Oleh: Sugiman
Hatiku sangat bahagia setelah lulus kuliah di Sekolah Tinggi Teologi
Cipanas – Jawa Barat. Selama empat tahun bergelut dengan buku, ditambah tiga kali
Praktik Kerja Lapangan, praktik selama dua bulan 2x, yaitu di kepulauan Mentawai
dan Pekanbaru – Riau. Sedangkan praktik selama enam bulan 1x di Paloh – Kalimantan
Barat. Jadi jika ditotal waktu keseluruhan adalah genap lima tahun lamanya. Artinya,
selama empat tahun empat bulan aku tidak pernah pulang ke kampung halaman,
tempat di mana aku dilahirkan, khususnya di desa Batu Hitam – Kecamatan
Sajingan Besar – Kebupaten Sambas – Kalimantan Barat. Hal itu aku lakukan bukan
karena sudah melupakan tempat kelahiranku, tetapi karena keterbatasan ekonomi.
Setiap kali menjelang liburan, aku terkadang merasa iri dengan
teman-teman yang pulang ke kampung halaman mereka. Setelah tiba di kampus
mereka selalu membawa segudang cerita indah bersama keluarga di kampung.
Alangkah senangnya hati bisa bertemu kembali dengan teman-teman, dan terlebih
bertemu dengan orangtua di kampung, gumumku. Tapi sayang itu hanya hayalan yang
tak pernah kesampaian atau terkabulkan dalam hidup selama kuliah. Itulah
sebabnya, aku merasa sangat bersalah dengan bapak yang tinggal seorang diri di
kampung. Seolah-olah aku sudah melupakan, tidak peduli dan tidak lagi menaruh
perhatian padanya. Bahkan saat aku teringat pada bapak, tidak jarang aku
meneteskan air mata sebelum tidur di malam hari.
Hatiku sangat sedih dengan keadaan yang tidak memungkinkan itu. Aku
sangat kuatir dengan keadaan bapak yang tinggal seorang diri. Apalagi bapak
tinggal jauh dari keramaian, yaitu tinggal di pondoknya yang terletak di
tengah-tengah kebun karet. Kalau di ukur jarak tempuhnya kira-kira 1 kilo meter
dari kampung utama (keramaian), itupun hanya bisa ditempuh dengan berjalan
kaki, melewati sawah dan kebun karet. Semenjak aku masih duduk di Sekolah Dasar
bapak memang sudah mengajakku tinggal di sebuah pondok kecil yang terletak di
tengah kebun karet itu. Alasannya, karena setelah bangun pagi langsung bisa kerja
atau menyadap pohon karet, tegas bapak. Tetapi setelah SMP dan SMA aku terpisah
jauh dari bapak, yaitu membutuhkan satu hari perjalanan ke kampungku. Kalaupun
pulang pada saat liburan kenaikan kelas, atau libur pada saat Lebaran, tahun
baru Imblek atau Natal, aku pasti di rumah tante, adik almarhum ibu. Tetapi bapak
selalu datang dan pasti disuruh nginap oleh tante selama aku liburan. Itulah
sebabnya aku sangat rindu pada bapak.
Jarak kami menjadi sangat jauh ketika aku kuliah di STT Cipanas, yang sudah
pasti tidak mungkin terjangkau dengan uang seratus ribu rupiah. Keadaan ekonomi
yang terbatas telah memaksaku untuk tidak bertemu sementara waktu dengan bapak,
yaitu selama kuliah. Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah, selama kuliah aku
tidak pernah berkomunikasi lewat telepon atau surat dengan bapak. Entah
mengapa, untuk menulis sepujuk surat pun seolah tidak sempat. Padahal aku tahu,
bahwa aku sangat rindu dan kuatir dengan keadaan bapak. Karena kesibukan, yaitu
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, rasa rindu dan kuatirku
seolah terasa terobati, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Apalagi
dikampungku belum ada kantor pos, dan sinyal handphone. Meskipun, sebenarnya
itu bukan alasan yang tepat bagiku untuk tidak berkomunikasi dengan bapak.
Tetapi itulah realita yang tidak bisa ku sembunyikan.
