Oleh: Sugiman
Kelima sila dalam butir-butir Pancasila dipandang
sebagai falsafah negara Rebublik Indonesia, yang menjadi komitmen, dasar,
kekuatan atau otoritas yang menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia, keadilannya,
keamanannya, kedamaiannya, kebebasan setiap orang untuk berargumentasi atau
menyuarakan pendapatnya demi kebenaran dan keadilan serta kebebasan beragama. Dengan
demikian, negara Republik Indonesia diharapkan akan menjadi: negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pemegang otoritas mutlak, negara yang berkeprikemanusiaan yang adil dan
beradab, negara yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta menjadi negara yang di mana semua orang akan merasakan
keadilan sosial. Itulah mimpi atau tujuan atau klimaks yang akan dicapai
oleh bangsa Indonesia. Namun demikian, semua itu tinggal kata-kata yang tanpa
makna, mandul, kering, gersang, tandus dan sia-sia belaka. Seolah-olah mereka
(para penguasa, pemegang kendali, dan sebagian besar kaum mayoritas yang tidak
memiliki hati nurani) berteriak dengan suara lantang “MARI KITA MEREKAYASA
PANCASILA”. Pancasila yang adalah falsafah negara, hanya menjadi semboyan dan
mimpi-mimpi yang tidak realitas. Mengapa demikian? Karena ada mereka yang
merekayasa dan mengkaburkannya.
Saya melihat Pancasila bukanlah sebuah impian
atau mimpi yang tidak mungkin terjadi jika para pemimpin dan rakyat Indonesia
hidup berjalan di bawah naungan Pancasila. Tetapi karena direkayasa oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga esensi atau sbstansi dari
nilai-nilai Pancasila menjadi kabur dan jauh dari realita. Bahkan eksistensi
Tuhan “dijadikan alat untuk membenarkan berbagai tindakan kejahatan mereka”.
Mengapa tidak? Perhatikan “beberapa kasus kejahatan yang sungguh tidak
manusiawi dilakukan atas nama Tuhan”:
Kekerasan dan Penindasan atas Nama Tuhan
Kasus kekerasan
dan penindasan yang terjadi di negara Indonesia bukanlah sesuatu yang asing
lagi bagi kita dewasa ini. Yang sering menjadi objek penderitaan adalah umat
Kristiani.[1] Misalnya, masih melekat di ingatan kita mengenai
peristiwa yang terjadi selama bulan Oktober hingga Desember 1992, peristiwa isu
lemak babi, pembakaran kitab suci antarsekolah, pelemparan dan pembakaran
gereja.[2] Selanjutnya,
peristiwa Cikampek (12/4/1996), Bogor (14/4/1996); Surabaya (9/6/1996),
Situbondo (10/10/1996), peristiwa Tasikmalaya (26-27/12/1996),[3] peristiwa
kerusuhan Ambon (19/1/1999-Januari 2000), banyak orang yang meninggal karena
membela agamanya (Islam vs Kristen).[4] Selanjutnya,
kerusuhan Maluku tahun 1999 juga tidak terlepas dari masalah agama. Bahkan
mereka menyebut kelompoknya sebagai “Laskar
Jihad” yang siap membantu perang saudara antara umat Islam dan Kristen di
sana.[5] Selanjutnya, peristiwa
penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang (2/9/2007),[6] peristiwa HKBP
Bekasi Minggu (12/9/2010) pukul 17:05 ditayangkan di RCTI, yang diserang oleh
kelompok Islam yang menggunakan kopiah putih sebagai lambang kesucian. Pendetanya
dipukul, jemaatnya ditusuk dan disertai dengan pelemparan batu kepada rumah
ibadah. Peristiwa ini juga tidak terlepas dari masalah kemajemukan agama,
sekali pun SBY menyatakan supaya tidak dikaitkan dengan agama.[7] Tetapi tetap
saja tindakan yang demikian adalah bentuk-bentuk penindasan, pelanggaran HAM dan
sangat tidak manusiawi (bnd. Pkh 3:16-22).
