Oleh: Sugiman
Di mana Tuhan ketika
berbagai tragedi menimpa manusia? Apakah Tuhan tidak berdaya untuk mencegah
berbagai tragedi supaya tidak menghilangkan nyawa sebagian orang? Apakah Tuhan
itu benar-benar ada, atau sebutan Tuhan
hanya sebagai obat bius yang dapat mengurangi dan menghilangkan rasa sakit
sementara? Apakah Tuhan tidak peduli atas hidup manusia, sehingga Dia rela
membiarkannya mengalami semua tragedi yang tidak diinginkannya? Misalnya,
seorang anak laki-laki usia 12 tahun sedang menggendong adik perempuannya yang
masih berusia 5 tewas dengan sangat tragis setelah terlindas mobil truk berisi
pasir ketika menyeberang jalan. Selanjutnya, seorang nelayan yang tenggelam dan
hilang setelah kepalanya dihantam gelombang besar pada malam hari. Selanjutnya,
seorang ibu meninggal saat proses melahirkan anak pertamanya di rumah sakit.
Tragedi yang lain adalah, pada tahun 2007 gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh, Nias, kepulauan Mentawai dan sekitarnya. Saat itu semua mata manusia yang melihat secara langsung, maupun tidak langsung menjadi saksi atas kematian banyak orang di sana. Selanjutnya, pada bulan September tahun 2009 gempa bumi juga beberapa kali menggoncang beberapa kawasan di Jawa dan Sumatera. Tasikmalaya pada tanggal 2 September 2009 dengan kekuatan 7,3 Skala Richter. Kemudian Padang Pariaman pada tanggal 30 September 2009 dengan berkekuatan 7,9 Skala Richter. Selanjutnya banjir bandang di Wasior - Papua Barat tahun 2010. Selanjutnya, pada tanggal 26 Oktober 2010 kepulauan Mentawai kembali digoncang gempa bumi dan sapu Tsunami yang menewaskan banyak korban jiwa. Masih banyak lagi tragedi yang telah, sedang dan akan terjadi diberbagai belahan dunia lainnya. Dunia seakan menangis dan meratapi korban jiwa yang terdiri dari orang jahat dan orang baik, dan mereka mengalami tragedi yang sama.
Dari manakah semuanya itu? Siapakah sebenarnya yang pantas menerima semua tragedi itu? Tuhan yang Mahakasih, Mahakuasa, Mahatahu dan Mahaadil seolah-oleh bingung, dan bisu untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Karena itu, tidak heran jika semua pertanyaan di atas pernah dilontarkan oleh mereka yang pernah mengalami, yang sedang mengalami ataupun mereka yang akan mengalami dari sebagian tragedi yang disebutkan di atas.
Usaha seseorang untuk menghibur para korban supaya menerima realita yang ada dengan ikhlas, hati yang rela, dan dengan lapang dada adalah tidak semudah seperti kawanan perampok melemparkan ikan goreng atau ayam bakar terhadap anjing penjaga rumah mewah. Melainkan seperti mencari sebuah cincin berlian yang terjatuh di dalam air rawa berlumpur dan dipenuhi dengan tumbuhan kangkung liar di atasnya. Realitas kehidupan dan kematian adalah bersifat netral dan wajar. Dengan reaksi kita, kita dapat memberi makna positif atau negatif atas sebuah tragedi atau penderitaan yang kita alami. Sakit, kecelakaan, bencana, dan tragedi kemanusiaan lainnya dapat membunuh orang, tetapi tidak harus membunuh kehidupan, harapan dan kepercayaan.
Akan tetapi harus kita sadari, bahwa kematian orang-orang yang kita kasihi, yang membuat hati kita pedih, iri hati, menggugat agama, menyalahkan Tuhan, dan membuat hidup kita tidak bahagia atau berarti, karena kita menjadikannya sebagai fokus satu-satunya. Menjadikan mereka sebagai fokus satu-satunya sebenarnya adalah sebuah usaha bahwa kita menolak kehidupan. Kita memang tidak dapat menahan supaya mereka tetap hidup. Tetapi tidak berarti kita menolak kehidupan. Padahal masih banyak hal penting atau sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, yang dapat kita lakukan bagi mereka telah tiada, yaitu menjadikan mereka sebagai saksi Tuhan dan kehidupan.
