Community Rule) yang ditemukan di Qumran dikatakan bahwa kelompok Eseni memisahkan diri dari masyarakat yang suka menentang dan dan pergi ke padang gurun untuk menemukan kembali praktek atau kembali kepada peraturan-peraturan pertama, yakni Hukum yang dituturkan di Gunung Sinai di padang gurun.[2]
Boleh dikatakan kelompok ini sangat tertutup, khususnya terhadap mereka yang bukan anggota komunitas (9:12f), dan juga dari orang-orang yang suka menentang. Mereka mengganggap bahwa hanya merekalah yang memiliki Perjanjian Sinai yang sejati (5:8,20; 6:15), serta meyakini bahwa keselamatan hanya akan dialami oleh mereka yang memiliki Perjanjian sejati itu (the men of the New Covenant or the Covenant who remained faithful while Israel went astray). Dalam ibadat liturgi yang dibentuk dan ditetapkan sesuai dengan Hukum Musa yang diterimanya di Gunung Sinai.[3] Tetapi ada juga beberapa ahli yang dalam penelitiannya berpendapat bahwa paguyuban Qumran ada hubungannya dengan kelompok Saduki, Farisi atau orang-orang Zelot[4]. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa inti dari paguyuban Qumran itu berdiri berasal dari sekelompok orang-orang Yudea yang konservatif, yang kira-kira berasal dari sesudah tahun 165 SM, yaitu setelah kembali dari Babilonia ke Palestina.[5] Penemuan-penemuan arkeologis dan kesusastraan yang ada menyimpulkan, bahwa paguyuban Qumran pernah tinggal dan berdiri di sana diperkirakan sekitar tahun 150/ 140 SM sampai tahun 64 M.[6]
Dalam tulisan-tulisan Qmuran disebutkan mengenai “Guru Kebenaran”, yang paguyuban Qumran yakini sebagai Guru Kebenaran yang dibangkitkan Allah untuk menuntun atau membimbing mereka dalam kebenaran-Nya. Pendapat itu didukung oleh naskah dalam 2 Qp Ps. 37:III:15, 16 (naskah yang ditemukan pada gua 4 di Qumran), yaitu di mana Allah memberikan suatu perintah kepada Guru Kebenaran itu untuk mendirikan jemaat yang disebut paguyuban Qumran.[7] Karena itu, tidak usah diragukan mengenai pengaruhnya terhadap paguyuban atau komunitas Qumran. Hal itu jelas diungkapkan dalam CD I, 11; QpHab XI, 4-8 dan 1 QH V, 23-25. Dalam CD I, 6 dikisahkan bahwa paguyuban itu terbentuk pada “zaman murka”, yaitu sekitar tahun ke-390 setelah Yerusalem jatuh sekitar tahun 586 SM atau awal abad ke-2 SM (bnd. Yeh 4:5). Pendapat ini didukung oleh data-data arkeologi yang memperlihatkan, bahwa Qumran dan daerah sekitarnya telah ditanami dan ditempati lagi sekitar tahun 140 SM.[8] Kemungkinan “zaman murka” yang dimaksud adalah masa penganiayaan orang Yahudi oleh raja Antiokhus IV, yang terjadi sekitar tahun 167-164 SM. Karena itu, munculnya sebutan Guru Kebenaran itu diperkirakan sekitar tahun 145 SM.[9] Banyak usaha yang telah dilakukan untuk menemukan identitas siapa yang dimaksudkan dengan Guru Kebenaran itu, dan apakah Guru Kebenaran yang menjadi pendiri dari paguyuban itu. Misalnya Onias III dengan imam besar yang kira-kira pada tahun 159 SM mengantikan Alkimus dan dengan Yesus. Namun tetap saja tidak ada kepastian, karena tidak ada bukti yang kuat yang memperlihatkan secara eksplisit siapa yang pendirinya.[10]
Di sisi yang lain ada yang berusaha meneliti dengan melihat identitas musuh Guru Kebenaran yang pernah tinggal di Yerusalem. Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa paguyuban Qumran juga pasti mengenal musuh dari Guru Kebenaran, yaitu “imam yang fasik” (1Qp hab. 8:8). Ini mengindikasikan, bahwa “Guru Kebenaran” itu adalah seorang imam yang benar (lawan dari imam yang jahat). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Jerom Murphy-O’Connor yang mengatakan, bahwa “Guru Kebenaran” itu adalah seseorang yang sebenarnya berhak sebagai imam besar, tetapi ia diberhentikan (disingkirkan). Mungkin karena ada alasan politik, yaitu persaingan untuk menduduki jabatan keimaman. Perhatikan sebutan “imam yang fasik” yang ditujukan kepada imam-imam di Yerusalem, yang tidak memegang ketentuan-ketentuan dalam kultus (peraturan-peraturan tata tertib dari paguyuban tersebut), yang terpenting adalah 1QS (Serek = peraturan) dan CD (Covenant of Damaskus = perjanjian yang ada dalam naskah Damaskus). Karena itu, bukan tidak mungkin karena alasan politik, sehingga paguyuban Qumran yang taat dan memegang ketentuan dalam kultus ini memisahkan diri dari komunitas yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan tersebut. Mereka menganggap bahwa diri merekalah yang masih termasuk sebagai Israel yang sejati (murni). Pertentangan itu tidak hanya dengan para imam yang ada di Bait Suci, tetapi juga dengan kelompok Farisi dan Saduki, yang disebut sebagai Efraim atau Niniwe dan Manase atau No-Amon. Sedangkan paguyuban itu menyebut diri mereka sebagai Yehuda atau Yerusalem (bnd. CD VI, 5).[11] Pertanyaan yang sulit dijawab adalah kelompok yang mana yang memisahkan diri (menganggap diri mereka sebagai Israel sejati). Secara umum para ahli berpendapat bahwa itu adalah kelompok Eseni.
Golongan Eseni yang tinggal di paguyuban Qumran itu diperkirakan terbagi dalam tiga periode, yaitu: (1). Ia: diperkirakan sekitar tahun 130-103 SM (2). Ib: sekitar tahun 103-40/31 SM, dan (3). II sekitar tahun 4 SM-68 M.[12] Ini memperlihatkan bahwa kelompok itu sudah cukup lama tinggal di sana. Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa tahun 140 SM tempat itu telah ditanami dan dihuni atau ditempati lagi, dan sekitar tahun 100 SM kelihatannya pemukiman itu telah menjadi besar. Tetapi paguyuban Qumran ini diserang oleh tentara Romawi, sehingga terjadi peperangan yang sangat dahsyat di antara keduanya. Penyerangan Romawi terhadap paguyuban Qumran ini tampaknya berkaitan erat dengan cita-cita Alaxander Agung (333/334-323 SM.) yang ingin merebut seluruh dunia dan mempersatukan umat manusia dengan memaksakan kebudayaan, bahasa, dan agama Yunani dengan suatu keterbukaan terbatas bagi unsur kebudayaan dan agama masing-masing bangsa. Begitulah diharapkan persatuan umat manusia dan mengindahkan sumbangan dari masing-masing bangsa. Setelah Alekander Agung meninggal dunia, maka cita-citanya diambil alih oleh para jendralnya (sebagai generasi penerus).[13] Oleh sebab itu, paguyuban Qumran dikalahkan oleh tentara Romawi dan dihancurkan (berakhir) sekitar tahun 68 M.[14]

