Thursday, 16 February 2012

KERTAS KORAN PEMBUNGKUS IKAN TRI dan KANTONG PLASTIK HITAM


Mengingat masa lalu yang silam (1985 – 2012). Setelah tiga tahun tinggal bersama keluarga dari pihak bapak, akhirnya mandiri juga. Semenjak mama meninggal, kami (saya dan bapak) tinggal dalam satu rumah bersama salah satu saudara kandung dari pihak bapak. Mungkin sebagian besar orang berpikir atau mengatakan, bahwa tinggal bersama keluarga itu sangat menyenangkan. Salah satu dari mereka yang berpikir demikian adalah saya. Tetapi, saya merasa, bahwa tinggal bersama keluarga itu sangat melelahkan pikiran, menguras, tenaga, perasaan dan emosi, bahkan membuat batin tersiksa dan menangis. Dalam hati saya berbicara, bahwa mungkin jauh lebih nyaman tinggal bersama orang lain yang tidak ada hubungan keluarga sama sekali, dari pada tinggal bersama keluarga. Meskipun demikian, harus saya akui juga bahwa tidak semua keluarga mengecewakan. Misalnya, teman saya tinggal bersama keluarganya diperlakukan seperti anaknya sendiri. Selanjutnya, saya juga pernah merasakannya sewaktu bapak masih bekerja dan jadi kuli di Malaysia. Saat itu saya tinggal bersama tante, yaitu adik dari almarhum mama. Meskipun hanya sebentar sih.

Karena merasa kasihan melihat saya selalu dimarahi saat melakukan kesalahan kecil, terkadang dipukuli dan bahkan pernah diusir, bapak pun akhirnya mengambil sebuah keputusan, bahwa kami harus tinggal di berdua. Seharusnya sih kami tinggal berlima (bapak, mama, abang, saya sendiri dan adik) tetapi sayang mereka sedang tidak beruntung. Mama dan adik meninggal sewaktu saya masih balita, dan mungkin pada waktu saya berusia kira-kira tiga tahun. Saya tidak tahu sama sakali seperti apa raut wajah atau paras mereka berdua. Bahkan dalam benak saya pun tidak ada gambaran mereka sama sekali. Foto-foto mereka juga tidak ada. Berbeda dengan kakak laki-laki, yang meninggal lumayan jauh jaraknya dibandingkan mama dan adik. Itu pun masih samar-samar bagi saya untuk memastikan, bahwa ingatan saya benar atau salah. Ungkapkan saya terkesan “melupakan total”. Karena memang saya tidak ingat sama sekali. Mungkin bisa dikatakan: “melupakan mereka dengan tanpa disengaja”.

Kembali lagi ke masalalu kami berdua. Setelah bapak mengambil sebuah keputusan bahwa kami harus tinggal bersama, tetapi tidak di sebuah rumah sebagaimana layaknya sebuah keluarga tinggal. Melainkan di sebuah pondok yang berukuran kecil, dinding dan lantai pun terbuat dari bambu yang dibelah-belah. Bahkan waktu pontok itu baru-baru kami tempati, pagi-pagi terasa sakit tulang punggung dan kepala karena bentuknya yang timbul -tenggelam seperti susunan atap genting. Tapi lama-kelamaan akhirnya bersahabat juga dan sudah terbiasa dengannya. Pondok kami terletak lumayan jauh dari tempat keramaian, tapi sangat dekat dengan pohon karet. Sehingga saat bangun pagi-pagi, turun dari pondok bisa langsung ngaret. Jalan untuk menujunya pun sangat sempit, berlumpur, melewati hutan yang dipenuh dengan batang karet dan pohon besar lainnya. Terkadang bulu tangan saya merinding, kepala saya terasa berat dan besar, dan merasa takut pada saat pulang sekolah terlalu sore. Saat itu saya masih duduk di bangku SD kelas 4. Karena gedung sekolah hanya terdiri dari 3 kelas, maka harus gantian, yaitu kelas 1-3 SD masuk pagi, sedangkan kelas 4-6 SD masuk sore, yaitu pukul 12.30 – 17.30. Jarank antara sekolah dan pondok sekali jalan tidak cukup ditempuh dengan durasi waktu 40 menit. Paling tidak hampir 1 jam kalau langkah kaki kita cepat.

