Oleh: Sugiman
Mulai dari berdirinya Fron Pembela
Islam (FPI) di Indonesia tahun 1998 hingga tahun 2012 selalui diwarnai dengan
aksi anarkis dan berujung pada kekerasan yang merugikan banyak pihak. Mari
lupakan tindakan mereka (FPI) 1998 – 2009, tetapi mulailah di tahun 2010 –
2012, dan itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa negara Indonesia tidak butuh
FPI, yang gemar melakukan tindakan-tindakan kekerasan, mmembuat keonaran, melakukan
penolakan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Seolah-olah kekerasan dan
perusakan yang dilakukan mencerminkan eksistensi dari FPI itu sendiri. Misalnya,
tanggal 17 Juli 2010 Enam dari sembilan pelaku bom molotov ditangkap
polisi di Singkawang pada hari raya waisak
tanggal 28 Mei 2010 lalu. Mereka diduga merupakan anggota FPI.
Satu diantaranya adalah anak dari ketua FPI cabang Singkawang, H Elyas.
Selain itu, 8 Agustus 2010, ratusan massa FPI menyerang jemaat
gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Indah Timur pukul 09.00 pagi
di Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya,
9 Agustus 2010, ketua FPI cabang Solo dan
Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir ditangkap
polisi atas terorisme. Selanjutnya, 4 Maret 2011, massa FPI membuat onar dan membakar
markas Ahmadiyah di Kecamatan
Lubuk Pinang, Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu. Selanjutnya, pada tanggal yang sama dan kasus yang
sama juga terjadi di Kota Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yaitu massa
FPI membakar warung makan yang pemiliknya anggota Jemaah Ahmadiyah. Selanjutnya,
8 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan
milik Rudi dan Hajjah Adriani. Kejadian serupa juga terjadi di Makassar, yaitu 12 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan
milik Restoran Topaz Makassar. Selanjutnya, 13 Agustus 2012 massa FPI membuat onar dan
membakar markas Ahmadiyah di Makasar. Selanjutnya, 14 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan
milik seorang ibu di Ciamis. Selanjutnya, 23 September 2011, massa FPI mengancam serang
pernikahan berlangsung di Gereja Pantekosta Jatinangor.
Apakah sudah berhenti sampai di tahun 2011? Tidak. Pada
tanggal, 12 Januari 2012, massa FPI merusak dan melakukan
kericuhan di Gedung Kemendagri. Selanjutnya, 10 Februari 2012, ketua FPI cabang Yogyakarta
Bambang Teddy diajukan Erna Riyanti atas kasus pemukulan dan meludahinya di
kantor kepolisian. Selanjutnya, 10 Februari 2012, polisi tetapkan lima tersangka
termasuk Ketua FPI cabang Banten Ujang (KH Ujang Muhamad Arif) terkait kasus
insiden Ahmadiyah di Cikeusik. Selanjutnya, cuma itu yang saya ketahui melalui
media-media yang saya ikuti. Menurut hemat saya, dengan melihat bukti-bukti di
ataslah, masa dari suku Dayak menolak kedatangan dan kehadiran rombongan FPI
tanggal 11 Februari 2012 di Kalimantan Tengah. Penolakan terhadap keberadaan FPI tidak
hanya terjadi di Kalimantan Tengah, tetapi juga di Jakarta, yaitu tanggal 14 Februari 2012, di mana Bhagapad Gita,
Koordinator aksi "Indonesia Tanpa FPI" dipukul oleh keempat
simpatisan FPI. Berdasarkan bukti-bukti di atas, apakah penolakan yang
dilakukan oleh masa dari suku salah? Tentu tidak. Justru itulah alasan utama bahwa
negara Indonesia tidak butuh FPI, melainkan kenyamanan, kedamaian, ketentraman,
keharmonisan untuk hidup berdampingan, dan itulah yang dirindukan atau dinanti-nantikan
terjadi di Indonesia.
Sudah
saatnya kita menjadikan kekerasan yang dilakukan oknum-oknum FPI sebagai
masalah bersama. Menggunakan berbagai “atribut kesucian” supaya dibenarkan saat
melakukan tindakan-tindakan kekerasan adalah cara beriman yang keliru. Sangat
keliru! Karena sejauh yang saya ketahui, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah
menerapkan cara-cara dakwah seperti yang dipahami FPI. Melainkan mencontohkan
dakwah itu kepada umatnya dengan berbagai cara, yaitu baik secara lisan maupun
tulisan dan perbuatan kasih. Dimulai dari istri dan keluarganya, kemudian
diperluas kepada teman-teman karibnya,
hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu pun merasakan dakwah Sang Nabi. Di
antara raja-raja yang menerima surat atau risalah Nabi SAW adalah kaisar
Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran), dan
raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Semuanya itu dilakukan Nabi dengan cara
damai, karena memang tujuan dakwah itu adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
hidup di dunia dan diakhirat, di ridai Allah.
Pertanyaan untuk FPI:
bagaimana kita dapat mengatakan bahwa hubungan kita baik dengan Tuhan,
sementara kita menindas dan menyakiti sesama kita? Apakah mungkin Tuhan
menyetujui tindakan-tindakan kekerasan? Saya kira tidak. Tindakan yang demikian
hanya sebuah usaha manusia untuk memuaskan diri sendiri dan kelompok, tetapi
menolak printah Tuhan. Karena bagi saya, Tuhan menciptakan manusia bukanlah
untuk disiksa, disakiti, diintimidasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Melainkan
untuk satu tujuan, yaitu supaya manusia mengasihi Tuhan. Mmengasihi Tuhan hanya
akan terjadi jika kita mengasihi keberadaan sesama.