b.      Beberapa ajaran yang dipegang oleh paguyuban Qumran[15]
Pertama, orang-orang Eseni ini menganggap bahwa kelompok merekalah yang layak disebut sebagai Israel sejati (Yehuda atau Yerusalem) yang masih mewarisi Hukum Musa yang diterima di Gunung Sinai dan memiliki Perjanjian Sinai yang sejati. Karena itu, keselamatan hanya akan diberikan kepada mereka saja dan bukan kepada yang lain (lih.IQS 4:22; 5:5-6; IQH 2:28; CD 6:19:33-44). Kedua, bagi mereka bahwa Allah telah mentakdirkan sejarah penciptaan dan nasih semua orang (lih.IQS 3:15:4:26 dan LQH 4:38). Dengan kata lain mereka mempercayai akan takdir. Ketiga, mereka mempercayai bahwa tidak ada illah lain yang bisa menciptakan dunia dan segala isinya dengan kebijaksanaan-Nya kecuali Allah (kepercayaan monoteisme). Dengan kata lain kepercayaan mereka adalah monotheistis (lih.LQS III, 15-21). Keempat adalah mereka mempercayai bahwa di dalam dunia ini ada dua roh yang berkeliaran, yaitu roh kebenaran yang disebut Mikhael (IQM 13:10-14) dan roh kejahatan yang disebut Belial (IQS I:17). Namun pada akhir zaman Allah akan menghancurkan roh kejahatan dan umat-Nya akan diselamatkan-Nya dari maut (IQS 3:18; 4:18; IQH 3:19-36). Kelima adalah mereka meyakini akan adanya harapan eskatologis, yaitu di mana pada akhir zaman akan terjadi peperangan antara anak-anak terang dan anak-anak gelap. Tetapi anak-anak terang akan diselamatkan oleh Mesias yang mereka harapkan. Keenam adalah bebarapa dari mereka juga tidak memilih untuk menikah atau memilih hidup selibat untuk mencapai kesempurnaan.