Dengan kata lain, penderitaan dan kematian orang-orang yang kita kasihi seharusnya membuat kita tanpa mengenal lelah untuk menelusuri batas-batas kemampuan kita guna mendapatkan sebuah kekuatan baru, yang bisa kita jadikan tongkat atau semangat, cinta, dan kegembiraan atau kebahagiaan abadi. Harold S. Kushner mengatakan, “Jika penderitaan dan kematian orang terdekat kita membuat kita menemukan sumber penghiburan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya, kita telah membuatnya lebih menjadi saksi pengukuhan dari pada penolakan kehidupan”. Kalimat Kushner di atas menjelaskan, bagaimana kita harus bertindak positif dalam menghadapi tragedi kehidupan. Jika demikian, bagaimana dengan peranan Tuhan? apakah Tuhan yang menjadi penyebab utamanya? Jika Tuhan tidak menjadi penyebab dan jika Dia tidak bisa mencegah hal buruk yang menimpa orang baik, maka apa baiknya Dia?
Pertama-tama, kita harus jujur mengakui bahwa Tuhan telah menciptakan sebuah dunia tempat kita berpijak atau tinggal, tempat di mana lebih banyak hal baik terjadi dari pada hal buruk. Hal itu terlihat jelas, yaitu di mana penderitaan atau malapetaka tidak menimpa semua orang, tetapi hanya orang-orang tertentu. Tetapi bagaimana dengan kematian? Harus kita sadari, bahwa tidak semua kematian disebabkan oleh penderitaan atau malapetaka. Melainkan sebagai kewajaran dan alamiah. Itulah salah satu bukti kefanaan manusia. Artinya, kematian harus diterima secara wajar, sekalipun ada kematian orang-orang yang dianggap tidak wajar. Misalnya gantung diri, minum racun, menjatuhkan diri dari atas gedung dan sebagainya.
Selanjutnya, setiap hari kita melihat bahwa lebih banyak orang yang bangun pagi hari, masih bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi dengan perasaan bahagia. Selain itu, kita juga melihat, bahwa lebih banyak para dokter berhasil mnyembuhkan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian apabila lambat ditangani. Selain itu, masih banyak angkutan umum seperti mobil, pesawat, kapal air, bajai, sepeda motor yang membawa para penumpangnya selamat sampai ke tujuan. Anak-anak yang diizinkan oleh orangtuanya untuk bermain akan pulang dengan tubuh yang sehat dan selamat. Kejahatan, seperti perampokan, kecelakaan, pembunuhan, tumor ganas, bencana alam hanyalah bentuk diskriminasi yang merenggut nyawa manusia, tetapi itu sangat jarang terjadi dibandingkan dengan segala hal baik yang telah diterima dan dirasakan oleh manusia di sepanjang hdupnya.
Ketika kita terluka dan mengalami kekecewaan yang mendalam dalam hidup ini, mungkin sangat sulit untuk menerimanya dengan hati yang tulus atau ikhlas. Itu disebabkan, mungkin karena kita berdiri terlalu dekat dengan sebuah objek besar. Sehingga menyebabkan kita tidak bisa melihat kemungkinan atau celah-celah, yang di mana kita seharusnya dapat menghirup udara segar dan bernapas secara normal. Hanya dengan melangkah mundur darinya kita bisa melihat bahwa masih melihat luasnya lingkungan di sekitar objek itu. Dalam hal inilah Kushner menegaskan, bahwa hanya jarak dan waktulah yang dapat membuat seseorang itu mampu memandang tragedi itu dalam konteks kehidupan dan dunia secara universal.
