Monday 6 February 2012

“LEBIH DARI SEKADAR DOALOG”



Oleh: Sugiman

Dua kelompok manusia berpendapat demikian: kelompok pertama, mengatakan bahwa dialog tidaklah penting, yang penting adalah tindakan nyata. Artinya, untuk apa kita berdialog jika tidak dilakukan, buang-buang waktu, capek-capek berpikir, perasaan dan bahkan materi. Bagaimana tidak? Mengundang orang yang terpandang harus dibayar, datang teman dekat ataupun teman jauh yang ikut dalam dialog harus dibuatkan secangkir kopi atau teh manis hangat per-orang. Wah jika banyak yang datang bisa bangkrut! Kelompok kedua, lebih mengutamakan dialog dari pada tindakan. Mereka melihat bahwa dialog itu sangat penting, dengan adanya dialog setidaknya dapat meminimalisir terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan bersama.

Jika saya bertanya, kelompok manakah saudara (yang pertama atau yang kedua)? Dan mengapa? Jika dianalisa, maka keduanya sama-sama memiliki kelemahan atau kekuatan tersendiri, tetapi sama-sama tidak berarti. Misalnya: kelompok yang pertama, lebih mengutamakan tindakan dari pada dialog. Jika demikian, bagaimana ia tahu bahwa tindakannya itu disetujui dan diterima oleh banyak orang? kecuali sesudahnya. Karena tindakan tanpa dialog bisa menghasilkan dua kemungkinan, yaitu positif dan negatif yang ditanggung seorang diri. Mengapa seorang diri karena tanpa dialog. Banyak orang bertindak dengan cara-cara yang konyol, bodoh dan tidak mengerti apa yang dia lakukan dan apa tujuannya. Eka Darmaputera mengatakan bahwa tindakan yang demikian adalah pemborosan dan dan kesia-siaan belaka. Selanjutnya kelompok yang kedua, lebih mengutamakan dialog, tetapi mengabaikan tindakan. Sehingga dialog-dialog yang dihasilkan hanya sampai padanya dan tidak menghasilkan apa-apa yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup bersama. Lalu apanya yang diminimalisir?

Dietrich Bonhoeffer (seorang teolog Jerman) pernah mengatakan demikian: Berpikir, berembung, berapat berkonsultasi, merumuskan, dan pidato, bukan tak punya makna. Tetapi pada dirinya, dan cuma berhenti di situ, semua itu hanya memberi kenikmatan seorang penonton. Nikmat, tanpa terlibat. Nikmat, tanpa membawa berkat. Setelah itu pulang ke rumah, sebab ceritanya tokh sudah tamat. Namun sebaliknya, kitapun jangan terperosok pada kesalahan yang lain. Yang hanya mementingkan tindakan, tanpa landasan pemikiran. Asal ada aksi, tak peduli motivasi. Praktek tanpa teori. Perbuatan, tanpa penghayatan. Prestasi, tanpa tujuan pasti.

Dari apa yang dikatakan Dietrich Bonhoeffer di atas jelas memperlihatkan bahwa dialog yang sesungguhnya baru bisa dikatakan dialog adalah ketika menghasilkan sebuah tindakan, dan hasilnya bisa dipelajari untuk selanjutnya. Gagasan, teori, prinsip, motivasi, semuanya itu adalah alat dan tidak lebih dari itu. Tetapi semuanya itu sungguh-sungguh kita butuhkan. Untuk melayani tindakan. Tindakan tanpa penghayatan adalah pemborosan dan kesia-siaan. Tetapi penghayatan tanpa tindakan juga adalah kemandulan, gersang, kering dan tandus. Jika itu yang terjadi, maka dialog tidak ada bedanya dengan panggung sandiwara yang hanya menghibur, menyenangkan dan memberi kenikmatan sementara kepada para penonton. T.B. Simatupang mengatakan: dialog adalah proses yang dinamis dan kreatif yang terus berlangsung”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Darius Dubut (wakil direktur Dialog Centre UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta). Karena konteks itulah saya mengatakan: “lebih dari sekadar dialog”.

No comments:

Post a Comment