Jika demikian,
apakah Sang Nabi menyetujui cara-cara kekerasan seperti yang diperlihatkan oleh
oknum-oknum FPI? Saya kira tidak, apalagi Tuhan. Menggunakan atribut-atribut keagamaan
sebagai simbol kesucian dan kebenaran hidup keagamaan, yang ditunjukan melalui
tindakan kekerasan hanyalah kemunafikan belaka. Menurut hemat saya, Islam itu
tidak membutuhkan pembela. Memang apanya yang mau dibela? Memang yang lainnya
musuh? Apakah Islam lemah sehingga membutuhkan pembelaan? Saya kira tidak. Trus
apanya yang mau dibela? Atau mau membela Tuhan? Apakah Tuhan membutuhkan
pembelaan dari manusia? Saya kira tidak juga. Justru kita yang sangat membutuhkan
pertolongan dari Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Tindakan membela
Tuhan hanya akan menjadikan Tuhan sebagai pribadi yang lemah dan tidak berdaya.
Sangat keliru jika Tuhan harus dibela.
Bagi saya, agama
hanyalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan atau keyakinan setiap
individu kepada Tuhan, dan tidak lebih dari itu. Itu sebabnya, agama tak
ubahnya sebuah bengkel guna memperbaiki kehidupan manusia yang rusak oleh
keinginan nafsunya, termasuk kerusakan moral karena gemar akan tindakan
kekerasan, penindasan, keserakahan, dan penolakan atas sesamanya. Merusak yang
sudah baik bukanlah tugas atau fungsi dari sebuah agama. Bengkel yang baik dan
berkualitas akan dengan sendirinya didatangi oleh banyak orang tanpa harus ada
pemaksaan, apalagi tuntutan mutlak. Demikianlah juga agama, jika agama sudah
tidak mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat, nilai-nilai kemanusiaan dan
ketuhanan, maka apa baiknya agama? Agama seharusnya menjadikan hidup manusia
itu jauh lebih baik dari yang dunia tawarkan (anti agama), menuntun mereka ke
jalan yang benar, sehingga mereka menemukan sumber air yang jernih, yang
menyejukan hati, serta memaknai hidup ini lebih berarti dan abadi, yaitu tanpa
kekerasan dan diskriminasi. Seharusnya itulah tugas agama.
Kekerasan bukanlah satu-satunya cara
untuk menyelesaikan sebuah masalah. Kekerasan hanya sebuah cara konyol dan
bodoh, yang sering dilakukan oleh mereka yang tidak bisa berpikir kreatif dalam
menemukan jalan terbaik dan bijaksana. Sempitnya pemikiran dan pemahaman
seseorang terhadap esensi atau nilai-nilai ajaran agamanya akan melihat orang
lain sebagai lawan yang menakutkan (musuh), karena itu tidak jarang seseorang
atau kelompok mempropokasi yang lainnya supaya bertindak anarkis.[1] Alasan yang lain, disebabkan
karena mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang disiratkan dalam
ajaran agamanya.[2]
Akibatnya, agama sering dijadikan sebagai alat yang memotivasi untuk melakukan
kekerasan, dan sekaligus sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan kekerasan
itu.[3]
Sangat menyedihkan. Tindakan-tindakan kekerasan itu juga tidak terlepas dari
kekeliruan para pemimpi agama itu sendiri. Misalnya, Ahmad Syafi’i Ma’arif
mengatakan, bahwa agama tidak ubahnya
organisasi massa yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut. Umat beragama kini
lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Seharusnya, para pemimpin
sebuah agama lebih memikirkan hal itu. Selain itu, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Ulil
Abshar Abdalla juga mengatakan, bahwa agama sering dipandang sebagai mesin
politik oleh pemerintah Indonesia, dan kadang-kadang hanya menjadi alat bagi
segelintir orang untuk mencapai kekuasaan atau tujuan politiknya.[4]
Pernyataan ini mengindikasikan, bahwa agama hanya dipahami sebagai simbol,
kemudian mengabaikan esensinya. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda lebih
menjunjung tinggi simbol-simbol atau soal esensi? Saya tidak tahu, dan silahkan
jawab sendiri di dalam hati masing-masing!
Salam damai.
[1] bnd. Flip
P.B.Litaay, Pemikiran Sosial Johannes
Leimena tentang Dwi-Kewargaan di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana
University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama
Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 1.
[2] Moses Huwae, “Kekerasan sebagai Dampak
Pengabaian terhadap Keadilan dan Kebenaran Dilihat dari Matius 27:11-26” dalam
Jurnal Lensa Vol. 1 (Cipanas: STT Cipanas, 2007), 52.
[3] Lih. ST. Sularto, “Kesalehan Sosial Bangkrut” dalam Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010, hal 1
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Masa Depan
Kebebasan Dan Kerukunan Beragama Di Indonesia” dalam Tore Lindholm dkk, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan:
Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi Prinsip-Prinsip dan Praktek (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), XI-XII; bnd. Ulil Abshar Abdalla, “Aparat
Dalam Pemerintah Pandangannya Masih Konservatif”, dalam Berita Oikomene: Memperluas Wawasan Keesaan dan Kebangsaan
edisi Maret (Jakarta: PGI, 2010), 9.
No comments:
Post a Comment