Belum lagi melewati jalan setapak yang sangat licin dan lumpur sawah yang tingginya sampai ke lutut. Karena itu, tidak jarang saat pergi sekolah saya tidak menggunakan alas kaki, apalagi sepatu sekolah seperti saat ini. Saat itu tidak terlalu penting (tidak diutamakan) sepatu atau alas kaki, yang penting bisa belajar atau bersekolah. Hanya itu, dan tidak lebih dari itu. Jika kemalaman di perjalanan saya sudah membawa obor yang terbuat dari bambu, dan sumbunya terbuat dari kertas buku bekas. Nyalanya api obor sedikit menghilangkan rasa takut. Begitulah seterusnya saya menjalaninya dengan hati yang ikhlas dan menerimanya apa adanya. Meskipun jarak antara pondok dan sekolah lumayan jauh, tetapi saya tidak pernah bolos sekolah, kecuali sakit. Bahkan saya sering dikatakan siswa teladan oleh teman-teman dan beberapa orang tua yang sering melihat saya pergi ke sekolah lewat di depan rumahnya. Dari jauh mereka sudah mengenali saya, dengan celana pendek berwarna merah dan kantong plastik hitam untuk melindungi buku dan baju dari air hujan. Tas sekolah saya kemana? Ya tidak ada.

Setiap pergi dan pulang sekolah, kantong plastik hitam tidak pernah ketinggalan, apalagi terlupakan. Mengapa karena itu sangat penting dan menolong saya. Setiap membeli barang dari warung dan dibungkus dengan kantong plastik hitam, itu saya kumpulkan. Oh ya satu lagi benda yang sangat penting, yang tidak kalah pentingnya dari kantong plastik hitam, dan bahkan jauh lebih penting dari kantong plastik hitam. Anda tahu benda apa itu? Coba tebak! Benda itu adalah kertas koran pembungkus ikan tri. Setiap kali membeli ikan tri, hampir selalu dibungkus dengan kertas koran yang sudah dipotong-potong selebar kertas buku tulis, ya cukup untuk membungkus ikan tri satu ons. Baik bapak maupun saya, sehabis membeli ikan tri, kertas korannya itu selalu dikumpulkan dan disusun rapi di samping buku tulis saya.

Mungkin ada bertanya, kok di simpan di situ? Karena saat itu saya sangat suka membaca. Bahkan habis mengaret sambil istirahat makan, saya menyempatkan diri untuk membaca serpihan-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri tersebut. Hingga saat ini saya merasa, bahwa kantong plastik hitam dan serpihan-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri itu telah memberikan makna yang mendalah atas perjalanan hidup saya. Ternyata kantong plastik hitam dan serpihanm-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri juga dipakai Tuhan untuk membentuk, mengajar, mendidik dan menuntun perjalanan hidup saya menuju masa depan yang lebih baik dari sebelumnya. Saya juga merasa, meskipun itu hanya terdiri dari beberapa serpihan kertas koran dan kantong plastik hitam, tetapi mereka membantu saya memahami dan menemukan makna kehidupan. Segala sesuatu bisa dipakai Tuhan demi kebaikan setiap pribadi. Hanya kitalah yang terkadang tidak memahami dan mengerti bahasanya Tuhan.

Saya sangat sadar, bahwa Tuhan sengaja bekerja melalui bapak saya yang sangat setia mendidik dan menuntun saya menuju dan menemukan kasih-Nya yang abadi dalam hidup ini. Terima Tuhan untuk semua jalan kehidupan yang sangat panjang, melelahkan, mengecewakan, dan bahkan sangat menyakitkan. Ada banyak kerikil tajam yang menusuk telapak kaki ini. Tetapi di balik semuanya itu terselubung makna kehidupan yang sangat besar dan mulia, kasih yang abadi, dan hikmat yang tak terselami, membuat saya tertunduk dengan penuh kerendahan di hadapan-Nya. Hal itulah juga yang membuat mata terbuka dan dapat melihat semua manusia, dan mereka semuanya berharga di mata Tuhan. Tetapi tidak semua dapat menemukannya. Sekali lagi terima kasih bapak untuk kesetiaan dan jasa-jasa bapak selama ini. Sekalipun bapak telah tiada, tetapi bapak akan tetap hidup selamanya di dalam hati saya. Bapak memang telah pergi meninggalkan saya sendirian di dalam dunia ini. Tetapi saya yakin, bapak pasti telah menitipkan saya kepada Sang Khalik, yaitu Sang pemilik kehidupan semua manusia. Karena itu, saya harus belajar menggantungkan hidup ini sepenuhnya hanya kepada-Nya, dan senantiasa belajar untuk berjalan di bawah pengamatan-Nya, serta belajar memberikan makna kehidupan kepada semua manusia.

No comments:

Post a Comment