Tingginya tingkat kekerasan atas nama agama di Indonesia
merupakan dampak politik pada masa Orde Baru (mereka menentang keseragaman
harus dipenjarakan) yang masih terasa hingga sekarang.[8] Alasan yang
lain disebabkan karena sempitnya pemikiran dan pemahaman umat beragama di
Indonesia terhadap ajaran agamanya
(tidak mengerti ajaran agamanya).[9] Alasan yang lain lagi, disebabkan karena
mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.[10] Akibatnya, agama sering
dijadikan sebagai alat yang memotivasi untuk melakukan kekerasan, dan sekali gus sebagai pembenaran atas
tindakan-tindakan kekerasan itu.[11]
Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan, bahwa agama tidak ubahnya organisasi massa yang
berlomba-lomba memperbanyak pengikut. Umat beragama kini lebih mementingkan
kuantitas ketimbang kualitas. Bahkan Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Ulil Abshar Abdalla mengatakan, bahwa agama sering
dipandang sebagai mesin politik oleh pemerintah Indonesia, dan kadang-kadang
hanya menjadi alat bagi segelintir orang untuk mencapai kekuasaan atau tujuan politiknya.[12] Misalnya kasus
di Perumahan Permata (14/8/2005), Cimahi di Tambun, Bekasi (11/9/2005), yaitu
di mana tindakan anarkis warga atau tindakan kekerasan dan perusakan
tempat-tempat ibadah gereja HKBP dan GKI.[13] Alasannya untuk menegakkan SKB (Surat
Keputusan Bersama) 2 Menteri tahun 1969 serta tuduhan adanya kristenisasi.
Demikian juga dengan kasus pemukulan Pendeta HKBP Bekasi dan penusukan salah
satu anggota jemaatnya (12/9/2010) juga memperlihatkan dengan sangat jelas,
bahwa pemerintah yang ada di lokasi kejadian “membiarkan” dan menonton (tidak
bertindak tegas).
Victor Silaen mengutip
perkataan Gus Dur, bahwa mungkin di balik kelompok-kelompok warga sipil yang
kerap beraksi anarkis itu ada “orang-orang kuat” yang menjadi bekingnya.[14] Karena itu, masalah
kerukunan antaragama dalam rumah tangga negara Republik Indonesia yang majemuk
tidak ada habis-habisnya diperbincangkan. Melalui berbagai media masa, mereka yang masih
memiliki hati nurani berusaha untuk mencari titik temu. Tetapi tetap saja yang
ada menyalakan “api”, dan menyiramkan bensin serta memanfaatkannya. Dalam hal ini, jelas agama tidak dapat
dipandang sebagai entitas dan produsen yang menghasilkan nilai-nilai Pancasila,
yakni: mendirikan ketulusan, kejujuran, ketentraman, keamanan, kenyamanan, kedamaian
dan keadilan. Iman yang membuat orang lain tidak akan adalah bukan iman yang
murni (sejati). Karena iman yang sejati selalu mengusahakan keamanan untuk
semua manusia ciptaan-Nya.
Ketidakadilan
Sosial Atas Nama Tuhan
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, bahwa
penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesaian konflik di masyarakat,
justru memunculkan ketidakadilan. Sehingga tidak sedikit rakyat kecil dihukum
lebih berat dibandingkan pelaku korupsi kalas kakap, yang jelas-jelas sudah
merugikan, merampok kekayaan negara.[15]
Misalnya Basar Suyanto dan Kholil mencuri sebuah semangka di kebun Gaguk
Prambudi, warga Ngampel, Kediri (16/12/2009) ditahan sudah 2 bulan 10 hari
selama proses hukum; demikian juga Aspuri, seorang buruh tani mencuri sehelai
kaus milik tetangganya di Serang, Banten (8/2/2010) dihukum 3 bulan 15.