c.       Konsep Mesias yang dipahami oleh paguyuban Qumran
Kata Mesias berasal dari bahasa Ibrani, masiah yang berarti yang diurapi. Dalam tradisi ibadah Israel kuno, konsep mesias ini ditujukan kepada raja dan imam besar. Dalam naskah Laut Mati beberapa kali ditujukan kepada nabi Israel (CD 2:12; 6:1; 1QM 11:7). Berikut adalah teks-teks Qumran yang berbicara mengenai Mesias: 1QS IX:10-11; 1Qsa II:11ff; CDC XII:22-23; XIV:18-19; XIX:10-11; XX:1; juga CDC VII:18-20; 1QSb V:20-29; 1QM V:1; CD 12:23-13:1; juga fragment-fragment dari 4Q. Dalam keagamaan Yahudi sering disebut bahwa The Shoot of David do Thou cause to shoot forth speedily.[16] Secara umum para ahli berpendapat bahwa dari teks-teks kitab suci mereka yang ditemukan di daerah Laut Mati memperlihatkan, bahwa paguyuban Qumran mengharapkan kedatangan dua orang Mesias, yaitu Mesias Imamat dari keturunan Harun dan Mesias Israel dari garis keturunan Daud (9:11; 1QSa 2:11-22).[17] Pengharapan akan datangnya dua Mesias tertuju kepada zaman keselamatan di masa yang akan datang, yaitu di mana Allah akan mencapai tujuan akhir bagi umat-Nya dan dunia melalui tokoh-tokoh tertentu yang diurapi atau Mesias (CD XIX, 33-XX). Paguyuban Qumran percaya, bahwa dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun Allah pasti menolong dan menyelamatkan umat-Nya, dan Dia pasti akan membawa mereka kepada tujuan akhir-Nya. Dalam terang inilah baik N.T. Wright, James C. VanderKam, John J. Collins, Hartmut Stegemann, Tuinsta dan Hendriks, dan H.Jagersma mengatakan, bahwa kedatangan Mesias yang diharapkan oleh paguyuban Qumran adalah berkaitan erat dengan karya penyelamatan Allah di dalam eskatologi.[18]

Berikut adalah konsep mesias yang dipahami oleh paguyuban Qumran:
1.                  Mesias dari garis keturunan Daud. Mesias yang diharapkan akan datang dari garis keturunan raja Daud adalah seorang yang ideal, yang menjadi pembebas dan akan menyelamatkan serta akan menjadi pemimpin nasional atau politik (lih. 11QPsa 27:11). Paguyuban Qumran yakin, bahwa dialah yang akan memimpin umat Israel sejati dalam medan peperangan untuk melawan musuh-musuhnya.[19] Selanjutnya, Mesias yang diharapkan dari keturunan Daud tidak hanya akan mengalahkan musuh-musuhnya, melainkan juga akan menegakkan keadilan dengan hikmatnya di tengah-tengah kehidupan umat-Nya.[20] Kemudian, dialah juga yang akan membersihkan kota Yerusalem dari orang-orang yang kafir (Maz. 17:32-38), dan memperluas kerajaannya sampai ke ujung bumi.[21] Penjelasan di atas memperlihatkan, bahwa gambaran tokoh Mesias yang diharapkan oleh paguyuban Qumran yang pertama, adalah berasal dari garis keturunan raja Daud, yaitu yang diyakini sebagai tokoh nasional, yaitu pembebas secara politik.
2.                  Mesias yang diharapkan dari keturunan imam Harun. Selain tokoh Mesias dari keturunan Daud, paguyuban Qumran juga mengharapkan tokoh Mesias dari keturunan imam Harun, yang harapkan akan menjadi imam besar, imam tinggi yang sah, yang akan memimpin peribadatan yang benar di dalam Bait Suci di Yerusalem.[22] Imam dari keturunan Harun itulah juga yang akan membimbing mereka kejalan yang benar. Mereka yang tulus mencintai Tuhan dengan segenap hatinya akan bersukacita, tetapi mereka yang melakukan dosa dan ketidakadilan akan lenyap dari muka bumi. Kebenaran yang dijunjung tinggi ini berkaitan erat dengan makna atau esensi perjanjian dan pemilihan Tuhan atas umat-Nya Israel. Karena itu, mereka sangat yakin, bahwa melalui keturunan Harun inilah Allah akan memulihkan dunia dan umat-Nya. Demikianlah konsep Mesias yang kedua, yang diharapkan oleh paguyuban Qumran.

