Teks Kejadian 4:1-5 adalah salah satu teks Alkitab yang sangat sulit untuk dimengerti. Sulit untuk dimengerti tidak berarti tanpa arti atau makna, melainkan sebaliknya. Artinya ada makna penting yang tersirat di dalamnya yang saya kira sangat relevan untuk memahami makna persembahan yang diberikan oleh setiap orang percaya kepada Tuhan. Jika demikian bagaimana kita harus memahaminya? Misalnya, paling sedikit ada tiga pertanyaan yang sulit untuk dijawab:
1. Dari manakah Kain tahu pasti bahwa persembahannya ditolak oleh Tuhan, dan persembahan Habel diterima Tuhan?
2. Apakah sebabnya Tuhan menolak persembahan Kain, dan menerima persembahan Habel? atau
3. Di manakah kesalahan Kain saat mempersembahkan persembahan kepada Tuhan, dan di mana kebenaran Habel sehingga Tuhan menerima persembahannya?
3. Di manakah kesalahan Kain saat mempersembahkan persembahan kepada Tuhan, dan di mana kebenaran Habel sehingga Tuhan menerima persembahannya?
Saya kira tidak mudah untuk memberi jawab mengapa Allah menolak persembahan Kain dan menerima persembahan Habel. Paling tidak ada dua alasan penting yang harus kita akui dengan jujur, yaitu:
1. Kita tidak mengenal sifat maupun karakter keduanya sebagai yang baik dan yang jahat. Kita hanya mengenal keduanya sebagai dua pribadi yang sama-sama memberikan persembahan kepada Tuhan, yakni sesuai dengan hasil pekerjaan mereka (Kain membawa hasil tanahnya, karena ia adalah seorang petani, sedangkan Habel membawa kambing dombanya, karena ia adalah seorang peternak).
2. Kita sedang berhadapan dengan kedaulatan Allah. Saya kira inilah persoalan yang paling sulit untuk dijawab, dan bahkan mungkin tidak ada jawabannya di dalam ukuran manusia. Misalnya, jika ada di antara kita yang datang sama-sama beriman, yang sama-sama hendak memberikan persembahan untuk Tuhan. Tetapi ternyata saat itu kita merasakan apa yang dirasakan oleh Kain, yakni tanpa alasan persembahan kita ditolak oleh-Nya, dan tanpa alasan pula persembahan orang lain diterima-Nya. Tetapi sekali lagi saya katakan di sinilah letak kedaulatan-Nya, yaitu di mana kita akan melihat penolakan dan penerimaan-Nya itu dari sudut dan ukuran-Nya.
Artinya, ketika kita berhadapan dengan kedaulatan Tuhan, maka saat itu juga kita tidak bisa mempertanyakan: apa sebabnya Tuhan menolak dan apa sebabnya Tuhan menerima? Selanjutnya, kita juga tidak akan bisa mengatakan: mengapa Tuhan begini dan tidak begitu? Kita juga tidak dapat mengatakan: seharusnya Tuhan begini dan bukan begitu!
Sekilas pandang kita seakan menilai, “alangkah sewenang-wenangnya Allah”. Mungkin kita hanya berkata demikian jika kita melihat-Nya dari kaca mata kita dan mengukur-Nya berdasarkan ukuran kita. Sekali lagi saya mengatakan, bahwa di sinilah letak kedaulatan Allah, yaitu Allah kita adalah Allah yang bebas (bebas untuk menentukan apa saja, bebas untuk memilih berdasarkan cara, jalan dan ukuran-Nya) karena Dia adalah Allah.
Allah mempunyai alasan-alasan dan ukuran-Nya sendiri, dan alasan-alasan serta ukuran-Nya itu tidak dapat dipahami, dimengerti atau tidak terselami oleh manusia. Saya kira inilah masalah utamanya. Karena ukuran dan penilaian kita tidak berlaku sama sekali untuk mengadili keputusan atau ukuran Allah.
Segala sesuatu yang kita berikan hanya akan berarti sebagai PERSEMBAHAN jika diberikan dengan hati yang tulus, ikhlas dan penuh penyerahan total atasnya. Persembahan bukanlah alat yang dapat memaksa kehendak kita menjadi kehemndak Allah. Persembahan yang kita berikan tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi kedaulatan Allah. Karena jika demikian pemahamannya, maka segala sesuatu yang kita berikan tidak bisa disebut sebagai PERSEMBAHAN. Pemberian hanya akan berarti sebagai PERSEMBAHAN jika kita memberikannya dengan penuh kerendahan hati, dengan penuh harap, semoga Allah berkenan atasnya. Eka Darmaputera mengatakan: “Karena siapakah kita ini, sehingga kita dapat mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan”.
Persembahan yang kita berikan kepada Tuhan seharusnya kita jadikan sebagai tanda penyerahan diri kita secara total atau sepenuhnya pada kedaulatan-Nya. Dengan penuh kerendahan hati kita menyerahkan masa depan hidup kita, keinginan-keinginan kita kepada pimpinan-Nya jika diperkenankan-Nya. Kalau pun tidak diperkenankan-Nya atau persembahan kita ditolak-Nya, maka kita pun tidak bersungut-sungut, yang menyebabkan hati kita menjadi panas dan muka kita menjadi muram seperti yang respons Kain ketika persembahannya ditolak. Saya kira sikap penuh kerendahan hati itulah yang tidak dimiliki oleh kain. Oleh sebab itu penulis kita Kejadian mengatakan ketika persembahannya ditolak, “lalu hati Kain menjadi sangat panas dan mukanya menjadi muram” (Kejadian 4:5). Kata yang diterjemahkan dengan sangat panas adalah “wayyihar” dari kata dasar “harah” yang tidak hanya berarti “menjadi panas” (be kindled), tetapi juga “menjadi marah” (be anger). Dengan demikian kita melihat bahwa ketika persembahan Kain ditolak oleh Tuhan, maka hatinya menjadi sangat panas, mukanya muram dan dia menjadi sangat marah terhadap keputusan dan kedaulatan Tuhan. Di sinilah kerendahan hati, penyerahan penuh dan menerima dengan lapang dada atas keputusan dan kedaulatan Tuhan diperlukan.
No comments:
Post a Comment