Setelah keadaan mulai santai, aku kembali teringat pada bapak, tetapi
tetap saja aku tidak melakukan suatu tindakan apapun demi sebuah komunikasi. Padalah
aku tahu, bahwa bapak pasti sangat rindu padaku. Tapi itulah kesalahan yang
seharusnya tidak perlu kulakukan. Itulah sebabnya aku merasa sangat bersalah
dan berdosa pada bapak. Mungkin banyak orang akan mengatakan, bahwa aku adalah
salah seorang yang melupakan dan tidak berbakti pada orangtua. Tetapi itu telah
terjadi dan tidak bisa direkonstruksi ulang atau dikembalikan. Kalau ada orang
yang turun ke kota dan menghubungiku lewat handphone, dan hal pertama yang aku
tanyakan pada mereka adalah bagaimana keadaan bapakku di kampung? Dengan nada
santai, mereka selalu mengatakan jangan kuatir, karena bapak tetap sehat-sehat selalu
dan bahkan dia sangat rajin beribadah. Sejenak aku merasa lega, tapi tetap saja
aku sangat kuatir dengan keadaan bapak. Bahkan ketika mendengar, bahwa bapak
semakin rajin beribadah membuatku ingin secepat mungkin bertemu dengan bapak. Dalam
hati aku merasakan getaran betapa bapak selalu mendoakanku supaya berhasil.
Aku menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk menimba ilmu di STT
Cipanas, sebelum tidur, aku selalu memohon kepada Tuhan supaya bapak dijauhkan
dari segala sakit penyakit atau malapetaka lainnya. Aku selalu berharap bahwa
bapak Tuhan pasti mendengarkan doa permohonanku. Dalam hati aku berjanji, bahwa
suatu saat nanti, setelah aku berhasil dan pulang ke kampung, aku akan tinggal
kembali bersama bapak seperti tiga belas tahun yang silam. Aku benar-benar
tidak mau jauh lagi dari bapak. Aku ingin menjaga dan merawatnya dengan
tanganku sendiri. Bahkan aku juga akan memperkenalkan kepada bapak mengenai
seseorang yang akan menjadi pendamping hidupku kelak.
Aku selalu berharap kepada Tuhan, bahwa bapak akan menjadi matahari
dalam hidupku. Demikian juga ketika aku tidur, bapak akan tetap menjadi
sebatang lilin di sampingku. Aku sangat rindu dengan bapak, aku tidak sabar
untuk bertemu dengan bapak yang sudah sekian lama terpisah jauh dariku. Ada
banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada bapak selama kuliah di STT Cipanas,
baik suka maupun duka. Mungkin jika dituliskan dalam bentuk buku, waktu tiga
bulan tidaklah cukup untuk membacanya. Sungguh, dalam setiap perjalanan hidup
seseorang pasti ada suka dan dukanya. Itulah juga yang aku rasakan selama
kuliah berlangsung, dan itulah harga yang harus aku bayar lunas, yaitu terhadap
diriku sendiri, terhadap sponsor dan terlebih terhadap Tuhan yang telah
memberikan aku kesempatan untuk kuliah.
Sukanya adalah, aku sangat bangga menjadi anak bapak, yang bisa bertemu
dengan berbagai jenis manusia sekalipun sebenarnya aku berasal dari keluarga yang
tidak mampu. Desa Batu Hitam, yaitu salah satu terpencil dan terabaikan di
Kecamatan Sajingan Besar – Sambas – Kalimantan Barat telah menjadi saksi bisu
atas keluargaku. Sedangkan dukanya adalah, aku tidak bisa bertemu dengan bapak
seperti waktu aku masih di kampung. Aku tidak bisa melihat senyum dan tawa
bapak ketika merasa bahagia dan kesedihan saat sulit melanda. Selain itu, aku
juga tidak bisa membantu bapak lagi untuk mencari nafkah seperti tiga belas
tahun yang silam. Tetapi aku yakin, bahwa Tuhan pasti mempertemukan kita
kembali.