Karena keegoisan, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, yang memberi inspirasi pada orang-orang untuk membantu sesamanya yang sudah dilukai oleh tragedi kehidupan. Dengan cara menolong para korban, mereka telah melindungi para korban dari berbagai ancaman perasaan hampa, sepi atau sendirian, diabaikan, dan dihakimi. Tuhan memotivasi beberapa orang untuk menjadi dokter, perawat dan bidan. Sehingga melalui mereka banyak nyawa yang tertolong dari kematian. Siang dan malam mereka lewati, mereka rela memberikan suatu pengorbanan yang intensitasnya tidak dapat dinilai dari sudut pandang materi guna mempertahankan kehidupan dan mengurangi penderitaan. Tuhan juga memberikan semangat dan kepintaran kepada sebagian orang untuk menjadi seorang peneliti kesehatan, sehingga mereka mampu mencurahkan energi untuk mencari dan menemukan sebab dan obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Selanjutnya, Tuhan juga menggerakan hati para donatur dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk korban tsunami Aceh, Nias dan kepulauan Mentawai 2007, gempa bumi yang menerjang Padang Pariaman 2009, korban banjir bandang di Wasior – Papua Barat 2010, kemudian di kepulauan Mentawai lagi 2010, bencana gunung berapi di Yokyakarta 2010 dan masih banyak lagi tangan-tangan yang dengan rela memberikan bantuan (tanpa ada motivasi lain). Sekali pun ada dari mereka yang memanfaatkan momen tersebut dan memiliki motivasi lain dengan mengatasnamakan bantuan. Tetapi saya yakin, Tuhan tidak pernah berbuat curang seperti yang mereka lakukan terhadap sesamanya. Jadi, siapakah yang menggerakkan hati mereka untuk mengasihi sesamanya? Adakah kasih yang lebih besar di luar Tuhan? Dalam konteks itulah saya mengatakan bahwa “manusia adalah bahasa Tuhan”.
Ingat! Tuhan tidak pernah mengatakan kepada kita, bahwa penderitaan itu tidak akan ada, tetapi Tuhan mengatakan bahwa Dia pasti akan menyertai sepanjang hidup kita. Karena itu, Jhon F. Kennedy mengatakan demikian: “Jangan berdoa meminta hidup menjadi mudah. Berdoalah agar menjadi pribadi yang lebih kuat”. Selanjutnya, saya menutup tulisan ini melalui sebuah kalimat dari tulisan Henry van Dyke, dia pernah mengatakan demikian: “Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi mereka yang takut, terlalu panjang bagi mereka yang gundah, dan terlalu pendek bagi mereka yang bahagia. Tetapi bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian”.
Tragedi yang lain adalah, pada tahun 2007 gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh, Nias, kepulauan Mentawai dan sekitarnya. Saat itu semua mata manusia yang melihat secara langsung, maupun tidak langsung menjadi saksi atas kematian banyak orang di sana. Selanjutnya, pada bulan September tahun 2009 gempa bumi juga beberapa kali menggoncang beberapa kawasan di Jawa dan Sumatera. Tasikmalaya pada tanggal 2 September 2009 dengan kekuatan 7,3 Skala Richter. Kemudian Padang Pariaman pada tanggal 30 September 2009 dengan berkekuatan 7,9 Skala Richter. Selanjutnya banjir bandang di Wasior - Papua Barat tahun 2010. Selanjutnya, pada tanggal 26 Oktober 2010 kepulauan Mentawai kembali digoncang gempa bumi dan sapu Tsunami yang menewaskan banyak korban jiwa. Masih banyak lagi tragedi yang telah, sedang dan akan terjadi diberbagai belahan dunia lainnya. Dunia seakan menangis dan meratapi korban jiwa yang terdiri dari orang jahat dan orang baik, dan mereka mengalami tragedi yang sama.
Dari manakah semuanya itu? Siapakah sebenarnya yang pantas menerima semua tragedi itu? Tuhan yang Mahakasih, Mahakuasa, Mahatahu dan Mahaadil seolah-oleh bingung, dan bisu untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Karena itu, tidak heran jika semua pertanyaan di atas pernah dilontarkan oleh mereka yang pernah mengalami, yang sedang mengalami ataupun mereka yang akan mengalami dari sebagian tragedi yang disebutkan di atas.
