Monday, 20 February 2012

FRON PEMBELA ISLAM (FPI) DAN KEKERASAN


Oleh: Sugiman


Mulai dari berdirinya Fron Pembela Islam (FPI) di Indonesia tahun 1998 hingga tahun 2012 selalui diwarnai dengan aksi anarkis dan berujung pada kekerasan yang merugikan banyak pihak. Mari lupakan tindakan mereka (FPI) 1998 – 2009, tetapi mulailah di tahun 2010 – 2012, dan itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa negara Indonesia tidak butuh FPI, yang gemar melakukan tindakan-tindakan kekerasan, mmembuat keonaran, melakukan penolakan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Seolah-olah kekerasan dan perusakan yang dilakukan mencerminkan eksistensi dari FPI itu sendiri. Misalnya, tanggal 17 Juli 2010 Enam dari sembilan pelaku bom molotov ditangkap polisi di Singkawang pada hari raya waisak tanggal 28 Mei 2010 lalu. Mereka diduga merupakan anggota FPI. Satu diantaranya adalah anak dari ketua FPI cabang Singkawang, H Elyas.

Selain itu, 8 Agustus 2010, ratusan massa FPI menyerang jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Indah Timur pukul 09.00 pagi di Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya, 9 Agustus 2010, ketua FPI cabang Solo dan Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir ditangkap polisi atas terorisme. Selanjutnya, 4 Maret 2011, massa FPI membuat onar dan membakar markas Ahmadiyah di Kecamatan Lubuk PinangKabupaten Muko-MukoBengkulu. Selanjutnya, pada tanggal yang sama dan kasus yang sama juga terjadi di Kota PolewaliKabupaten Polewali MandarSulawesi Barat, yaitu massa FPI membakar warung makan yang pemiliknya anggota Jemaah Ahmadiyah. Selanjutnya, 8 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan milik Rudi dan Hajjah Adriani. Kejadian serupa juga terjadi di Makassar, yaitu 12 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan milik Restoran Topaz Makassar. Selanjutnya, 13 Agustus 2012 massa FPI membuat onar dan membakar markas Ahmadiyah di Makasar. Selanjutnya, 14 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan milik seorang ibu di Ciamis. Selanjutnya, 23 September 2011, massa FPI mengancam serang pernikahan berlangsung di Gereja Pantekosta Jatinangor.

Apakah sudah berhenti sampai di tahun 2011? Tidak. Pada tanggal, 12 Januari 2012, massa FPI merusak dan melakukan kericuhan di Gedung Kemendagri. Selanjutnya, 10 Februari 2012, ketua FPI cabang Yogyakarta Bambang Teddy diajukan Erna Riyanti atas kasus pemukulan dan meludahinya di kantor kepolisian. Selanjutnya, 10 Februari 2012, polisi tetapkan lima tersangka termasuk Ketua FPI cabang Banten Ujang (KH Ujang Muhamad Arif) terkait kasus insiden Ahmadiyah di Cikeusik. Selanjutnya, cuma itu yang saya ketahui melalui media-media yang saya ikuti. Menurut hemat saya, dengan melihat bukti-bukti di ataslah, masa dari suku Dayak menolak kedatangan dan kehadiran rombongan FPI tanggal 11 Februari 2012 di Kalimantan Tengah. Penolakan terhadap keberadaan FPI tidak hanya terjadi di Kalimantan Tengah, tetapi juga di Jakarta, yaitu tanggal 14 Februari 2012, di mana Bhagapad Gita, Koordinator aksi "Indonesia Tanpa FPI" dipukul oleh keempat simpatisan FPI. Berdasarkan bukti-bukti di atas, apakah penolakan yang dilakukan oleh masa dari suku salah? Tentu tidak. Justru itulah alasan utama bahwa negara Indonesia tidak butuh FPI, melainkan kenyamanan, kedamaian, ketentraman, keharmonisan untuk hidup berdampingan, dan itulah yang dirindukan atau dinanti-nantikan terjadi di Indonesia.

Sudah saatnya kita menjadikan kekerasan yang dilakukan oknum-oknum FPI sebagai masalah bersama. Menggunakan berbagai “atribut kesucian” supaya dibenarkan saat melakukan tindakan-tindakan kekerasan adalah cara beriman yang keliru. Sangat keliru! Karena sejauh yang saya ketahui, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah menerapkan cara-cara dakwah seperti yang dipahami FPI. Melainkan mencontohkan dakwah itu kepada umatnya dengan berbagai cara, yaitu baik secara lisan maupun tulisan dan perbuatan kasih. Dimulai dari istri dan keluarganya, kemudian diperluas kepada  teman-teman karibnya, hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu pun merasakan dakwah Sang Nabi. Di antara raja-raja yang menerima surat atau risalah Nabi SAW adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran), dan raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Semuanya itu dilakukan Nabi dengan cara damai, karena memang tujuan dakwah itu adalah untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan diakhirat, di ridai Allah.

