Monday 6 February 2012

“MEREKAYASA PANCASILA”


Oleh: Sugiman

Kelima sila dalam butir-butir Pancasila dipandang sebagai falsafah negara Rebublik Indonesia, yang menjadi komitmen, dasar, kekuatan atau otoritas yang menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia, keadilannya, keamanannya, kedamaiannya, kebebasan setiap orang untuk berargumentasi atau menyuarakan pendapatnya demi kebenaran dan keadilan serta kebebasan beragama. Dengan demikian, negara Republik Indonesia diharapkan akan menjadi: negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pemegang otoritas mutlak, negara yang berkeprikemanusiaan yang adil dan beradab, negara yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta menjadi negara yang di mana semua orang akan merasakan keadilan sosial. Itulah mimpi atau tujuan atau klimaks yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia. Namun demikian, semua itu tinggal kata-kata yang tanpa makna, mandul, kering, gersang, tandus dan sia-sia belaka. Seolah-olah mereka (para penguasa, pemegang kendali, dan sebagian besar kaum mayoritas yang tidak memiliki hati nurani) berteriak dengan suara lantang “MARI KITA MEREKAYASA PANCASILA”. Pancasila yang adalah falsafah negara, hanya menjadi semboyan dan mimpi-mimpi yang tidak realitas. Mengapa demikian? Karena ada mereka yang merekayasa dan mengkaburkannya.
Saya melihat Pancasila bukanlah sebuah impian atau mimpi yang tidak mungkin terjadi jika para pemimpin dan rakyat Indonesia hidup berjalan di bawah naungan Pancasila. Tetapi karena direkayasa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga esensi atau sbstansi dari nilai-nilai Pancasila menjadi kabur dan jauh dari realita. Bahkan eksistensi Tuhan “dijadikan alat untuk membenarkan berbagai tindakan kejahatan mereka”. Mengapa tidak? Perhatikan “beberapa kasus kejahatan yang sungguh tidak manusiawi dilakukan atas nama Tuhan”:  