Beberapa kesimpulan
1.            Paguyuban Qumran adalah terdiri dari orang-orang Eseni. Namun ini tidak berarti menggambarkan orang-orang Eseni yang tinggal di dalam paguyuban (komunitas) Qumran secara keseluruhan.
2.            Yang disebut sebagai Guru Kebenaran adalah gambaran seorang imam besar yang dibangkitkan oleh Allah untuk membimbing mereka ke jalan yang benar. Musuh Guru Kebenaran adalah imam yang fasik yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tertentu dalam kultus di Yerusalem.
3.            Konsep Mesias yang dipahami paguyuban Qumran berbeda dengan konsep mesias yang dipahami umat Kristen. Paguyuban Qumran mengharapkan ada dua Mesias, yaitu Mesias dari garis keturunan raja Daud yang akan memimpin mereka secara politik, dan Mesias dari garis keturunan Harun akan memimpin mereka secara agama di Bait Suci Yerusalem.
4.            Hidup yang taat terhadap perjanjian Tuhan dan mencintai Tuhan dengan segenap hati pasti bersukacita dan diselamatkan oleh Tuhan. Tetapi jika sebaliknya, maka mereka pasti akan dilenyapkan dari muka bumi.

Relevansi
Apa yang telah dipaparkan di atas tentu tidak semuanya kita setujui (tidak relevan lagi) untuk masa kini (abad ke-21). Tetapi ada nilai-nilai luhur yang masih relevan bagi kita sebagai orang Kristen dewasa ini, yaitu ingin tetap mencari kebenaran yang sejati. Di tengah-tengah situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang sangat bobrok saat ini, yaitu di mana korupsi merajalela, ketidakadilan, kekerasan, penindasan terjadi di mana-mana. Semuanya itu memperlihatkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan mesias-mesias moderen, yaitu orang-orang yang berintegritas, yang masih memiliki hati nurani, mencari kebenaran yang sejati di tengah-tengah kebobrokan moral, sosial politik, ekonomi dan keagamaan bangsa Indonesia.
Sebagai orang Kristen, kita harus menterjemahkan nilai-nilai Kerajaan Allah, yang memberikan kehidupan, kedamaian, keadilan, ketentraman bagi semua orang dan tidak berkompromi dengan kejahatan.[23] Karena bagaimanapun, sebagai warga negara Indonesia, umat Kristen bertanggung jawab penuh atas maju mundurnya negara Indonesia.[24] Perjuangan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan spiritual dan material. Misalnya dalam bidang sosial-politik, kita tetap menyuarakan penderitaan rakyat dan menegakkan keadilan dalam situasi apapun; dalam bidang ekonomi, kita harus berjuang melakukan pemerataan pendapatan rakyat, mempersempit kesenjangan, memberantas KKN, meningkatkan ekonomi masyarakat kecil, dan memberi kesempatan kerja sesuai dengan kemampuan mereka; dalam bidang pendidikan, kita harus memberikan pendidikan yang berkualitas, yang terjadi secara merata baik di kota-kota maupun di desa-desa terpencil (di seluruh Indonesia); dalam sektor pembangunan masyarakat, yaitu mengembangkan keterampilan masyarakat yang berlandaskan Pancasila agar mampu mencukupi kebutuhannya serta memberikan kesempatan yang sama dalam menikmati kekayan bumi, dan demi kesejahteraan bersama seluruh rakyat yang terhimpun di dalam rumah tangga negara Indonesia.[25] Dengan demikian banyak orang akan melihat karakter seorang mesias ada di setiap individu yang dilahirkan dari Allah.


KEPUSTAKAAN

Baker, David L. dan John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Buttrick, George Artur dkk. The Interpreter’s Dictionary Of The Bible: An Illustrated Encyclopedia, Vol. 4 (K-Q). New York, Nashville: Abingdon Press, 1962.

Collins, John J. Apocalypticism In The Dead Sea Scrolls. London: Routledge, 1997.

Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Evans Craig A. dan Peter W. Flint, Eschatology, Messianism, and the Dead Sea Scrolls. Grand Rapids, Michigan/ Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997.

Hauer, Christian E. dan William A. Young. An Introduction To The Bible: A Journey into Three Worlds. Englewood Cliffs: New Jersey, 1990.

Jagersma, H. Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel Dari + 330 SM – 135 M. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Suharyo, I. Mengenal Alam Hidup Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius-LBI, 2003.