Usaha seseorang untuk menghibur para korban supaya menerima realita yang ada dengan ikhlas, hati yang rela, dan dengan lapang dada adalah tidak semudah seperti kawanan perampok melemparkan ikan goreng atau ayam bakar terhadap anjing penjaga rumah mewah. Melainkan seperti mencari sebuah cincin berlian yang terjatuh di dalam air rawa berlumpur dan dipenuhi dengan tumbuhan kangkung liar di atasnya. Realitas kehidupan dan kematian adalah bersifat netral dan wajar. Dengan reaksi kita, kita dapat memberi makna positif atau negatif atas sebuah tragedi atau penderitaan yang kita alami. Sakit, kecelakaan, bencana, dan tragedi kemanusiaan lainnya dapat membunuh orang, tetapi tidak harus membunuh kehidupan, harapan dan kepercayaan.
Akan tetapi harus kita sadari, bahwa kematian orang-orang yang kita kasihi, yang membuat hati kita pedih, iri hati, menggugat agama, menyalahkan Tuhan, dan membuat hidup kita tidak bahagia atau berarti, karena kita menjadikannya sebagai fokus satu-satunya. Menjadikan mereka sebagai fokus satu-satunya sebenarnya adalah sebuah usaha bahwa kita menolak kehidupan. Kita memang tidak dapat menahan supaya mereka tetap hidup. Tetapi tidak berarti kita menolak kehidupan. Padahal masih banyak hal penting atau sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, yang dapat kita lakukan bagi mereka telah tiada, yaitu menjadikan mereka sebagai saksi Tuhan dan kehidupan.
Dengan kata lain, penderitaan dan kematian orang-orang yang kita kasihi seharusnya membuat kita tanpa mengenal lelah untuk menelusuri batas-batas kemampuan kita guna mendapatkan sebuah kekuatan baru, yang bisa kita jadikan tongkat atau semangat, cinta, dan kegembiraan atau kebahagiaan abadi. Harold S. Kushner mengatakan, “Jika penderitaan dan kematian orang terdekat kita membuat kita menemukan sumber penghiburan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya, kita telah membuatnya lebih menjadi saksi pengukuhan dari pada penolakan kehidupan”. Kalimat Kushner di atas menjelaskan, bagaimana kita harus bertindak positif dalam menghadapi tragedi kehidupan. Jika demikian, bagaimana dengan peranan Tuhan? apakah Tuhan yang menjadi penyebab utamanya? Jika Tuhan tidak menjadi penyebab dan jika Dia tidak bisa mencegah hal buruk yang menimpa orang baik, maka apa baiknya Dia?
Pertama-tama, kita harus jujur mengakui bahwa Tuhan telah menciptakan sebuah dunia tempat kita berpijak atau tinggal, tempat di mana lebih banyak hal baik terjadi dari pada hal buruk. Hal itu terlihat jelas, yaitu di mana penderitaan atau malapetaka tidak menimpa semua orang, tetapi hanya orang-orang tertentu. Tetapi bagaimana dengan kematian? Harus kita sadari, bahwa tidak semua kematian disebabkan oleh penderitaan atau malapetaka. Melainkan sebagai kewajaran dan alamiah. Itulah salah satu bukti kefanaan manusia. Artinya, kematian harus diterima secara wajar, sekalipun ada kematian orang-orang yang dianggap tidak wajar. Misalnya gantung diri, minum racun, menjatuhkan diri dari atas gedung dan sebagainya.