Kekerasan dan Penindasan atas Nama Tuhan
Kasus kekerasan dan penindasan yang terjadi di negara Indonesia bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi kita dewasa ini. Yang sering menjadi objek penderitaan adalah umat Kristiani.[1] Misalnya, masih melekat di ingatan kita mengenai peristiwa yang terjadi selama bulan Oktober hingga Desember 1992, peristiwa isu lemak babi, pembakaran kitab suci antarsekolah, pelemparan dan pembakaran gereja.[2] Selanjutnya, peristiwa Cikampek (12/4/1996), Bogor (14/4/1996); Surabaya (9/6/1996), Situbondo (10/10/1996), peristiwa Tasikmalaya (26-27/12/1996),[3] peristiwa kerusuhan Ambon (19/1/1999-Januari 2000), banyak orang yang meninggal karena membela agamanya (Islam vs Kristen).[4] Selanjutnya, kerusuhan Maluku tahun 1999 juga tidak terlepas dari masalah agama. Bahkan mereka menyebut kelompoknya sebagai “Laskar Jihad” yang siap membantu perang saudara antara umat Islam dan Kristen di sana.[5] Selanjutnya, peristiwa penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang (2/9/2007),[6] peristiwa HKBP Bekasi Minggu (12/9/2010) pukul 17:05 ditayangkan di RCTI, yang diserang oleh kelompok Islam yang menggunakan kopiah putih sebagai lambang kesucian. Pendetanya dipukul, jemaatnya ditusuk dan disertai dengan pelemparan batu kepada rumah ibadah. Peristiwa ini juga tidak terlepas dari masalah kemajemukan agama, sekali pun SBY menyatakan supaya tidak dikaitkan dengan agama.[7] Tetapi tetap saja tindakan yang demikian adalah bentuk-bentuk penindasan, pelanggaran HAM dan sangat tidak manusiawi (bnd. Pkh 3:16-22).
Tingginya tingkat kekerasan atas nama agama di Indonesia merupakan dampak politik pada masa Orde Baru (mereka menentang keseragaman harus dipenjarakan) yang masih terasa hingga sekarang.[8] Alasan yang lain disebabkan karena sempitnya pemikiran dan pemahaman umat beragama di Indonesia terhadap ajaran agamanya (tidak mengerti ajaran agamanya).[9] Alasan yang lain lagi, disebabkan karena mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.[10] Akibatnya, agama sering dijadikan sebagai alat yang memotivasi untuk melakukan kekerasan, dan sekali gus sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan kekerasan itu.[11]
Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan, bahwa agama tidak ubahnya organisasi massa yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut. Umat beragama kini lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Bahkan Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Ulil Abshar Abdalla mengatakan, bahwa agama sering dipandang sebagai mesin politik oleh pemerintah Indonesia, dan kadang-kadang hanya menjadi alat bagi segelintir orang untuk mencapai kekuasaan atau tujuan politiknya.[12] Misalnya kasus di Perumahan Permata (14/8/2005), Cimahi di Tambun, Bekasi (11/9/2005), yaitu di mana tindakan anarkis warga atau tindakan kekerasan dan perusakan tempat-tempat ibadah gereja HKBP dan GKI.[13] Alasannya untuk menegakkan SKB (Surat Keputusan Bersama) 2 Menteri tahun 1969 serta tuduhan adanya kristenisasi. Demikian juga dengan kasus pemukulan Pendeta HKBP Bekasi dan penusukan salah satu anggota jemaatnya (12/9/2010) juga memperlihatkan dengan sangat jelas, bahwa pemerintah yang ada di lokasi kejadian “membiarkan” dan menonton (tidak bertindak tegas).
Victor Silaen mengutip perkataan Gus Dur, bahwa mungkin di balik kelompok-kelompok warga sipil yang kerap beraksi anarkis itu ada “orang-orang kuat” yang menjadi bekingnya.[14] Karena itu, masalah kerukunan antaragama dalam rumah tangga negara Republik Indonesia yang majemuk tidak ada habis-habisnya diperbincangkan. Melalui berbagai media masa, mereka yang masih memiliki hati nurani berusaha untuk mencari titik temu. Tetapi tetap saja yang ada menyalakan “api”, dan menyiramkan bensin serta memanfaatkannya. Dalam hal ini, jelas agama tidak dapat dipandang sebagai entitas dan produsen yang menghasilkan nilai-nilai Pancasila, yakni: mendirikan ketulusan, kejujuran, ketentraman, keamanan, kenyamanan, kedamaian dan keadilan. Iman yang membuat orang lain tidak akan adalah bukan iman yang murni (sejati). Karena iman yang sejati selalu mengusahakan keamanan untuk semua manusia ciptaan-Nya.

