Monday 6 February 2012

“DARI MANAKAH PENDERITAAN DAN KEJAHATAN JIKA TUHAN ADALAH MAHAKASIH DAN MAHA KUASA?”

Oleh: Sugiman

Secara beruntun penderitaan dan kejahatan menimpa berbagai bagian bangsa Indonesia. misalnya pada bulan September 2009 gempa besar melanda beberapa kawasan di Jawa dan Sumatera. Pada 2 September 2009 gemba mengoncang Tasikmalaya dengan kekuatan 7,3 Skala Richter. Kemudian Padang Pariaman pada tanggal 30 September 2009 juga digoncang gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter. Selanjutnya Wasior-Papua Barat 2010 diterjang banjir, serta baru-baru ini 26 Oktober 2010 kepulawan Mentawai kembali dilanda gemba bumi dan Tsunami yang menewaskan banyak korban, dan masih banyak lagi penderitaan dan kejahatan lainnya. Pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah, dari manakah semuanya itu dan di mana Tuhan yang Mahakasih, Mahakuasa, Mahatahu dan Mahaadil itu? Dalam paper ini saya berusaha memberikan jawaban atas masalah-masalah yang disebutkan di atas.

1.      Masalah Teodisea
Apa sebabnya Allah mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia, yang kita percayai ciptaan-Nya? Mengapa keadilan Allah mesti dibenarkan di hadapan manusia? Jika Allah secara hakiki adalah mahatahu, mahakuasa, mahaadil, mahabaik, dan mahakasih, seperti yang telah disepakati oleh tradisi filsafat dengan agama-agama teistik. Tetapi mengapa masih ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan tanpa menyiksa? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam semesta tanpa penderitaan? Apa Allah tidak dapat atau tidak mau? Leahy mengatakan, mengapa penderitaan di dunia “semakin melimpah”. Jika Allah tidak mahakuasa, berarti Ia bukan Allah.

2.      Penjelasan-Penjelasan Yang Tidak Memadai:[1]
(a). Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa yang bersangkutan. Penjelasan ini tidak menjawab mengapa anak yang baru lahir menderita penyakit yang sangat nyeri. (b). Melalui penderitaan Allah mencoba mutu manusia; hanya manusia yang bertahan yang bertahan dalam penderitaan yang pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga. Allah mengetahui hati setiap orang. Apalagi Allah mengasihi setiap manusia, tetapi mengapa Allah tidak memberikan kebahagiaan abadi kepada manusia tanpa ada pencobaan? Atau apakah pencobaan merupakan syarat untuk orang masuk surga? Sungguh sulit diterima jawaban seperti ini. (c). Penderitaan akan lebih daripada diimbangi oleh ganjaran di surga. Bukankah Allah mahakasih dan mahabaik, tetapi apakah Dia menuntut “pembayaran” yang begitu kejam dari orang-orang yang ingin masuk surga? (d). Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral. Penjelasan ini memperlihatkan, bahwa kekejaman Allah. (e). Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya. (f). Manusia tidak seimbang dengan Allah; karena itu ia tinggal menerima saja apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tak perlu bertanya, apalagi berprotes.

3.      Konsistensi Allah
Louis Leahy mendekati masalah teodisea adanya keburukan dalam dua langkah. Pertama, Leahy sependapat dengan Leibnis, bahwa Allah tidak mungkin menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Khususnya mengenai masalah moral (“dosa”). Tetapi, Leahy menunjukan bahwa adanya keburukan secara tidak terelakan berkaitan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang hakiki bagi segala ciptaan. Kedua, secara hakiki, segala makhluk ciptaan adalah terbatas adanya, maka tidak mungkin dibentuk paham “makhluk sempurna” atau “tanpa kekurangan”.
Keburukan dan dosa yang dialami manusia adalah keburukan yang Allah diijinkan berlangsung, karena keterbatasan segala ciptaan, maka keburukan itu tidak dapat terhindarkan tetapi Allah menguatkan atau menopang kekuatan manusia. Allah tidak dapat menciptakan alam dan manusia tanpa membuka kemungkinan terjadinya keburukan, kejahatan dan dosa, dengan demikian, tidak berarti Allah tidak mahakuasa. Yang pasti Allah tidak mungkin menciptakan hal-hal yang bertentangan dengan diri-Nya sendiri atau yang dapat mengurangi kemahakuasaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dari konsistensi Allah dalam keberadaan-Nya. Allah memberikan kebebasan kepada segala ciptaan-Nya (Dia “menghormati kemandirian makhluk”), untuk kebaikannya. Oleh sebab itu, Leahy menyimpulkan, bahwa “Dengan menghendaki kebaikan itu, Allah tidak dapat tidak memungkinkan kejahatan”.

4.      Solidaritas Allah
Schmidt mengatakan, ketika Yesus disalib, Ia berteriak: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mk 15:34) adalah kata-kata permulaan Mazmur 22, di mana Yesus membuka protes kepada Allah. Yesus tidak hanya memprotes, tetapi juga sekaligus mendoakan Mazmur. Orang Kristen percaya, bahwa Yesus adalah ingkarnasi Allah sendiri. Dalam Yesus Allah sendiri menderita. Sangkalan mengerikan terhadap kesatuan Ilahi antara kemahakuasaan dan kemahabaikan dipatahkan oleh Allah sendiri, oleh sebab itu Ia membiarkan diri-Nya dikenai oleh kejahatan yang radikal. Tusukan tombak ke jantung Yesus (Yoh 19:34) menikam Allah sendiri. Dengan demikian Yesus di salib memberikan pada manusia keberanian untuk mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, meskipun tetap tidak dapat dipahami, mengetahui betul segala keburukan dan penderitaan dan menjamin bahwa segala apa akan menjadi baik dan setres tangisan tidak percuma.