Pertanyaan untuk FPI: bagaimana kita dapat mengatakan bahwa hubungan kita baik dengan Tuhan, sementara kita menindas dan menyakiti sesama kita? Apakah mungkin Tuhan menyetujui tindakan-tindakan kekerasan? Saya kira tidak. Tindakan yang demikian hanya sebuah usaha manusia untuk memuaskan diri sendiri dan kelompok, tetapi menolak printah Tuhan. Karena bagi saya, Tuhan menciptakan manusia bukanlah untuk disiksa, disakiti, diintimidasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Melainkan untuk satu tujuan, yaitu supaya manusia mengasihi Tuhan. Mmengasihi Tuhan hanya akan terjadi jika kita mengasihi keberadaan sesama.

Jika demikian, apakah Sang Nabi menyetujui cara-cara kekerasan seperti yang diperlihatkan oleh oknum-oknum FPI? Saya kira tidak, apalagi Tuhan. Menggunakan atribut-atribut keagamaan sebagai simbol kesucian dan kebenaran hidup keagamaan, yang ditunjukan melalui tindakan kekerasan hanyalah kemunafikan belaka. Menurut hemat saya, Islam itu tidak membutuhkan pembela. Memang apanya yang mau dibela? Memang yang lainnya musuh? Apakah Islam lemah sehingga membutuhkan pembelaan? Saya kira tidak. Trus apanya yang mau dibela? Atau mau membela Tuhan? Apakah Tuhan membutuhkan pembelaan dari manusia? Saya kira tidak juga. Justru kita yang sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Tindakan membela Tuhan hanya akan menjadikan Tuhan sebagai pribadi yang lemah dan tidak berdaya. Sangat keliru jika Tuhan harus dibela.

Bagi saya, agama hanyalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan atau keyakinan setiap individu kepada Tuhan, dan tidak lebih dari itu. Itu sebabnya, agama tak ubahnya sebuah bengkel guna memperbaiki kehidupan manusia yang rusak oleh keinginan nafsunya, termasuk kerusakan moral karena gemar akan tindakan kekerasan, penindasan, keserakahan, dan penolakan atas sesamanya. Merusak yang sudah baik bukanlah tugas atau fungsi dari sebuah agama. Bengkel yang baik dan berkualitas akan dengan sendirinya didatangi oleh banyak orang tanpa harus ada pemaksaan, apalagi tuntutan mutlak. Demikianlah juga agama, jika agama sudah tidak mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat, nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, maka apa baiknya agama? Agama seharusnya menjadikan hidup manusia itu jauh lebih baik dari yang dunia tawarkan (anti agama), menuntun mereka ke jalan yang benar, sehingga mereka menemukan sumber air yang jernih, yang menyejukan hati, serta memaknai hidup ini lebih berarti dan abadi, yaitu tanpa kekerasan dan diskriminasi. Seharusnya itulah tugas agama.

Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan sebuah masalah. Kekerasan hanya sebuah cara konyol dan bodoh, yang sering dilakukan oleh mereka yang tidak bisa berpikir kreatif dalam menemukan jalan terbaik dan bijaksana. Sempitnya pemikiran dan pemahaman seseorang terhadap esensi atau nilai-nilai ajaran agamanya akan melihat orang lain sebagai lawan yang menakutkan (musuh), karena itu tidak jarang seseorang atau kelompok mempropokasi yang lainnya supaya bertindak anarkis.[1] Alasan yang lain, disebabkan karena mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang disiratkan dalam ajaran agamanya.[2] Akibatnya, agama sering dijadikan sebagai alat yang memotivasi untuk melakukan kekerasan, dan sekaligus sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan kekerasan itu.[3] Sangat menyedihkan. Tindakan-tindakan kekerasan itu juga tidak terlepas dari kekeliruan para pemimpi agama itu sendiri. Misalnya, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan, bahwa agama tidak ubahnya organisasi massa yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut. Umat beragama kini lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Seharusnya, para pemimpin sebuah agama lebih memikirkan hal itu. Selain itu, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Ulil Abshar Abdalla juga mengatakan, bahwa agama sering dipandang sebagai mesin politik oleh pemerintah Indonesia, dan kadang-kadang hanya menjadi alat bagi segelintir orang untuk mencapai kekuasaan atau tujuan politiknya.[4] Pernyataan ini mengindikasikan, bahwa agama hanya dipahami sebagai simbol, kemudian mengabaikan esensinya. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda lebih menjunjung tinggi simbol-simbol atau soal esensi? Saya tidak tahu, dan silahkan jawab sendiri di dalam hati masing-masing!

Salam damai.



[1] bnd. Flip P.B.Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewargaan di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 1.
[2] Moses Huwae, “Kekerasan sebagai Dampak Pengabaian terhadap Keadilan dan Kebenaran Dilihat dari Matius 27:11-26” dalam Jurnal Lensa Vol. 1 (Cipanas: STT Cipanas, 2007), 52.
[3] Lih. ST. Sularto, “Kesalehan Sosial Bangkrut” dalam Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010, hal 1
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Masa Depan Kebebasan Dan Kerukunan Beragama Di Indonesia” dalam Tore Lindholm dkk, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi Prinsip-Prinsip dan Praktek (Yogyakarta: Kanisius, 2010), XI-XII; bnd. Ulil Abshar Abdalla, “Aparat Dalam Pemerintah Pandangannya Masih Konservatif”, dalam Berita Oikomene: Memperluas Wawasan Keesaan dan Kebangsaan edisi Maret (Jakarta: PGI, 2010), 9.



No comments:

Post a Comment