Ketidakadilan Sosial Atas Nama Tuhan
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, bahwa penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesaian konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan. Sehingga tidak sedikit rakyat kecil dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi kalas kakap, yang jelas-jelas sudah merugikan, merampok kekayaan negara.[15] Misalnya Basar Suyanto dan Kholil mencuri sebuah semangka di kebun Gaguk Prambudi, warga Ngampel, Kediri (16/12/2009) ditahan sudah 2 bulan 10 hari selama proses hukum; demikian juga Aspuri, seorang buruh tani mencuri sehelai kaus milik tetangganya di Serang, Banten (8/2/2010) dihukum 3 bulan 15. Pengadilan di atas berbeda jauh dengan Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin (keempatnya mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia) yang korupsi Rp. 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbangkan Indonesia (YPPI) pada 2003 divonis 3 tahun penjara (27/11/2008) dan bebas bersyarat (18/8/2010); demikian juga dengan Syaukani HR, (Bupati Kutai Kartanegara nonaktif) korupsi senilai Rp. 49,367 miliar, ditahan (16/3/2007) vonis 6 tahun penjara, kemudian dikurangi 3 tahun (garansi 15/8/2010).[16] Di Banda Aceh Askhalani mengatakan, ada empat kasus korupsi yang tidak dibawa ke pengadilan, yang merugikan negara sebesar Rp 41 miliar.[17]
Beberapa bukti ketidakadilan atas nama Tuhan di atas memperlihatkan, bahwa hukum-hukum keadilan di Indonesia tidak ada bedanya barang dagangan yang hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh para penguasa, para penjilat dan penghianat nilai-nilai Pancasila. Mereka merekayasa nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat miskin (miskin harta dan ilmu) dan lemah (lemah secara fisik dan hukum). Sungguh ketidakadilan terjadi di mana-mana, bahkan di tempat pengadilan pun tidak ada keadilan. Mengapa tidak?, karena setiap oknum yang melakukan kasus-kasus kejahatan mengenakan atribut-atribut keagamaannya (misalnya mengenakan kopiah dan baju putih tanda kesucian). Seolah-olah Tuhan-lah yang menyuruhnya melakukan kejahatan untuk kepentingannya pribadi. Padahal Tuhan tidak pernah menyuruhnya untuk rakus, tamak dan egois. Jika demikian, maka ia mungkin bisa kita sebut “bukan ciptaan Tuhan” seperti manusia yang lainnya.

Korupsi Atas Nama Tuhan
Kasus korupsi yang terjadi pada masa Proto Yesaya juga tidak jauh berbeda dengan kasus korupsi masa kini khususnya di Indonesia. Misalnya Said Agil Husein al Munawar, mantan Menteri Agama tahun 2001-2004 korupsi dana haji.[18] Kasus korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan.[19] Korupsi yang dilakukan Muhtadi Asnun (Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Banten) karena menerima suap dari Gayus.[20] Di Surabaya pada tanggal 13 Maret 2007 ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki berhasil mengungkap 27 kasus korupsi.[21]
Kasus korupsi adalah masalah yang tidak habis-habisnya dibicarakan di Negara Republik Indonesia tercinta. Korupsi adalah virus maha dahsyat, yang bisa menular kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Berbagai data dan fakta di lapangan membuktikan betapa korupsi meruntuhkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (Human Right) secara universal. Kwik Kian Gie mengatakan, korupsi adalah akar semua masalah. Korupsi adalah bencana yang membuat negara Indonesia terus terpuruk, dan hingga saat ini pun masih berada di dalam krisis perekonomian yang tidak pernah berhenti.[22]
Kejaksaan yang diharapkan sebagai produsen nilai-nilai kebenaran dan keadilan, yang dipimpin oleh orang-orang yang katanya “dapat memutuskan perkara seadil-adilnya” ternyata juga tidak luput dari tindakan kejahatan yang mematikan itu (korupsi). Salah satu penyebab yang memberi celah bagi para pemimpin negara Republik Indonesia adalah karena mutlaknya kekuasaan. Lord Acton mengatakan demikian: semakin mutlak kekuasaan, semakin besar pula kesempatan korupsi (power corrupts, and absolute power corrupts absolutely)[23]. Karena itu, tanpa merasa bersalah mereka bekerjasama untuk merampas, merampok, menjarah dan menindas rakyat kecil yang mereka anggap bodoh, lemah, miskin dan tidak berdaya.[24] Itu adalah realita yang ada di negara Republik Indonesia kita yang tercinta ini.

Kesimpulan
Berembung, berpikir, berapat berkonsultasi, merumuskan dan pidato bukan tanpa arti. Tetapi pada dirinya, hanya berhenti sampai di situ, semua itu hanya memberi kenikmatan seorang penghianat, penjilat, pembohong, pengecut dan pecundang (tidak ada tindakan nyata).