Supardan, “Berikanlah Kepada Kaisar Apa Yang Menjadi Milik Kaisar, Kepada Allah Apa Yang Menjadi Milik Allah” dalam Berteologi Memang Asyik: Kumpulan Refleksi Teologis. Jakarta: LAI, 2009.

Suwondo, Kutut “Perkembangan Civil Society Dalam Masyarakat Indonesia” dalam Jurnal Penuntun Vol. 5 No. 17. 2000.

Taylor, Justin. Asal-Usul Agama Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Tuinstra, E.W. dan I.W.J. Hendriks, Kisah Dan Makna: Naskah-Naskah Dari Laut Mati. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.

VanderKam, James C. The Dead Sea Scrolls Today. Grand Rapids, Michigan/ Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 1994.

Vermes, Geza. The Dead Sea Scolls in English 4th ed. London: Penguin, 1995.

Wahono, S. Wismoady. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Widayat, E. “Hubungan Agama dan Negara: Pandangan dari sudut Agama” dalam Alex Lanur, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka: Problema dan Tantangannya. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Wright, N.T. The New Testament and The People of God. Minneapolis: Fortress Press, 1992.

Yewangoe, A. A. “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudkan Masyarakat Damai-Sejahtera” dalam Berita Oikoumene edisi Januari. Jakarta: PGI, 2009.


[1] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 44.
[2] Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 45.
[3] Christian E. Hauer dan William A. Young, An Introduction To The Bible: A Journey into Three Worlds (Englewood Cliffs: New Jersey, 1990), 214-215; bnd. Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen, 46.
[4] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel Dari + 330 SM – 135 M (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 93.
[5] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 103.
[6] Lih. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 103.
[7] E.W. Tuinstra dan I.W.J. Hendriks, Kisah Dan Makna: Naskah-Naskah Dari Laut Mati (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 52.
[8] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 105.
[9] David L. Baker dan John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 192.
[10] Lih. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 104-105.
[11] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 107-108.
[12] David L. Baker dan John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab, 186-187.
[13] I Suharyo, Mengenal Alam Hidup Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius-LBI, 2003), 64
[14] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 105-106.
[15] David L. Baker dan John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab, 93; bnd. S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 335-336.
[16] George Artur Buttrick dkk dalam The Interpreter’s Dictionary Of The Bible, 364-465.
[17] Geza Vermes, The Dead Sea Scrolls in English 4th ed. (London: Penguin, 1995), 85; bnd. Paul E. Hughes dalam Craig A. Evans dan Peter W. Flint, Eschatology, Messianism, and the Dead Sea Scrolls (Grand Rapids, Michigan/ Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 12; E. Jenni, dalam George Artur Buttrick dkk. The Interpreter’s Dictionary Of The Bible: An Illustrated Encyclopedia, Vol. 4 (K-Q) (New York, Nashville: Abingdon Press, 1962), 364-365; Wahono, Di Sini Kutemukan, 366; H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 74.
[18] N.T. Wright, The New Testament and The People of God (Minneapolis: Fortress Press, 1992), 208; James C. VanderKam, The Dead Sea Scrolls Today (Grand Rapids, Michigan/ Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 117-118; John J. Collins, Apocalypticism In The Dead Sea Scrolls (London: Routledge, 1997), 72; Hartmut Stegemann, The Library of Qumran: On the Essenes, Qumran, John the Baptist, and Jesus (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1998), 207-208; .W. Tuinstra dan I.W.J. Hendriks, Naskah-Naskah Dari Laut Mati, 75-78; H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 129.
[19] N.T. Wright, The New Testament and The People of God, 208
[20] James C. VanderKam, The Dead Sea Scrolls Today, 117.
[21] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, 130.
[22] Hartmut Stegemann, 207-208.
[23] Supardan, “Berikanlah Kepada Kaisar Apa Yang Menjadi Milik Kaisar, Kepada Allah Apa Yang Menjadi Milik Allah” dalam Kumpulan Refleksi Teologis, 67.
[24] Bnd. Kutut Suwondo, dalam Jurnal Penuntun Perkembangan Civil Society Dalam Masyarakat Indonesia, Vol. 5 No. 17,  42; bnd. A. A. Yewangoe, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudkan Masyarakat Damai-Sejahtera” dalam Berita Oikoumene edisi Januari (Jakarta: PGI, 2009), 4-7.
[25] E. Widayat, “Hubungan Agama dan Negara: Pandangan dari sudut Agama” dalam Alex Lanur, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka: Problema dan Tantangannya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 17-18.

No comments:

Post a Comment