Kesimpulan
Masalah teodisea adalah pokok bahasan yang tidak habis-habisnya dibicarakan hingga dewasa ini. Banyak buku, artikel dan media cetak lainnya hasil karya manusia untuk memberi jawab atas masalah teodisea. Namun tetap saja menghasilkan jawaban-jawaban yang relatif dan tidak memuaskan. Maka, tepat apa yang dikatakan oleh Adrianus Sunarko, bahwa tidak satu pun buku, juga kitab suci, dogma dan kuasa mengajar (gereja), teologi yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan: “Mengapa Allah, untuk sampai pada keselamatan harus melalui jalan berliku yang mengerikan; mengapa harus ada penderitaan mereka yang tak bersalah? Mengapa harus ada salah dan dosa”?[2]. Filsafat berusaha menjelaskan dari sudut rasio, mengenai mengapa penderitaan dan kejahatan melimpah dalam dunia ciptaan Allah? Sedangkan teologi melihatnya dari modus pengharapan dan bukan dari modus pengetahuan.
Menurut saya baik dari sudut pandang filsafat maupun teologi sama-sama mempunyai kelemahan dalam memberikan jawaban atas masalah teodisea. Maksudnya, filsafat selalu mengandalkan kemampuan rasio, sehingga cenderung menolak keberadaan Allah. Sedangkan teologi cenderung menghindari kemampuan rasio, sehingga cenderung juga menghasilkan jawaban-jawaban yang tidak memuaskan atau tidak memadai seperti yang dikatakan Frans Magnis-Suseno di atas. Oleh sebab itu, menurut saya, rasio tidaklah bisa dilepaskan dari iman dan keyakinan kita kepada Tuhan, karena keduanya adalah satu kesatuan yang harus bekerja sama untuk menjelaskan batas-batas yang tidak terjangkau oleh rasio, tetapi mampu dijelaskan dan dijabaw oleh iman.
Adrianus Sunarko, mengemukakan sebuah pernyataan menarik yang patut dipertimbangkan, yaitu “Problem teodisea hanya akan muncul bila Allah dipahami secara personal-dialogal dan masing-masing orang diakui martabatnya sebagai pribadi yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri” (Adrianus, 208). Karena menurutnya problem ini tidak muncul di kalangan mereka yang menganut paham dualisme. Artinya, penderitaan menjadi masalah ketika berada di tengah-tengah kenyamanan. Jika penderitaan itu berada di arena penderitan, maka itu tidak akan menjadi masalah.
Harold S. Kushner mengusulkan jawaban yang lain atas masalah teodisea, yaitu “Barangkali bukan Tuhan yang menyebabkan penderitaan kita, tetapi barangkali penderitaan itu terjadi karena alasan-alasan tertentu di luar kehendak Tuhan”.[3] Artinya, Tuhan tidak dapat melakukan segalanya sesuai keinginan kita, tetapi Tuhan dapat melakukan banyak hal penting yang kita butuhkan. Hanya karena keegoisan kitalah yang membuat kita menangis melihat keinginan kita tidak terpenuhi seperti kenyamanan yang dirasakan seseorang yang berada di luar penderitaan dan kejahatan.
Sebuah ungkapan teologis yang sangat mendalam dari Pengkhotbah 3:11 mengatakan: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”. Artinya, keterbatasan manusia sebagai makhluk ciptaan terlihat dengan jelas ketika ia berusaha memahami persoalan-persoalan yang berada di luar kehendaknya. Maka, tidak ada alasan untuk menyangkali keterbatasan manusia. Memang pernyataan ini juga mengandung sifat relatif jika hanya dilihat dari sudut keterbatasan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Bahayanya adalah manusia menghindari rasionalisme dan cenderung melakukan pembenaran atas keterbatasanya. Adalah penting dan harus diingat, bahwa mempertanyakan di mana Allah ketika melihat penderitaan dan kejahatan yang melimpah di dunia ciptaan-Nya tidak berarti kita menolak Allah, melainkan ketika kita bertanya di mana Allah? Maka saat itu sebenarnya kita tidak sedang menyangkal keberadaan-Nya. Frans Magnis-Suseno mengatakan, bahwa orang yang mengajukan protes kepada Allah sebenarnya saat itu juga sekaligus ia mengakui dan menerima keberadaan Allah yang tidak dapat dipahami (Frans Magnis-Suseno, 245).


[1] Frans Magnis-Suseno, Mendakwa Allah? Catatan Tentang Teodisea (Jakarta: Jurnal Diskursus, Vol. 4, No. 3, Oktober 2005), 231-249.
[2] Adrianus Sunarko, Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? – Allah, Manusia, dan Penderitaan  (Jakarta: Jurnal Diskursus, Vol. 4, No. 3, Oktober 2005), 207-229.
[3] Harold S. Kushner, When Bad Things Happen To Good People (Apa yang membuat orang baik mengalami hal buruk? Terj. Generesius Blomen Nomer), (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia 2004), 28.

No comments:

Post a Comment