[1] Bnd. Heru Nugroho, Agama dan Demokrasi dalam Jurnal Penuntun Vol. 4 No. 15 (Jakarta: Kelompok Kerja Teologi Sinode GKI Wilayah Jawa Barat, 1999), 349.
[2] Majalah Dia, Pluralitas Berkat, atau Kutuk (Th. VIII Edisi 5) (Jakarta: Yayasan Persekutuan Kristen Antar Universitas – Perkantas, 1993), 6.
[3] Makalah Sahabat Awam, Sebuah Introspeksi Vol. 39 (Bandung: Yayasan Bina Awam, 2000), 3-13
[4] Makalah Sahabat Awam, Tragedi Ambon Vol. 54 (Bandung: Yayasan Bina Awam-Januari 2000), 1-2; bnd. Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001), 94.
[5] Victor Silaen, Berperang Demi Allah: Menguak Tali-temali Agama, Politik dan Kekarasan dalam jurnal ilmiah Sosial dan Ilmu politik- Sosial Polites Vol. VI No. 21/ 2004; bnd. Edi Suranta Ginting, Kekerasan Atas Nama Agama, dalam Jurnal Trans Formasi Vol. 2 No. 1 Februari 2006), 31.
[6] MPH-PGI, “PGI Kecam Penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang”, dalam berita Oikoumene edisi September (Jakarta: PGI, 2007), 17-18.
[7] Lih. Kompas, “Presiden: Cari Solusi Bijaksana – Kasus HKBP”, Rabu, 15 September, 2010, hal 1, 15 kol. 1-3.
[8] Lih. Armand Barus, “Komunitas Nir-Kekerasan” dalam “Dari Presiden ke Presiden: Pikiran-Pikiran Reformasi yang Terabaikan”, ed. Victor Silaen (Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press, 2003), 40. Bnd. Victor Silaen, Kritisisme Beragama, Editorial, Reformata Edisi 34, Januari, 2006. Bnd. Zuly Qodir, “Mengelola Keberagaman Indonesia”, Politik dan Hukum, Kompas, 12 November, 2009; Olaf Schumann “Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam Erick J. Barus, Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebebasan (Jakarta: Bidang Marturis-PGI, 2009), 11.
[9] bnd. Flip P.B.Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewargaan di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 1.
[10] Moses Huwae, “Kekerasan sebagai Dampak Pengabaian terhadap Keadilan dan Kebenaran Dilihat dari Matius 27:11-26” dalam Jurnal Lensa Vol. 1 (Cipanas: STT Cipanas, 2007), 52.
[11] Lih. ST. Sularto, “Kesalehan Sosial Bangkrut” dalam Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010, hal 1
[12] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Masa Depan Kebebasan Dan Kerukunan Beragama Di Indonesia” dalam Tore Lindholm dkk, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi Prinsip-Prinsip dan Praktek (Yogyakarta: Kanisius, 2010), XI-XII; bnd. Ulil Abshar Abdalla, “Aparat Dalam Pemerintah Pandangannya Masih Konservatif”, dalam Berita Oikomene: Memperluas Wawasan Keesaan dan Kebangsaan edisi Maret (Jakarta: PGI, 2010), 9.
[13] Lih. Laporan Utama tabloid majalah Reformata Edisi 31, Oktober, 2005.
[14] Victor Silaen, Menyegel Rumah Tuhan, Editorial, Reformata Edisi 74, 1-15 Januari, 2008.
[15] Mahfud MD, “Negara Seakan Tidak Hadir” dalam Kompas Senin, 4 Oktober 2010, hal 1
[16] Lih. Kompas “Hukum dan Keadilan”, Senin, 4 Oktober 2010, hal 1
[18] http://indonesianlawyeronline.com/bedah-kasus/88-bedah-kasus/227.html; internet: diakses Jumat, 9 Sep 2010 jam 16:35.
[20] http://www.tribun-timur.com/read/artikel/102242/sitemap.html: internet: diakses Jumat, 9 Sep 2010 jam 16:48.
[22] E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 47.
[23] George Junus Aditijondro, dalam Gereja dan Penegakan HAM (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 206.
[24] Bnd. Rhenald Kasali, “Bahasyim, Kartini, dan Korupsi” dalam Kompas, Selasa 2 November 2010 hal 7.

No comments:

Post a Comment