Dua kelompok manusia berpendapat demikian: kelompok pertama, mengatakan bahwa dialog tidaklah penting, yang penting
adalah tindakan nyata. Artinya, untuk apa kita berdialog jika tidak dilakukan,
buang-buang waktu, capek-capek berpikir, perasaan dan bahkan materi. Bagaimana
tidak? Mengundang orang yang terpandang harus dibayar, datang teman dekat
ataupun teman jauh yang ikut dalam dialog harus dibuatkan secangkir kopi atau
teh manis hangat per-orang. Wah jika banyak yang datang bisa bangkrut! Kelompok
kedua, lebih mengutamakan dialog dari
pada tindakan. Mereka melihat bahwa dialog itu sangat penting, dengan adanya
dialog setidaknya dapat meminimalisir terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang
tidak diinginkan bersama.
Jika saya bertanya, kelompok manakah saudara (yang pertama atau yang
kedua)? Dan mengapa? Jika dianalisa, maka keduanya sama-sama memiliki kelemahan
atau kekuatan tersendiri, tetapi sama-sama tidak berarti. Misalnya: kelompok
yang pertama, lebih mengutamakan tindakan dari pada dialog. Jika demikian, bagaimana
ia tahu bahwa tindakannya itu disetujui dan diterima oleh banyak orang? kecuali
sesudahnya. Karena tindakan tanpa dialog bisa menghasilkan dua kemungkinan,
yaitu positif dan negatif yang ditanggung seorang diri. Mengapa seorang diri
karena tanpa dialog. Banyak orang bertindak dengan cara-cara yang konyol, bodoh
dan tidak mengerti apa yang dia lakukan dan apa tujuannya. Eka Darmaputera
mengatakan bahwa tindakan yang demikian adalah pemborosan dan dan kesia-siaan
belaka. Selanjutnya kelompok yang kedua, lebih mengutamakan dialog, tetapi
mengabaikan tindakan. Sehingga dialog-dialog yang dihasilkan hanya sampai
padanya dan tidak menghasilkan apa-apa yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup
bersama. Lalu apanya yang diminimalisir?
Dietrich Bonhoeffer (seorang teolog Jerman)
pernah mengatakan demikian: Berpikir,
berembung, berapat berkonsultasi, merumuskan, dan pidato, bukan tak punya
makna. Tetapi pada dirinya, dan cuma berhenti di situ, semua itu hanya memberi
kenikmatan seorang penonton. Nikmat, tanpa terlibat. Nikmat, tanpa membawa
berkat. Setelah itu pulang ke rumah, sebab ceritanya tokh sudah tamat. Namun
sebaliknya, kitapun jangan terperosok pada kesalahan yang lain. Yang hanya
mementingkan tindakan, tanpa landasan pemikiran. Asal ada aksi, tak peduli
motivasi. Praktek tanpa teori. Perbuatan, tanpa penghayatan. Prestasi, tanpa
tujuan pasti.
Dari apa yang dikatakan Dietrich Bonhoeffer di atas jelas memperlihatkan bahwa dialog yang
sesungguhnya baru bisa dikatakan dialog adalah ketika menghasilkan sebuah
tindakan, dan hasilnya bisa dipelajari untuk selanjutnya. Gagasan, teori, prinsip, motivasi, semuanya itu
adalah alat dan tidak lebih dari itu. Tetapi semuanya itu sungguh-sungguh kita
butuhkan. Untuk melayani tindakan. Tindakan tanpa penghayatan adalah pemborosan
dan kesia-siaan. Tetapi penghayatan tanpa tindakan juga adalah kemandulan,
gersang, kering dan tandus. Jika itu yang terjadi, maka dialog tidak ada
bedanya dengan panggung sandiwara yang hanya menghibur, menyenangkan dan
memberi kenikmatan sementara kepada para penonton. T.B. Simatupang mengatakan: “dialog adalah proses yang dinamis dan kreatif yang terus berlangsung”.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Darius Dubut (wakil direktur Dialog
Centre UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta). Karena konteks itulah saya mengatakan: “lebih dari sekadar dialog”.
No comments:
Post a Comment