Mengingat masa lalu yang silam (1985 – 2012). Setelah tiga tahun tinggal
bersama keluarga dari pihak bapak, akhirnya mandiri juga. Semenjak mama
meninggal, kami (saya dan bapak) tinggal dalam satu rumah bersama salah satu saudara
kandung dari pihak bapak. Mungkin sebagian besar orang berpikir atau
mengatakan, bahwa tinggal bersama keluarga itu sangat menyenangkan. Salah satu
dari mereka yang berpikir demikian adalah saya. Tetapi, saya merasa, bahwa
tinggal bersama keluarga itu sangat melelahkan pikiran, menguras, tenaga,
perasaan dan emosi, bahkan membuat batin tersiksa dan menangis. Dalam hati saya
berbicara, bahwa mungkin jauh lebih nyaman tinggal bersama orang lain yang
tidak ada hubungan keluarga sama sekali, dari pada tinggal bersama keluarga. Meskipun
demikian, harus saya akui juga bahwa tidak semua keluarga mengecewakan. Misalnya,
teman saya tinggal bersama keluarganya diperlakukan seperti anaknya sendiri.
Selanjutnya, saya juga pernah merasakannya sewaktu bapak masih bekerja dan jadi
kuli di Malaysia. Saat itu saya tinggal bersama tante, yaitu adik dari almarhum
mama. Meskipun hanya sebentar sih.
Karena merasa kasihan melihat saya selalu dimarahi saat melakukan
kesalahan kecil, terkadang dipukuli dan bahkan pernah diusir, bapak pun
akhirnya mengambil sebuah keputusan, bahwa kami harus tinggal di berdua.
Seharusnya sih kami tinggal berlima (bapak, mama, abang, saya sendiri dan adik)
tetapi sayang mereka sedang tidak beruntung. Mama dan adik meninggal sewaktu
saya masih balita, dan mungkin pada waktu saya berusia kira-kira tiga tahun. Saya
tidak tahu sama sakali seperti apa raut wajah atau paras mereka berdua. Bahkan
dalam benak saya pun tidak ada gambaran mereka sama sekali. Foto-foto mereka juga
tidak ada. Berbeda dengan kakak laki-laki, yang meninggal lumayan jauh jaraknya
dibandingkan mama dan adik. Itu pun masih samar-samar bagi saya untuk memastikan,
bahwa ingatan saya benar atau salah. Ungkapkan saya terkesan “melupakan total”.
Karena memang saya tidak ingat sama sekali. Mungkin bisa dikatakan: “melupakan mereka
dengan tanpa disengaja”.
Kembali lagi ke masalalu kami berdua. Setelah bapak mengambil sebuah
keputusan bahwa kami harus tinggal bersama, tetapi tidak di sebuah rumah
sebagaimana layaknya sebuah keluarga tinggal. Melainkan di sebuah pondok yang
berukuran kecil, dinding dan lantai pun terbuat dari bambu yang dibelah-belah. Bahkan
waktu pontok itu baru-baru kami tempati, pagi-pagi terasa sakit tulang punggung
dan kepala karena bentuknya yang timbul -tenggelam seperti susunan atap genting.
Tapi lama-kelamaan akhirnya bersahabat juga dan sudah terbiasa dengannya.
Pondok kami terletak lumayan jauh dari tempat keramaian, tapi sangat dekat
dengan pohon karet. Sehingga saat bangun pagi-pagi, turun dari pondok bisa
langsung ngaret. Jalan untuk menujunya pun sangat sempit, berlumpur, melewati
hutan yang dipenuh dengan batang karet dan pohon besar lainnya. Terkadang bulu
tangan saya merinding, kepala saya terasa berat dan besar, dan merasa takut
pada saat pulang sekolah terlalu sore. Saat itu saya masih duduk di bangku SD
kelas 4. Karena gedung sekolah hanya terdiri dari 3 kelas, maka harus gantian,
yaitu kelas 1-3 SD masuk pagi, sedangkan kelas 4-6 SD masuk sore, yaitu pukul
12.30 – 17.30. Jarank antara sekolah dan pondok sekali jalan tidak cukup
ditempuh dengan durasi waktu 40 menit. Paling tidak hampir 1 jam kalau langkah
kaki kita cepat.