Pengadilan di atas berbeda jauh dengan Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan
Hutapea, Aslim Tadjudin (keempatnya mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia) yang
korupsi Rp. 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbangkan Indonesia (YPPI)
pada 2003 divonis 3 tahun penjara (27/11/2008) dan bebas bersyarat (18/8/2010);
demikian juga dengan Syaukani HR, (Bupati Kutai Kartanegara nonaktif) korupsi
senilai Rp. 49,367 miliar, ditahan (16/3/2007) vonis 6 tahun penjara, kemudian
dikurangi 3 tahun (garansi 15/8/2010).[16]
Di
Banda Aceh Askhalani mengatakan, ada empat
kasus korupsi yang tidak dibawa ke pengadilan, yang merugikan negara sebesar Rp
41 miliar.[17]
Beberapa bukti ketidakadilan atas nama Tuhan di atas
memperlihatkan, bahwa hukum-hukum keadilan di Indonesia tidak ada bedanya
barang dagangan yang hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh para penguasa, para penjilat dan penghianat nilai-nilai Pancasila. Mereka
merekayasa nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan
masyarakat miskin (miskin harta dan ilmu) dan lemah (lemah secara fisik dan
hukum). Sungguh ketidakadilan terjadi di
mana-mana, bahkan di tempat pengadilan pun tidak ada keadilan. Mengapa tidak?, karena setiap oknum yang melakukan
kasus-kasus kejahatan mengenakan atribut-atribut keagamaannya (misalnya
mengenakan kopiah dan baju putih tanda kesucian). Seolah-olah Tuhan-lah yang
menyuruhnya melakukan kejahatan untuk kepentingannya pribadi. Padahal Tuhan
tidak pernah menyuruhnya untuk rakus, tamak dan egois. Jika demikian, maka ia
mungkin bisa kita sebut “bukan ciptaan Tuhan” seperti manusia yang lainnya.
Korupsi Atas
Nama Tuhan
Kasus korupsi yang terjadi pada masa Proto Yesaya juga tidak
jauh berbeda dengan kasus korupsi masa kini khususnya di Indonesia . Misalnya Said Agil
Husein al Munawar, mantan Menteri Agama tahun 2001-2004 korupsi dana haji.[18]
Kasus korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan.[19] Korupsi yang dilakukan
Muhtadi Asnun (Hakim Pengadilan
Negeri Tangerang, Banten) karena menerima suap dari Gayus.[20]
Di Surabaya pada tanggal 13 Maret 2007 ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki
berhasil mengungkap 27 kasus korupsi.[21]
Kasus korupsi adalah masalah yang tidak habis-habisnya
dibicarakan di Negara Republik Indonesia tercinta. Korupsi
adalah virus maha dahsyat, yang bisa menular
kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Berbagai data dan fakta di
lapangan membuktikan betapa korupsi meruntuhkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (Human Right) secara universal. Kwik Kian
Gie mengatakan, korupsi adalah akar semua
masalah. Korupsi adalah bencana yang membuat negara Indonesia terus
terpuruk, dan hingga saat ini pun masih berada di dalam krisis perekonomian
yang tidak pernah berhenti.[22]
Kejaksaan yang
diharapkan sebagai produsen nilai-nilai kebenaran dan keadilan, yang
dipimpin oleh orang-orang yang katanya “dapat memutuskan perkara seadil-adilnya”
ternyata juga tidak luput dari tindakan kejahatan yang mematikan itu (korupsi).
Salah satu penyebab yang memberi celah bagi para pemimpin negara Republik Indonesia adalah
karena mutlaknya kekuasaan. Lord Acton mengatakan
demikian: semakin mutlak kekuasaan,
semakin besar pula kesempatan korupsi (power
corrupts, and absolute power corrupts absolutely)[23]. Karena itu, tanpa
merasa bersalah mereka bekerjasama untuk merampas, merampok, menjarah dan
menindas rakyat kecil yang mereka anggap bodoh, lemah, miskin dan tidak
berdaya.[24]
Itu adalah realita yang ada di negara Republik Indonesia kita yang tercinta ini.
Kesimpulan
Berembung, berpikir, berapat berkonsultasi,
merumuskan dan pidato bukan tanpa arti. Tetapi pada dirinya, hanya berhenti
sampai di situ, semua itu hanya memberi kenikmatan seorang penghianat,
penjilat, pembohong, pengecut dan pecundang (tidak ada tindakan nyata).
[1] Bnd. Heru Nugroho, Agama dan Demokrasi dalam Jurnal
Penuntun Vol. 4 No. 15 (Jakarta: Kelompok Kerja Teologi Sinode GKI Wilayah Jawa
Barat, 1999), 349.
[2] Majalah Dia, Pluralitas Berkat, atau Kutuk (Th. VIII
Edisi 5) (Jakarta: Yayasan Persekutuan Kristen Antar Universitas – Perkantas,
1993), 6.