Beberapa minggu setelah ujian skripsi aku begitu bersemangat pulang dan
menginjakan kaki di bandara Supadio Pontianak – Kalimantan Barat. Tanpa
menunggu lama, aku langsung naik angkutan travel menuju kota Singkawang. Karena
waktu sudah tidak memungkinkan (kemalaman), maka besok harinya aku melanjutkan
perjalanan menuju Kartiasa melewati kota Sambas. Di sana aku dijemput menuju kecamatan
Paloh, dan selama seminggu aku di Paloh menggantikan tugas pak Pdt. Osias
Kause, karena beliau pergi ke Pontianak. Kemudian setelah beliau tiba baru aku
berangkat menuju kampung halaman, desa kelahiranku. Sorenya aku sudah tiba dan
bisa bertemu dengan bapak. Aku sangat bahagia bertemu dengan bapak dalam
keadaan sehat walafiat. Aku merasa seperti orang yang sedang bermimpi, tetapi
sungguh itu nyata. Senyum dan tawa kebahagiaan juga terpancar di wajah bapak
yang menatapku dengan benuh belaskasihan. Kami pun tinggal bersama di rumah
tante, tidur di ruangan yang sama, minum kopi bersama, bercanda dan tertawa
bersama. Selama empat malam bapak menemaniku tidur di rumah tante. Setelah itu
aku harus menjalankan Praktik Kerja Lapangan di desa Sasak dan Senipahan, yang
jaraknya tidak jauh dari kampungku. Tetapi beberapa minggu kemudian, tepatnya Jum’at
04 Februari 2011 bapak meninggal dunia di pondoknya yang terletak di
tengah-tengah kebun karet. Saat itu aku merasa, bahwa hidup ini sangat kosong,
gersang dan tidak berarti apa-apa. Padahal saat itu tinggal bulan menjelang
hari wisudaku, tetapi bapak telah pergi meninggalkan aku seorang diri untuk
selama-lamanya. Sungguh, aku tidak pernah menyangka, bahwa empat malam
kebahagiaan kami itu akan menjadi hari yang terakhirku bertemu dengan bapak. Selama
empat tahun empat bulan kami tidak bertemu, tetapi hanya dibayar dan diganti
dengan empat malam kebahagiaan. Kini, lantai dua di rumah tante telah menjadi
saksi bisu atas kebahagiaan kami berdua. Sedangkan kebun karet telah menjadi
saksi atas kepergian bapakku.
Waktu terasa sangat singkat, bapak orangtuaku satu-satunya yang sangat
aku sayangi. Tetapi kini semuanya telah berakhir. Aku hanya bisa mengenang dan
mengambil hikmah di balik peristiwa menyedihkan itu. Kini aku tinggal hidup
sebatang kara, hidup mengembara di dalam dunia dan sembari melawan arus
kesedihan dan keputusasaan. Setidaknya, hidupku masih memberikan makna dan buah
yang baik bagi orang lain. Aku selalu berharap, bahwa semoga hidupku tetap
berada di bawah pengamatan Tuhan. Karena aku tahu Dia sangat peduli atas
kehidupan setiap orang yang selalu menyandarkan harapan hidupnya kepada-Nya.
Para pembaca yang budiman, jangan sia-siakan kebahagiaan Anda bersama
orang-orang yang sangat Anda kasihi, terutama terhadap kedua orangtua Anda. Jangan
pernah memandang mereka dengan sebelah mata, tetapi pandanglah mereka dengan
kasih yang tulus, yang berasal dari lubuk hati Anda yang terdalam. Terimalah
mereka apa adanya sekalipun menurut Anda mereka jauh dari kesempurnaan! Karena
pada dasarnya, cinta bukan mencari kesempurnaan, melainkan menerima
ketidaksempurnaan demi sebuah kebahagiaan, yang dapat dinikmati bersama-sama.
Ingat! Jangan biarkan kotak kasih dan kemesraan Anda tetap tertutup sampai
mereka tiada, tetapi lakukanlah segala sesuatu yang bisa Anda lakukan demi
kebaikan bersama! Karena akan datang waktunya, yaitu di mana tidak seorang pun
dapat melakukannya lagi seperti ketika mereka masih hidup bersama-sama dengan
Anda.