Belum lagi melewati jalan setapak yang sangat licin dan lumpur sawah
yang tingginya sampai ke lutut. Karena itu, tidak jarang saat pergi sekolah
saya tidak menggunakan alas kaki, apalagi sepatu sekolah seperti saat ini. Saat
itu tidak terlalu penting (tidak diutamakan) sepatu atau alas kaki, yang
penting bisa belajar atau bersekolah. Hanya itu, dan tidak lebih dari itu. Jika
kemalaman di perjalanan saya sudah membawa obor yang terbuat dari bambu, dan sumbunya
terbuat dari kertas buku bekas. Nyalanya api obor sedikit menghilangkan rasa
takut. Begitulah seterusnya saya menjalaninya dengan hati yang ikhlas dan
menerimanya apa adanya. Meskipun jarak antara pondok dan sekolah lumayan jauh,
tetapi saya tidak pernah bolos sekolah, kecuali sakit. Bahkan saya sering
dikatakan siswa teladan oleh teman-teman dan beberapa orang tua yang sering
melihat saya pergi ke sekolah lewat di depan rumahnya. Dari jauh mereka sudah
mengenali saya, dengan celana pendek berwarna merah dan kantong plastik hitam
untuk melindungi buku dan baju dari air hujan. Tas sekolah saya kemana? Ya tidak
ada.
Setiap pergi dan pulang sekolah, kantong plastik hitam tidak pernah
ketinggalan, apalagi terlupakan. Mengapa karena itu sangat penting dan menolong
saya. Setiap membeli barang dari warung dan dibungkus dengan kantong plastik hitam,
itu saya kumpulkan. Oh ya satu lagi benda yang sangat penting, yang tidak kalah
pentingnya dari kantong plastik hitam, dan bahkan jauh lebih penting dari
kantong plastik hitam. Anda tahu benda apa itu? Coba tebak! Benda itu adalah
kertas koran pembungkus ikan tri. Setiap kali membeli ikan tri, hampir selalu
dibungkus dengan kertas koran yang sudah dipotong-potong selebar kertas buku
tulis, ya cukup untuk membungkus ikan tri satu ons. Baik bapak maupun saya,
sehabis membeli ikan tri, kertas korannya itu selalu dikumpulkan dan disusun
rapi di samping buku tulis saya.
Mungkin ada bertanya, kok di simpan di situ? Karena saat itu saya sangat
suka membaca. Bahkan habis mengaret sambil istirahat makan, saya menyempatkan
diri untuk membaca serpihan-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri tersebut.
Hingga saat ini saya merasa, bahwa kantong plastik hitam dan serpihan-serpihan
kertas koran pembungkus ikan tri itu telah memberikan makna yang mendalah atas
perjalanan hidup saya. Ternyata kantong plastik hitam dan serpihanm-serpihan
kertas koran pembungkus ikan tri juga dipakai Tuhan untuk membentuk, mengajar,
mendidik dan menuntun perjalanan hidup saya menuju masa depan yang lebih baik
dari sebelumnya. Saya juga merasa, meskipun itu hanya terdiri dari beberapa
serpihan kertas koran dan kantong plastik hitam, tetapi mereka membantu saya memahami
dan menemukan makna kehidupan. Segala sesuatu bisa dipakai Tuhan demi kebaikan
setiap pribadi. Hanya kitalah yang terkadang tidak memahami dan mengerti
bahasanya Tuhan.
Saya sangat sadar, bahwa Tuhan sengaja bekerja melalui bapak saya yang
sangat setia mendidik dan menuntun saya menuju dan menemukan kasih-Nya yang
abadi dalam hidup ini. Terima Tuhan untuk semua jalan kehidupan yang sangat
panjang, melelahkan, mengecewakan, dan bahkan sangat menyakitkan. Ada banyak
kerikil tajam yang menusuk telapak kaki ini. Tetapi di balik semuanya itu
terselubung makna kehidupan yang sangat besar dan mulia, kasih yang abadi, dan
hikmat yang tak terselami, membuat saya tertunduk dengan penuh kerendahan di
hadapan-Nya. Hal itulah juga yang membuat mata terbuka dan dapat melihat semua manusia,
dan mereka semuanya berharga di mata Tuhan. Tetapi tidak semua dapat
menemukannya. Sekali lagi terima kasih bapak untuk kesetiaan dan jasa-jasa
bapak selama ini. Sekalipun bapak telah tiada, tetapi bapak akan tetap hidup selamanya
di dalam hati saya. Bapak memang telah pergi meninggalkan saya sendirian di
dalam dunia ini. Tetapi saya yakin, bapak pasti telah menitipkan saya kepada
Sang Khalik, yaitu Sang pemilik kehidupan semua manusia. Karena itu, saya harus
belajar menggantungkan hidup ini sepenuhnya hanya kepada-Nya, dan senantiasa
belajar untuk berjalan di bawah pengamatan-Nya, serta belajar memberikan makna kehidupan
kepada semua manusia.
No comments:
Post a Comment