[3] Makalah Sahabat Awam, Sebuah Introspeksi Vol. 39 (Bandung:
Yayasan Bina Awam, 2000), 3-13
[4] Makalah Sahabat Awam, Tragedi Ambon Vol. 54 (Bandung: Yayasan
Bina Awam-Januari 2000), 1-2; bnd. Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2001), 94.
[5] Victor Silaen, Berperang Demi Allah: Menguak Tali-temali
Agama, Politik dan Kekarasan dalam jurnal ilmiah Sosial dan Ilmu politik-
Sosial Polites Vol. VI No. 21/ 2004; bnd. Edi Suranta Ginting, Kekerasan Atas Nama Agama, dalam Jurnal
Trans Formasi Vol. 2 No. 1 Februari 2006), 31.
[6] MPH-PGI, “PGI Kecam Penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang”, dalam
berita Oikoumene edisi September (Jakarta: PGI, 2007), 17-18.
[7] Lih. Kompas, “Presiden:
Cari Solusi Bijaksana – Kasus HKBP”, Rabu, 15 September, 2010, hal 1, 15 kol. 1-3.
[8] Lih. Armand Barus, “Komunitas
Nir-Kekerasan” dalam “Dari Presiden ke
Presiden: Pikiran-Pikiran Reformasi yang Terabaikan”, ed. Victor Silaen
(Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press, 2003), 40. Bnd. Victor Silaen,
Kritisisme Beragama, Editorial, Reformata
Edisi 34, Januari, 2006. Bnd. Zuly Qodir, “Mengelola Keberagaman
Indonesia”, Politik dan Hukum, Kompas,
12 November, 2009; Olaf Schumann “Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam
Erick J. Barus, Kebebasan Beragama, HAM
dan Komitmen Kebebasan (Jakarta: Bidang Marturis-PGI, 2009), 11.
[9] bnd. Flip
P.B.Litaay, Pemikiran Sosial Johannes
Leimena tentang Dwi-Kewargaan di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana
University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama
Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 1.
[10] Moses Huwae, “Kekerasan sebagai Dampak
Pengabaian terhadap Keadilan dan Kebenaran Dilihat dari Matius 27:11-26” dalam
Jurnal Lensa Vol. 1 (Cipanas: STT Cipanas, 2007), 52.
[12] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Masa Depan
Kebebasan Dan Kerukunan Beragama Di Indonesia” dalam Tore Lindholm dkk, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan:
Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi Prinsip-Prinsip dan Praktek (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), XI-XII; bnd. Ulil Abshar Abdalla, “Aparat
Dalam Pemerintah Pandangannya Masih Konservatif”, dalam Berita Oikomene: Memperluas Wawasan Keesaan dan Kebangsaan
edisi Maret (Jakarta: PGI, 2010), 9.
[13] Lih. Laporan Utama tabloid majalah Reformata Edisi 31, Oktober, 2005.
[17] http://www.harian-aceh.com/banda-raya/banda-aceh/3923-empat-kasus-korupsi-tak-sampai-pengadilan-kejati-aceh-kangkangi-uu-tipikor-.html:
internet: diakses Jumat, 9 Sep 2010 jam 16:45.
[18] http://indonesianlawyeronline.com/bedah-kasus/88-bedah-kasus/227.html;
internet: diakses Jumat,
9 Sep 2010 jam 16:35.
[19] http://nasional.kompas.com.com/bedah-kasus/88-bedah-kasus/227.html:
internet: diakses Jumat,
9 Sep 2010 jam 16:40; bnd. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=125350:atasan-gayus-resmi-ditahan&catid=17&Itemid=30:
internet: diakses Jumat, 9 Sep 2010 jam 16:42.
[20] http://www.tribun-timur.com/read/artikel/102242/sitemap.html:
internet: diakses Jumat, 9 Sep 2010 jam 16:48.
[21] http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=280&Itemid=28: internet: diakses Jumat,
9 Sep 2010 jam 16:56.
[22] E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam era Reformasi di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 47.
[23] George Junus Aditijondro,
dalam Gereja dan Penegakan HAM
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 206.
[24] Bnd. Rhenald Kasali, “Bahasyim, Kartini,
dan Korupsi” dalam Kompas, Selasa 2 November 2010 hal 7.
No comments:
Post a Comment