Selanjutnya, setiap hari kita melihat bahwa lebih banyak orang yang bangun pagi hari, masih bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi dengan perasaan bahagia. Selain itu, kita juga melihat, bahwa lebih banyak para dokter berhasil mnyembuhkan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian apabila lambat ditangani. Selain itu, masih banyak angkutan umum seperti mobil, pesawat, kapal air, bajai, sepeda motor yang membawa para penumpangnya selamat sampai ke tujuan. Anak-anak yang diizinkan oleh orangtuanya untuk bermain akan pulang dengan tubuh yang sehat dan selamat. Kejahatan, seperti perampokan, kecelakaan, pembunuhan, tumor ganas, bencana alam hanyalah bentuk diskriminasi yang merenggut nyawa manusia, tetapi itu sangat jarang terjadi dibandingkan dengan segala hal baik yang telah diterima dan dirasakan oleh manusia di sepanjang hdupnya.
Ketika kita terluka dan mengalami kekecewaan yang mendalam dalam hidup ini, mungkin sangat sulit untuk menerimanya dengan hati yang tulus atau ikhlas. Itu disebabkan, mungkin karena kita berdiri terlalu dekat dengan sebuah objek besar. Sehingga menyebabkan kita tidak bisa melihat kemungkinan atau celah-celah, yang di mana kita seharusnya dapat menghirup udara segar dan bernapas secara normal. Hanya dengan melangkah mundur darinya kita bisa melihat bahwa masih melihat luasnya lingkungan di sekitar objek itu. Dalam hal inilah Kushner menegaskan, bahwa hanya jarak dan waktulah yang dapat membuat seseorang itu mampu memandang tragedi itu dalam konteks kehidupan dan dunia secara universal.
Karena keegoisan, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, yang memberi inspirasi pada orang-orang untuk membantu sesamanya yang sudah dilukai oleh tragedi kehidupan. Dengan cara menolong para korban, mereka telah melindungi para korban dari berbagai ancaman perasaan hampa, sepi atau sendirian, diabaikan, dan dihakimi. Tuhan memotivasi beberapa orang untuk menjadi dokter, perawat dan bidan. Sehingga melalui mereka banyak nyawa yang tertolong dari kematian. Siang dan malam mereka lewati, mereka rela memberikan suatu pengorbanan yang intensitasnya tidak dapat dinilai dari sudut pandang materi guna mempertahankan kehidupan dan mengurangi penderitaan. Tuhan juga memberikan semangat dan kepintaran kepada sebagian orang untuk menjadi seorang peneliti kesehatan, sehingga mereka mampu mencurahkan energi untuk mencari dan menemukan sebab dan obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Selanjutnya, Tuhan juga menggerakan hati para donatur dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk korban tsunami Aceh, Nias dan kepulauan Mentawai 2007, gempa bumi yang menerjang Padang Pariaman 2009, korban banjir bandang di Wasior – Papua Barat 2010, kemudian di kepulauan Mentawai lagi 2010, bencana gunung berapi di Yokyakarta 2010 dan masih banyak lagi tangan-tangan yang dengan rela memberikan bantuan (tanpa ada motivasi lain). Sekali pun ada dari mereka yang memanfaatkan momen tersebut dan memiliki motivasi lain dengan mengatasnamakan bantuan. Tetapi saya yakin, Tuhan tidak pernah berbuat curang seperti yang mereka lakukan terhadap sesamanya. Jadi, siapakah yang menggerakkan hati mereka untuk mengasihi sesamanya? Adakah kasih yang lebih besar di luar Tuhan? Dalam konteks itulah saya mengatakan bahwa “manusia adalah bahasa Tuhan”.
Ingat! Tuhan tidak pernah mengatakan kepada kita, bahwa penderitaan itu tidak akan ada, tetapi Tuhan mengatakan bahwa Dia pasti akan menyertai sepanjang hidup kita. Karena itu, Jhon F. Kennedy mengatakan demikian: “Jangan berdoa meminta hidup menjadi mudah. Berdoalah agar menjadi pribadi yang lebih kuat”. Selanjutnya, saya menutup tulisan ini melalui sebuah kalimat dari tulisan Henry van Dyke, dia pernah mengatakan demikian: “Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi mereka yang takut, terlalu panjang bagi mereka yang gundah, dan terlalu pendek bagi mereka yang bahagia. Tetapi bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian”.
No comments:
Post a Comment